Mengapa
Perlu Etika Komunikasi?
Etika komunikasi dapat
menjernihkan pertimbangan agar dapat keputusan yang tepat. Media merupakan
sarana utama untuk menyampaikan dan mendapat informasi. Sayangnya, kebenaran
informasi yang didapat dari media tidak sepenuhnya
memenuhi hak publik. Adanya pertarungan dalam kepentingan politik, ekonomi,
atau budaya. Media sekarang banyak dikuasai oleh penguasa-penguasa tertentu,
dengan membawa kepentingan tertentu. Keprihatinan utama pengelola media adalah
keuntungan. Rating menjadi penentu kualitas informasi yang disuguhkan.
A. Informasi
sebagai Komoditi dan Mimetisme
Klarifikasi dan memperkaya
debat demokrasi merupakan ciri utama yang lebih ditonjolkan dari pada misi
media itu sendiri. Keingintahuan yang besar untuk mengulik kehidupan privasi
selebriti dijadikan sasaran wartawan infotaiment. Paparazzi atau wartawan infotaintment hanyalah buah dari situasi
media yang didominasi oleh pasar dan keuntungan. Media berada pada tekanan dan
persaingan yang semakin keras dan tuntutan keberhasilan komersial semakin
berat. Media saling berlomba untuk menyajika informasi yang spektakuler dan
fenomenal, tanpa memperhatikan isinya lagi. Persaingan membuat para pengusaha
media menghalalkan segala cara agar mendapat rating dan keuntungan yang besar,
tidak lagi memeperhatikan kode etik.
Persaingan memang mendorong
madia untuk membuat kreativitas, namun juga diikuti Mimetisme. Mimetisme adalah
gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, seperti sangat
urgen, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama menjadi
acuan, mengganggapnya penting. Media saling mengbangkitkan keinginahuan
dikalangan mereka sendiri.
Situasi seperti itu sering membuat
informasi penting diterima seperti berita-berita lain tanpa efek yang menggerakannya.
Adanya efek ‘penyekat’ untuk mendeskripsikan kejadian yang menyembunyikan
peristiwa lainnya. Efek seperti itu sering di salahgunakan untuk mengalihkan
atau menutupi suatu kasus. Contohnya, pada saat kasus Munir dan adanya
keterlibatan pejabat tinggi militer, tiba-tiba kasus Poso kembali memanas
sehingga media mengabaikan berita soal pembunuhan Munir.
B. Media Mengubah
Integrasi Sosial, Reproduski Budaya, dan Partisipasi Politik
Semua bentuk institusi yang
membatasi emansipasi individu melemah atau digerogoti oleh hasrat diri,
pemenuhan diri, dan penghargaan diri. Maka, makin banyak tuntutan untuk diakui
dan penghormatan terhadap perbedaan. Ikatan sosial yang melandaskan pada nilai
universal atau ideal politik tidak menumbuhkan antusiasme karena ikatannya
dianggap abstrak. Struktur sosialisasi semakin kehilangan kewenangannya. Hal
ini akan menghancurkan solidaritas dan kesadaran kelas demipemenuhan diri.
Dalam reproduksi budaya, tekanannya
harus selalu bergerak, selalu berubah bukan untuk suatu tujuan utopis tertentu,
tetapi karena diarahkan oleh efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup.
Maka dalam media, teknik presentasi seirng mengalahkan isi berita atau pesan
yang mau disampaikan. Medium is the
message. Informasi melahap isinya sendiri. Ia melahap komunikasi dan yang
sosial karena dua hal. Pertama, alih-alih mengomunikasikan, informasi
menghabiskan tenaganya untuk presentasi komunikasi. Alih-alih memproduksi
makna, informasi menghabiskan tenaga untuk presentasi makna. Kedua, di balik presentasi komunikasi yang
menguras tenaga lebih itu, media massa, informasi melanjutkan destruksi sosial.
Maknanya ialah bahwa semua isi makna diserap ke dalam satu-satunya bentuk
dominan dari medium.
Fungsi komunikasi massa iklan bukan
berasal dari isinya, buka tujuan ekonomi atau psikologi, bukan publik, tetapi
dari logika medium itu sendiri. Iklan adalah titik strategis proses simulasi,
tempat bernaungnya kejadian semu. Kita tidak bisa menyalahkan pembuat iklan karena
persuasi dan mistifikasi bukan datang dari rasa tak bersalah pembuat iklan,
tapi dari rasa senang pemirsa ditipu, bukan dari hasrat operator iklan untuk
merayu, tapi dari hasrat pemirsa untuk dirayu. Iklan tidak mendorong untuk
belajar atau mengerti, tapi mengajak untuk berharap. Melalui iklan, peristiwa
semu berubah menjadi kejadian riil sehari-hari berkat kepatuhan konsumen
terhadap apa yang dikatakan iklan. Media berperan besar dalam penciptaan palsu
serta sikap pasif yang terhanyut dalam konsumerisme. Berkat media, sensualitas
dan estetisasi massa untuk kepentingan kenikmatan intensif dan meluas.
Dalam hal partisipasi politik,
individu tidak tertarik pada ideologi politik. Ideologi politik tidak mampu
memberi janji. Jadi para politis dewasa ini berhadapan dengan basis pendukung
yang konsumeris, individualis, mudah berubah pandangan, dan skeptik. Dampaknya
terasa dalam pembentukan identitas individu dan bentuk baru kebebasan. Media
karena harus mendapat keuntungan, akhirnya hanya terobsesi oleh upaya menjawab
dan mengikuti logika konsumsi tersebut.
Selain pengaruh kapitalisme baru, sistem media juga
dipengaruhi kemajuan teknologi. Revolusi informasi melahirkan logika waktu
pendek. Media elektronik dan komputer memungkinkan informasi dan pertukrannya
dalam waktu riil dan singkat. Hal ini dikarenakan orang tidak menghargai lagi
penantian dan kelambanan. Hal ini menular ke media massa lain dan menentukan
mati-hidupnya. Maka dari itu, sebuah media dituntut untuk memberitakan berita
teat waktu, ringkas, luwes, dan menguntungkan. Kehilangan momentum adalah
bentuk kekalahan.
C. Dilema Media
Massa
Dalam waktu pendek ini, logika
menempatkan media massa dalam situasi dilematis. Di satu sisi, idealisme media
menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar agar pembaca, pemirsa atau
pendengar semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir.
Di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang
yang terpatri pada spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan beragam.
Logika mode memungkinkan
diskualifikasi masa lalu dan penghargaan terhadap yang baru. Pembaruan terus-menerus
adalah untuk mempertegas kekhasan supaya tetap diminati. Sindrom yang mnyertai
logika wakt pendek adalah dorongan untuk memberi informasi singkat dan cepat
saji. Maka, kriteris sensasional dan spektakular menjadi dominan.
D. Pentingnya
Pencitraan
Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga
tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasim kepalsuan,
dan hiperrealitas. Empat fase citra:
1.
Representasi di mana
citra merupakan cermin suatu realitas.
2.
Ideologi di mana citra
menyembunyikan bahwa tidak ada realitas.
3.
Citra menyembunyikan
bahwa tidak ada realitas. Lalu, citra menjadi penampakan.
4. Citra tidak ada
hubungan sama sekali dengan realitas apa pun: Ia hanya menjadi yang menyerupai
diri.
E. Tiada Perlawanan
Terorganisir dan Bentuk Baru Sensor
Media massa tidak bisa dilepaskan
dari manuver kapital. Logika waktu pendek itu mengubah kapitalisme. Menghadapi
kapitalisme global, komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tak
terkontrol itu, tidak ada perlawanan teorganisir yang didukung oleh struktur
kuat dan idelogi yang serius. Perjuangan
untuk mendapatkan info yang benar agar masyarakat makin punya sikap kritis,
kemandirian, dan kedalaman berpikir, tidak bisa lepas dari perjuangan menegakkan
etika komunikasi.
Etika komunikasi tidak bekerja
lewat regulasi pelarangan. Ia lebih pada mengantar pemirsa, pendengar, atau
pembaca mampu mengambil jarak sehingga menjadi kritis serta lebih mengarahkan
pada informasi yang mendidik, memperkaya. Maka, sensor bukan sarana yang baik
untuk menegakkan etika komunikasi.
Dewasa ini, sensor berubah bentuk.
Sensor tidak lagi tampak dalam bentuk primer karena bukan lagi masalah
menghilangkan, memotong, melarang sejumlah aspek fakta atau menyembunyikannya.
Sensor justru terletak di hiperrealitas. Sensor juga berfungsi sebagai
propaganda. Ia berusaha mengosntruksi suatu kebenaran palsu dengan memproduksi
fakta yang menyembunyikan.
Autosensor berlangsung di antara
wartawan sendiri. Ada semacem gentleman
agreement untuk tidak mengkritik praktek yang dilakukan oleh rekan
seprofesinya. Lemahnya toleransi berhadapan dengan kritik di kalangan wartawan
erat terkait dengan tuntutan pasar.hal yang ditakuti wartawan justru pengaruh
terhadap isi informasi dari iklan dan pemasang iklan. Tekanan untuk mendapatkan
untung akan meruntuhkan tembok pemisah antara redaksi dan iklan. Politik media
ditentukan oleh kelompok media dominan dan pemegang saham.
F. Tiga Syarat
Kemungkinan Etika Komunikasi
1. Media punya kekuasaan
dan efek yang dahsyat terhadap publik. Padahal media mudah memanipulasi dan
mengalienasi audiens. Dengan demikian, etika komunikasi mau melindungi publik yang
lemah.
2. Etika komunikasi
merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan
tanggung jawab.
3. Mencoba menghindari
sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Logika ini mengabaikan
nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertahankan kredebilitas pers di
depan publik, tujuan media sebagai instrument pencerahan kurang mendapat
perhatian.
Meiliani
14140110029
Tidak ada komentar:
Posting Komentar