Senin, 11 April 2016

Mengapa Perlu Etika Komunikasi?

Informasi yang benar mencerahkan kehidupan. Memiliki akses ke informasi berarti kemudahan untuk mendapatkan kekuasaan atau mempertahankannya, yang pada gilirannya akan membantu orang mendapatkan keuntungan. Media adalah sarana utama untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi. Saying, hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar sering tidak dijamin karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, atau budaya. Keprihatinan utama pengelola media adalah keuntungan. Logika pasar menentukan tingkat kualitas informasi yang disuguhkan.

Dalam cara berpikir industri, informasi pertama-tama diangap sebagai barang dagangan. Ciri komersial ini menjadi lebih penting dari misi utama media, yaitu untuk klarifikasi dan memperkaya debat demokrasi. Logika yang sama juga mendasari keingintahuan yang besar untuk mengorek kehidupan pribadi selebritis. Kehidupan pribadi selebritis menjadi sasaran empuk para paparazzi dan wartawan infotainment. Jaman sekarang media dibawah tekanan persaingan yang semakin keras. Bagi mereka informasi untuk mencari keuntungan, tidak boleh terlambat, tidak boleh didahului oleh koran atau televisi lainnya. Untuk karena hal tersebut media berlomba untuk menyiarkan sesuatu yang spektakuler dan sensasional yang bahkan mengorbankan profesionalisme.
Di media sendiri terjadi persaingan, perang teluk (1991) antara media cetak dan media TV. Hal ini mendorong kreatifitas dan di sisi lain persaingan itu juga diikuti oleh semacam memeteisme (gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, seperti sangat urgent, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting. Informasi sampai kepada titik jenuh dan kelebihan, berita datang sendiri tanpa perlu untuk dicari. Situasi seperti itu sering membuat informasi penting diterima seperti berita-berita lain dan tanpa efek yang menggerakan. Ignacio Ramonet menggunakan istilah “efek penyekat” untuk mendeskripsikan kejadian yang menyembunyikan peristiwa lain. Efek tersebut sering digunakan untuk menutupi sebuah kasus. Media memiliki kekuasaan untuk membuat orang dapat melihat sejarah secara langsung.

Dalam reproduksi budaya, atau lebih tepat justru produksi budaya, tekanannya adaalah harus selalu bergerak, selalu berubah bukan untuk suatu tujuan utopis tertentu, tetapi karena diarahkan oleh efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup. Dalam hal partisipasi politik, individu tidak tertarik pada ideology politik. Ideologi politik tidak lagi mampu memberi janji, bahkan proyek sejarahnya tidak mampu lagi memobilisasi pengikut. Arena sosial menjadi tidak lain kecuali perpanjangan lingkup privat. Jadi, para politisi dewasa ini berhadapan dengan basis pendukung yang konsumeris, individualis, mudah berubah pandangan, dan skeptik. Dampaknya terasa dalam pembentukan identitas individu dan bentuk baru kebebasan. Media menyebarkan gaya hidup di mana sistem representasi menjadi objek konsumsi. Karena komersialisasi gaya hidup tidak menemui perlawanan structural, baik dari segi budaya maupun ideologi, lingkup sosial dan individual akhirnya diorganisir kembali menurut logika konsumsi.
Logika waktu pendek ini menempatkan media massa dalam situasi dilematis. Di satu sisi, idealisme media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa atau pendengar semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir; di sisi lain, pragmatism ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang beragam. Sindrom yang menyertai logika waktu pendek ialah dorongan untuk memberi informasi singkat dan cepat saji. Maka, pilihlah arus jeli. Akhirnya, kriteria spektakuler dan sensasional menjadi dominan. Akibatnya, media yang diandaikan memberi informasi cenderung menyamakan yang layak bernilai berita dengan yang sensasional dan politik murahan.

Buah dari media logika waktu pendek adalah cara berpikir semakin dibentuk oleh konsumsi dan mengikuti model rayuan informasi. Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan, dan hipperealitas. J. Baudrillard menjelaskan empat fase citra:
1. representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas
2. ideologi dimana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah tentang realitas
3. citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas lalu citra bermain menjadi penampakannya
4. citra tidak ada hubungannya sama sekali dengan realitas apapun

Media masssa tidak bisa dilepaskan dari maneuver capital. Kaitalisme pasar uang menggagalkan visi jangka panjang negara demi performance jangka pendek, sirkulasi cepat capital pada tingkat global dan transaksi ekonomi yang semakin cepat.  Bentuk dominasi itu mengakibatkan ketidakadilan, pembodohan dan konsumerisme, perjuangan mendapatkan informasi yang benar kerap menjadi susah. Etika komunikasi tidak bekerja pertama-tama melalui regulasi keamanan. Maka, sensor bukan sarana yang baik untuk menegakan etika komunikasi. Sensor bisa menjadi sebagai propaganda (yang berusaha mengkonstruksi suatu kebenaran palsu dengan memproduksi fakta-fakta atau menyembunyikan. Nilai jual media tergantung kepada kemamuan untuk memberi citra yang baik dan citra dibangun pada integritas dan ketidak berpihakan mereka. Tentu saja dalam hal ini arah politik media ditentukan oleh kelompok media dominan dan pemegang saham.

Setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa penerapan etika komunikasi semakin mendesak: 
Pertama, media mempunyai efek dan kekuasaan yang dahsyat terhadap publik. Padahal media mudah memanipulasi menganalisasi audiens. Dengan demikian, etika komunikasi mau melindungi publik yang lemah; 
Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Salah satunya adalah mengingatkan tendensi korporatis para wartawan media besar untuk memonopoli kritik. Jangan sampai semua bentuk kritik terhadap media langsung dimasukkan kedalam stigma pembatasan atau pengebirian kebebasan pers. Jadi, tujuannya justru untuk masa depan pers sendiri dengan menagih tanggung jawab negara; 
Ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertahankan kredibilitas pers didepan publik, tujuan media sebagai instrument pencerahan kurang mendapat perhatian. Padahal nilai dan makna melekat pada tujuan suatu tindakan, sedangkan logika instrumental sering dijadikan sarana, cara atau instrument sebagai tujuan pada dirinya. 

Damianus R. Soni Pati
14140110066


Tidak ada komentar:

Posting Komentar