Media adalah saran utama untuk menyampaikan dan mendapat
informasi. Tapi media zaman sekarang justru dikuasai oleh orang-orang tertentu
karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, atau budaya. Halini
justru menggangu hak masyarakat untuk menerima informasi yang seharusnya. Keprihatinan
utama pengelola media adalah keuntungan. Logika pasar menentukan tingkat
kualitas informasi yang disuguhkan.
A.
Informasi sebagai Komoditi dan Mimetisme
Paparazzi dan wartawan infotainment
hanyalah buah dari situasi media yang snagat didominasi oleh pasar dan
keuntungan. Bagi mereka, pasar informasi pertama-pertama adalah untuk mencari
keuntungan.maka dari itu, media berlomba-lomba menyajikan yang sensasional dan
spektakuler, dengan harga apa pun yang kadang sampai mengorbankan
profesionalisme. Infotainment sendiri suka mengulik masalah artis yang
cenderung sensasional sehingga masyarakat tertarik dan rating naik sehingga
keuntungan yang didapat lebih banyak karena pengiklan tertarik untuk memasang
iklannya di acara infotainment itu. Persiangan menghalalkan semua cara. Demi mendapat
keuntungan dan menjaga kedudukan, media saling bersaing bahkan melanggar kode
etik jurnalistik yang ada.
Di satu sisi, persaingan mendorong
kreativitas. Di sisi lain, persiangan juga diikuti semacam mimetisme. Mimetisme
adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, seperti
sangat urgen, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang
menjadi acuan, menganggapnya penting. Jadi mereka seperti ikut-ikutan media
acuannya (latah). Jadi, media saling membangkitkan keingintahuan di kalangan
mereka sendiri, menaikkan penawaran dan membiarkan diri dibawa oleh hasrat
untuk memberi informasi yang seba lebih, tetapi karena tekanan persaingan ,
mereka dilontarkan sampai pada tingkat yang mengerikan bahkan sampai dengan
cara licik.
Situasi seperti itu sering membuat
informasi penting diterima seperti berita-berita lain tanpa efek menggerakan. Adanya
efek penyekat untuk mendeskripsikan kejadian yang menyembunyikan peristiwa
lainnya. Berita perpanjangan kontrak Freeport dengan Indonesia 14 Januari 2016
lalu sempat heboh. Namun hal ini disembunyikan dan ditutupi oleh berita Teror
Sarinah Jakarta.
Kesaksian langsung dari tempat kejadian
menjadi ideologi yang bisa menghancurkan jurnalisme investiagasi. Kasus pemberitaan
tidak benar tentang jumlah korban dan tempat kecelakaan Adam Air adalah bukti
kecenderungan ini. Kantor berita tidak mengecek kebenaran si saksi secara lebih
dalam. Slow news, no news. Slogan dari CNN inilah yang meracuni banyak media
dan membuat mereka mengabaikan prosedur jurnalistik yang hakiki.
Banyak pemirsa, pendengar, dan pembaca
media mulai resah karena media cenderung menyajikan gambar, siaran, atau
tulisan tentang kekerasan, kriminalitas, pornografi, takhayul, atau hal lain
yang tidak mendidik sama sekali. Akhirnya, konsumsi massa menentukan dinamisme
komersial dan makna keindahan.
B.
Media Mengubah Integrasi Sosial, Reproduski
Budaya, dan Partisipasi Politik
Semua bentuk institusi yang membatasi
emansipasi individu melemah atau digerogoti oleh hasrat diri, pemenuhan diri,
dan penghargaan diri. Maka, makin banyak tuntutan untuk diakui dan penghormatan
terhadap perbedaan. Ikatan sosial yang melandaskan pada nilai universal atau
ideal politik tidak menumbuhkan antusiasme karena ikatannya dianggap abstrak. Struktur
sosialisasi semakin kehilangan kewenangannya. Hal ini akan menghancurkan
solidaritas dan kesadaran kelas demipemenuhan diri.
Dalam reproduksi budaya, tekanannya harus
selalu bergerak, selalu berubah bukan untuk suatu tujuan utopis tertentu,
tetapi karena diarahkan oleh efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup.
Maka dalam media, teknik presentasi seirng mengalahkan isi berita atau pesan
yang mau disampaikan. Medium is the message. Informasi melahap isinya sendiri. Ia
melahap komunikasi dan yang sosial karena dua hal. Pertama, alih-alih
mengomunikasikan, informasi menghabiskan tenaganya untuk presentasi komunikasi.
Alih-alih memproduksi makna, informasi menghabiskan tenaga untuk presentasi
makna. Kedua, di blik presentasi
komunikasi yang menguras tenaga lebih itu, media massa, informasi melanjutkan
destruksi sosial. Maknanya ialah bahwa semua isi makna diserap ke dalam satu-satunya
bentuk dominan dari medium.
Iklan adalah titik strategis proses
simulasi, tempat naungnya kejadian semu. Kita tidak bisa menyalahkan pembuat
iklan kaena persuasi dan mistifikasi bukan datang dari rasa tak bersalah
pembuat iklan, tapi dari rasa senang pemirsa ditipu, bukan dari hasrat operator
iklan untuk merayu, tapi dari hasrat pemirsa untuk dirayu. Iklan tidak
mendorong untuk belajar atau mengerti, tapi mengajak untuk berharap. Melalui iklan,
peristiwa semu berubah menjadi kejadian riil sehari-hari berkat kepatuhan
konsumen terhadap apa yang dikatakan iklan.
Dalam hal partisipasi politik, individu
tidak tertarik pada ideologi politik. Ia tidak mampu memberi janji. Jadi para
politis dewasa ini berhadapan dengan basis pendukung yang konsumeris,
individualis, mudah berubah pandangan , dan skeptik. Dampaknya terasa dalam
pembentukan identitas individu dan bentuk baru kebebasan. Media karena harus
mendapat keuntungan, akhirnya hanya terobsesi oleh upaya menjawab dan mengikuti
logika konsumsi tersebut.
Sistem media juga dipengaruhi kemajuan
teknologi. Revolusi informasi melahirkan logika waktu pendek. Media elektronik
dan komputer memungkinkan informasi dan pertukrannya dalam waktu riil dan
singkat. Hal ini dikarenakan orang tidak menghargai lagi penantian dan
kelambanan. Hal ini menular ke media massa lain dan menentukan mati-hidupnya. Maka
dari itu, sebuah media dituntut untuk memberitakan berita teat waktu, ringkas,
luwes, dan menguntungkan. Kehilangan momentum adalah bentuk kekalahan.
C.
Dilema Media Massa
Di satu sisi, idealisme media menuntut
peran sebagai sarana pendidikan agar agar pembaca, pemirsa atau pendengar
semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir. Di sisi
lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang yang
terpatri pada spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan beragam.
D.
Pentingnya Pencitraan
Pencitraan mendiskualifikasi kategori
kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi,
simulasim kepalsuan, dan hiperrealitas. Empat fase citra:
1.
Representasi di mana citra merupakan cermin
suatu realitas
2.
Ideologi di mana citra menyembunyikan bahwa
tidak ada realitas.
3.
Citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu
citra menjadi penampakan.
4.
Citra tidak ada hubungan sama sekali dengan
realitas apa pun: ia hanya menjadi yang menyerupai diri.
E.
Tiada Perlawanan Terorganisir dan Bentuk Baru
Sensor
Menghadapi kapitalisme global,
komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tak terkontrol itu, tidak
ada perlawanan teorganisir yang didukung oleh struktur kuat dan idelogi yang
serius. Perjuangan untuk mendapatkan
info yang benar agar masyarakat makin punya sikap kritis, kemandirian, dan
kedalaman berpikir, tidak bisa lepas dari perjuangan menegakkan etika
komunikasi. Etika komunikasi tidak bekerja lewat regulasi pelarangan. Ia lebih
pada mengantar pemirsa, pendengar, atau pembaca mampu mengambil jarak sehingga
menjadi kritis serta lebih mengarahkan pada informasi yang mendidik,
memperkaya. Maka, sensor bukan sarana yang baik untuk menegakkan etika
komunikasi.
Dewasa ini, sensor berubah bentuk. Sensor tidak
lagi tampak dalam bentuk primer karena bukan lagi masalah menghilangkan,
memotong, melarang sejumlah aspek fakta atau menyembunyikannya. Sensor justru
terletak di hiperrealitas. Sensor juga berfungsi sebagai propaganda. Ia berusaha
mengosntruksi suatu kebenaran palsu dengan memproduksi fakta yang menyembunyikan.
Autosensor berlangsung di antara wartawan
sendiri. Ada semacem gentleman agreement untuk tidak mengkritik praktek yang
dilakukan oleh rekan seprofesinya. Lemahnya toleransi berhadapan dengan kritik
di kalangan wartawan erat terkait dengan tuntutan pasar.hal yang ditakuti
wartawan justru pengaruh terhadap isi informasi dari iklan dan pemasang iklan. Tekanan
untuk mendapatkan untung akan meruntuhkan tembok pemisah antara redaksi dan
iklan. Politik media ditentukan oleh kelompok media dominan dan pemegang saham.
F.
Tiga Syarat Kemungkinan Etika Komunikasi
1.
Media punya kekuasaan dan efek yang dahsyat
terhadap publik. Padahal media mudah memanipulasi dan mengalienasi audiens. Dengan
demikian, etika komunikasi mau melindungi publik yang lemah.
2.
Etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga
keseimbangan antara kebeasan berekspresi dan tanggung jawab.
3.
Mencoba menghindari sedapat mungkin dampak
negatif dari logika instrumental.
Ivana Livia Wibisono
14140110021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar