Senin, 11 April 2016

Mengapa Perlu Etika Komunikasi?

-------------------------------------------------

Manusia memenuhi dirinya dengan informasi untuk memenuhi kehidupannya. Informasi itu berguna untuk mencerahkan dan pikiran manusia dalam mengambil keputusan. Sarana utama untuk mencari dan mendapatkan informasi adalah lewat media. Namun, yang terjadi saat ini di era ini adalah pembatasan informasi. Hal ini dikarenakan adanya pertarungan kepentingan dalam berbagai bidang, seperti: politik, ekonomi, budaya, dll.

I. Informasi sebagai Komoditi dan Mimetisme

Dari sudut pandang industri, informasi dilihat sebagai barang dagangan. Paparazzi dan wartawan  infotainment seringkali mengorek kehidupan pribadi selebritis yang terkesan terlalu berlebihan guna meningkatkan nilai jual. Karena pada dasarnya pasar informasi (news business) adalah untuk mencari keuntungan. 

Banyak media berlomba-lomba untuk membuat dan memuat berita eksklusif supaya media mereka ratingnya tetap naik. Bahkan, media siap melakukan apapun dan membayar berapapun, hingga mengorbankan profesionalisme guna mendapat berita sensasional. Dari sini, media cetak dan media gambar mulai bersaing dan menjadi tidak proporsional. Terjadilah logika simulasi (J. Baudrillard), yaitu orang tidak pernah akan sampai pada kebenaran karena antara realitas, representasi, hiperrealitsa atau tipan tidak bisa di cek atau dibedakan lagi. Persaingan menghalalkan segala cara.

Kemudian muncullah, Mimetisme. Sebuah gairah media yang mendorong untuk ikut-ikutan meliput apa yang media lain liput. Antar-media saling membangkitkan keingintahuan di kalangan mereka sendiri, dan membentuk keyakinan semakin banyak media yang meliput suatu kasus, berarti kasus itu penting adanya dan perlu diliput juga.
Situasi ini sering membuat adanya "efek penyekat" (Ignacio Ramonet) yang terjadi di masyarakat. Efek penyekat ini adalah istilah yang mendeskripsikan dimana sebuah berita digunakan untuk menutupi / mengalihkan isu berita yang tengah dibicarakan. Contoh saja: Kasus kematian Munir, yang kemudian dialihkan dengan munculnya kembali kasus Poso yang secara tiba-tiba dibahas media. Kasus Munir pun secara tidak langsung "tertutupi" dan akhirnya tenggelam karena teralihkan oleh kasus Poso.

Akibatnya, media kini mengundang respon skeptis, kecurigaan dan rasa tidak percaya dari masyarakat (terdidik).

II. Media Mengubah Integrasi Sosial, Reproduksi Budaya, dan Partisipasi Politik

Sistem media seperti itu membawa perubahan yang sangat mendasar dalam cara integrasi sosial, reproduksi budaya, dan partisipasi politik (J.M. Ferry). Media menyebarkan ke seluruh tubuh sosial yang tidak hanya terkandung nilai-nilai sosial, tetapi nilai hedonis yang akhirnya mempengaruhi integrasi sosial. Hedonisme individualis ini mengabaikan kontrol sosial dari instansi tradisional sehingga norma-norma tradisional meredup. Semua bentuk institusi yang membatasi emansipasi individu melemah atau digerogoti oleh hasrat diri, pemenuhan diri, dan penghargaan diri. Tuntutan pengakuan ini tidak dapat dilepaskan dari demokrasi individualis massa (Lipovetsky).
Media menyebarkan gaya hidup dimana gaya hidup dimana sistem representasi menjadi objek konsumsi. 

Rasionalisme instrumental sangat mewarnai media massa. Iklan digunakan untuk mempersuasi masyarakat sehingga muncul hasrat untuk dirayu. Iklan mendasarkan diri pada tipe verifikasi "self-fulfilling prophecy", yaitu seni membuat sesuatu menjadi benar dengan mengafirmasi bahwa benar. iklan tidak mendorong, tetapi mengajak untuk berharap. Sehingga timbulah masyarakat yang konsumerisme akibat ikut terhanyut iklan (korban iklan).

Dalam Partisipasi Politik, individu tidak tertarik pada ideologi politik. Ideologi politik tak lagi mampu memberi janji. Media disni menyebarkan gaya hidup para pejabat dimana sistem representasi menjadi objek konsumsi. Logika konsumsi pun diutamakan, yaitu prinsip pelayanan bebas dan self-service, pencarian emosi dan kesenangan, perhitungan utilitarian dan hubungan sosial hanya pada taraf permukaan.

III. Dilema Media Massa

Media massa kini mengalami dilema; di satu sisi media bermaksud supaya khalayak bisa membangun sikap kritis, kemandirian dan kedalaman berpikir; di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media melakukan pemberitaan yang didasari ke-spektakuleran, sensasional, dan pesan beragam lainnya. Media melakukan pembaharuan terus-menerus untuk menampilkan hal-hal yang menarik pemirsa, spaya media tidak ditinggalkan.
Alhasil, media dituntut untuk memberi informasi singkat dan cepat saji yang tentu saja memiliki kriteria spektakuler dan sensasional. 

Kekerasan simbolis media akhirnya sangat merugikan, upaya pencerdasan publik dan pendidikan kritis masyarakat. Dilema ini tercipta karena adanya tuntutan rating, yaitu seberapa banyak khalayak yang menikmati sajian berita yang disuguhkan dari media.

IV. Pentingnya Pencitraan

Sudah menjadi rahasia umum, keprihatinan utama media adalah keuntungan, yang tentu saja perlu dihiasi dengan pernak-pernik idealisme kemanusiaan. Mempengaruhi dan membentuk citra kemudian menjadi obsesi tersendiri bagi media.
Pencitraan mendiskualifikasi kategroi kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan, dan hiperealitas (J. Baudrillard).

Empat fase citra oleh J. Baudrillard, yaitu:
1. Representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas
2. Ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas
3. Citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas
4. Citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apa pun
Akhirnya, media mengandalkan sistemnya pada pencitraan, informasi pun kini hanya menjadi simulasi. Strategi disuasi berlangsng seakan semua berada dalam transparansi yang tidak memungkinkan orang melakukan tipuan.

V. Tiada Perlawanan Terorganisir dan Bentuk Baru Sensor

Kini autosensor sudah dilakukan oleh wartawan sendiri. Semacam tercipta gentlemen agreement tersendiri diantara wartawan untuk tidak mengkritik praktek yang dilakukan oleh rekan seprofesinya. Nilai jual media pun distandardisasikan tergantung dari pada kemampuan untuk memberi citra yang baik.

VI. Tiga Syarat Kemungkinan Etika Komunikasi

1. Media mempunyai kekuasaan dan efek yang dashyat terhadap publik.
2. Etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga kesimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab.
3. Mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental


Regina Bertha Utami Kumala
14140110044

[Sumber: Haryatmoko. 2007. ETIKA KOMUNIKASI, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.]

                                                                     --------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar