Perlukah Etika Komunikasi ?
Informasi yang benar mencerahkan kehidupan. Makna dari kata ini ialah
bahwa berharganya sebuah informasi yang benar, karena dengan hal yang benar
berbagai pertimbangan dapat diambil, menghindari kesalah paham dan menjadi
sarana penting untuk menciptakan perdamaian. Oleh karena itu media asebgai
sarana utama untuk mendapat dan menyampaikan informasi. Namun tugas media
sebagai peningkat pendidikan dapat terpengaruhi oleh kepentingan politik dan
ekonomi serta budaya yang otomatis merengut hak publik untuk dapat mendapatkan
informasi yang benar.
Informasi sebagai komoditi dan Mimetisme
Pemikiran dengan perspektif industri sudah membuat informasi menjadi
barang dagangan. Komersial menjadi misi utama media yaitu untuk klarifikasi dan
memperkaya debat demokrasi( Ignacio Ramonet 2001:10). Konsepnya adalah berita
mengenai kasus perselingkuhan, perceraian, dan keributan rumah tangga
selebritis maupun tokoh penting menjadi menu utama. Contohnya adalah kasus Pernikahan
Rafi Ahmad dengan Nagita yang menjadi tayangan dua jam full nonstop pada
televisi yang notabene rafi bukan orang penting melainkan selebriti, hal ini
lah yang memiliki nilai jual tinggi untuk memenuhi rasa puas penggemarnya maupun
pemirsa yang menyaksikannya. Cara berfikir atau logika ini yang melahirkan
adanya paparzzi dan wartawan infotainment. Seperti pada kasus
perselingkuhan Lady Di dengan kekasihnya Dodi Al-Fayed yang menjadi kover utama
di banyak media dibanding kunjungan presisden pada daerah musibah.
Tekanan persaingan yang keras dan tuntutan keberhasilan komersial antar media menjadi hal yang sangat berat,
karena pimpinannya sudah berganti dari jurnalisme namun dari orang-orang
perusahaan yang mengejar keuntungan dibandingkan kebenaran sebuah informasi
karena pasar informasi bagi mereka adalah mencari keuntungan. Tidak boleh terlambat
dari media lain dalam menyiarkan atau menyebarkan informasi dan berlomba-lomba
untuk menyajikan berita yang sensasional maupun spektakuler yang akhirnya
mengorbankan profesionalisme.
Fenomena informasi yang berlebihan membuat jenuh wartawan karena makin
melimpahnya data – data, laporan yang perlu diolah. Maka menurut Ignacio
Ramonet menggunakan istilah “ efek penyekat” untuk mendeskripsikan kejadia yang
menyembunyikan peristiwa lain. Efek seperti ini biasanya untuk pengalihan kasus
– kasus tertentu.
Media mengubah
Integrasi sosial, reproduksi budaya dan partisipasi politik
Media menyebarkan ke seluruh tubuh sosial tidak hanya ide pembebasan
tetapi juga nilai-nilai hedonis yang mempengaruhi integritas sosial yang
membuatnya menghadapi kendala berupa individualisme narcisik. Hedonisme
individualyang cenderung memuja kultus masa kini mengaikabatkan kontrol sosial
dari instasi tradisional tidak mampu memberlakukan norma-norma yang ada dengan
baik.
Semua jenis bentuk institusi yang
membatasi emansipasi individu melemah atau digerogoti oleh hasrat diri, pemenuhan
diri, dan penghargaan diri. Maka makin banyak tuntutanuntuk diakui dan
penghormatan terhadap perbedaan. Individualis massa menurut Lipovetsky menjadi
penyebab dari fenomena ini. Sistem politik yang menyingkirkan prinsip abstrak
seperti kewarganegaraan demi menemukan kutub identifikasi yang dekat dan
partikular. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang cenderung melakukan
investasi untuk mereka yang dekat, hubungan SARA yang sama.
Dilema Media
Massa
Logika waktu pendek ini menempatkan media massa dalam situasi dilematis,
mengapa? Karena idealisme media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar
pembaca semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir;
disisilain pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang
terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang
beragam.
Logika mode yang membuat media salalu memperbaharui diri agar tidak
ditinggalkan oleh pelanggannya karena ingin menekanan pada aspek efektifitas,
rasionalitas serta berakhir pada keuntungan yang membuat media kehilangan
nilai-nilai kebenaran yang ada karena dengan kemasan yang baru, aktualitas yang
spektakuler dan presentasi yang ringkas meningkatkan minat pelanggan dalam
mengkonsmsi medianya.
Informasi singkat dan cepat saji menjadi kecenderungan media
masa kini, dengan memasukkan unsur spektakuler dan sensasional menjadi dominan
utama. Seperti pemberitaan media saat pilkada, yang menunjukkan unsur hiburan
dari kampanye bukannya menampilkan debat yang lebih mendidik audiens, karena
unsur utama media adalah memberikan pendidikan, dalam hal ini adalah pendidikan
politik. Dilema lain yang dihadapi media adalah Rating, yang berarti banyaknya
iklan, oleh karean itu tuntutan memberikan informasi yang benar dan mendidik
menjadikan media menggunakan berbagai cara untuk menyampaikannya yang membuat
audiens tidak dapat membedakan berita yang benar, palsu, manipulasi, maupun
yang riil.
Tiada
Perlawanan terorganisir dan bentuk baru sensor
Media massa tidak bisa dilepaskan dari manuver kapital. Hal ini
disebabakan karean logika waktu pendek mengubah kapitalisme yang akhirnya
menggagalkan visi jangka panjang negara demi performa jangka pendek yang
membuat perputaran ekonomi semakin cepat pula. Kemajuan teknik informasi
menjamin mobilitas modal yang tinggi sehingga sewaktu-waktu pemodal bisa pindah
ke perusahaan yang lebih menguntungkan.
Persaingan yang
merupakan logika pasar, semakin memacu perilaku individualis. Makna kewajiban
dan hutang budi kepada kelompok menghilang. Masayatakat semakin tidak peduli
terhadap kesejahteraan bersama. Oleh karena itu dalam menghadapi kapitalisme
global, komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tak tekontrol itu,
tidak ada perlawanan terorganisir yang didukung oleh struktur kuatdan ideologi
yang serius. Media memiliki peran dalam mempengaruhi masyarakat dengan
menanmkan kebebasan dan inisiatif, tetapi media justru semakin membaut pembaca
atau audiens menjadi tergantung dan kompulsif. Dalam pengaruh pragmatisme
ekonomi, logika kormesial membuat refleksi diabaikan demi emosi, teori
ditinggal demi kegunaan praktis yang sebenarnya hasil dari keduanya adalah
argumentasi. Argumentasi yang membuat tulisan panjang dan tontonan monoton
membuat penonton bosan. Hal inilah yang tidak dapat lagi peran editor, agen
iklan dan profesi media lainnya memegangkendali. Selanjutnya yang mengontrol
adalah para pemegang saham yang pada akhirnya menimbulkan pembodohan, ketidak
adilan dan konsumenrisme. Analisis dari pengamat dan bagian lainnya hanya akan
terkesan memantul saja karena tidaka akan ada yang mau mendengar karena
mengandalkan aspek kecepatan itu sendiri dan prinsip kepentingan.
Sensor bukan
cara yang baik untuk menegakkan etika komunikasi, karena dewasa ini sensor
sudah bertransformasi menjadi sensor tersembunyi dalam aspek ekonomi atau
komersial. Selain itu nerlimpahnya informasi yang harus didengar, dibaca, dan dilihat
menjadi celah untuk menyusupnya sensor yang membuat orang tidak mampu melihat
lagi apa yang kurang dari suatu informasi. Sensor terletak dalam penciptaan
hiperrealitas. Sensor pun dapat menjadi propaganda, yaitu seperti dapat
dipahami sebagai wacana yang berusaha mengkonstruksikan suatu kebenaran palsu
dengan memproduksi fakta atau menyembunyikan. Auto sensor yang tumbuh
dikalangan wartawan dengan maksud untuk tidak mengkritik praktek yang tidak
benar yang dilakukan rekannya karena merekapun ditekan oleh tuntutan pasar yang
tinggi pula. Seperti pada informasi yang akhirnya bias dengan pengiklan dan
meruntuhkan tembok iklan dengan meja redaksi yang dalam hal ini arah politk
media ditentukan oleh pemegang saham.
Tiga syarat
kemungkinan etika komunikasi
Etika komunikasi perlu ditegakkan karena menurut Bois Libois 1994:3
adalah pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dashyat terhadap
publik. Padahal media mudah memanipulasi dan mengeleimnasi audiens. Dengan demikian
etika komunikasi mau melikndungi publik yang lemah; kedua, etika komunikasi merupakan
upaya untuk menjaga upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan
berekspresi dan tanggung jawab. Salah satunya adalah mengingatkan tendesi
korporatis para wartawan media besar untuk memonopoli kritik. Sementara praktek
mereka tidak mau dikritk. Jangan sampai semua bentuk kritik terhdap media
langsung dimasukkan kedalam stigma pembatasan atau pengebirian kebebasan pers. Jadi,
tujuannya justru untuk masa depan pers sendiri dengan menagih tanggung jawab
negara; ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika
instrumental. Logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, yang penting
hanyalah mempertahankan kredibilitas pers didepan publik, tujuan media sebagai
instrumen pencerah kurang mendapat perhatian. Karena nilai dan makna melekat
pada tujuan sutau tindakan, sedangkan logika instrumental sering menjadikan
sarana, cara atau instrumental sebagai tujuan pada dirinya. Logika ini menuntun
pada determinasi ekonomi dan teknologi, oleh karena itu etika komunikasi ingin
mengoreksi agar kedua determinasi ini tidak dijadikan alibi tanggung jawab
wartawan dan editor untuk memberikan pembenaran keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar