Senin, 11 April 2016

ETIKA KOMUNIKASI


Perlukah Etika Komunikasi ?
Informasi yang benar mencerahkan kehidupan. Makna dari kata ini ialah bahwa berharganya sebuah informasi yang benar, karena dengan hal yang benar berbagai pertimbangan dapat diambil, menghindari kesalah paham dan menjadi sarana penting untuk menciptakan perdamaian. Oleh karena itu media asebgai sarana utama untuk mendapat dan menyampaikan informasi. Namun tugas media sebagai peningkat pendidikan dapat terpengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi serta budaya yang otomatis merengut hak publik untuk dapat mendapatkan informasi yang benar.
Informasi sebagai komoditi dan Mimetisme
Pemikiran dengan perspektif industri sudah membuat informasi menjadi barang dagangan. Komersial menjadi misi utama media yaitu untuk klarifikasi dan memperkaya debat demokrasi( Ignacio Ramonet 2001:10). Konsepnya adalah berita mengenai kasus perselingkuhan, perceraian, dan keributan rumah tangga selebritis maupun tokoh penting menjadi menu utama. Contohnya adalah kasus Pernikahan Rafi Ahmad dengan Nagita yang menjadi tayangan dua jam full nonstop pada televisi yang notabene rafi bukan orang penting melainkan selebriti, hal ini lah yang memiliki nilai jual tinggi untuk memenuhi rasa puas penggemarnya maupun pemirsa yang menyaksikannya. Cara berfikir atau logika ini yang melahirkan adanya paparzzi dan wartawan infotainment. Seperti pada kasus perselingkuhan Lady Di dengan kekasihnya Dodi Al-Fayed yang menjadi kover utama di banyak media dibanding kunjungan presisden pada daerah musibah.
Tekanan persaingan yang keras dan tuntutan keberhasilan komersial  antar media menjadi hal yang sangat berat, karena pimpinannya sudah berganti dari jurnalisme namun dari orang-orang perusahaan yang mengejar keuntungan dibandingkan kebenaran sebuah informasi karena pasar informasi bagi mereka adalah mencari keuntungan. Tidak boleh terlambat dari media lain dalam menyiarkan atau menyebarkan informasi dan berlomba-lomba untuk menyajikan berita yang sensasional maupun spektakuler yang akhirnya mengorbankan profesionalisme.

Fenomena informasi yang berlebihan membuat jenuh wartawan karena makin melimpahnya data – data, laporan yang perlu diolah. Maka menurut Ignacio Ramonet menggunakan istilah “ efek penyekat” untuk mendeskripsikan kejadia yang menyembunyikan peristiwa lain. Efek seperti ini biasanya untuk pengalihan kasus – kasus tertentu.
Media mengubah Integrasi sosial, reproduksi budaya dan partisipasi politik
Media menyebarkan ke seluruh tubuh sosial tidak hanya ide pembebasan tetapi juga nilai-nilai hedonis yang mempengaruhi integritas sosial yang membuatnya menghadapi kendala berupa individualisme narcisik. Hedonisme individualyang cenderung memuja kultus masa kini mengaikabatkan kontrol sosial dari instasi tradisional tidak mampu memberlakukan norma-norma yang ada dengan baik.
            Semua jenis bentuk institusi yang membatasi emansipasi individu melemah atau digerogoti oleh hasrat diri, pemenuhan diri, dan penghargaan diri. Maka makin banyak tuntutanuntuk diakui dan penghormatan terhadap perbedaan. Individualis massa menurut Lipovetsky menjadi penyebab dari fenomena ini. Sistem politik yang menyingkirkan prinsip abstrak seperti kewarganegaraan demi menemukan kutub identifikasi yang dekat dan partikular. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang cenderung melakukan investasi untuk mereka yang dekat, hubungan SARA yang sama.
Dilema Media Massa
Logika waktu pendek ini menempatkan media massa dalam situasi dilematis, mengapa? Karena idealisme media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir; disisilain pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang beragam.
Logika mode yang membuat media salalu memperbaharui diri agar tidak ditinggalkan oleh pelanggannya karena ingin menekanan pada aspek efektifitas, rasionalitas serta berakhir pada keuntungan yang membuat media kehilangan nilai-nilai kebenaran yang ada karena dengan kemasan yang baru, aktualitas yang spektakuler dan presentasi yang ringkas meningkatkan minat pelanggan dalam mengkonsmsi medianya.
Informasi singkat dan cepat saji menjadi kecenderungan media masa kini, dengan memasukkan unsur spektakuler dan sensasional menjadi dominan utama. Seperti pemberitaan media saat pilkada, yang menunjukkan unsur hiburan dari kampanye bukannya menampilkan debat yang lebih mendidik audiens, karena unsur utama media adalah memberikan pendidikan, dalam hal ini adalah pendidikan politik. Dilema lain yang dihadapi media adalah Rating, yang berarti banyaknya iklan, oleh karean itu tuntutan memberikan informasi yang benar dan mendidik menjadikan media menggunakan berbagai cara untuk menyampaikannya yang membuat audiens tidak dapat membedakan berita yang benar, palsu, manipulasi, maupun yang riil.
Tiada Perlawanan terorganisir dan bentuk baru sensor
Media massa tidak bisa dilepaskan dari manuver kapital. Hal ini disebabakan karean logika waktu pendek mengubah kapitalisme yang akhirnya menggagalkan visi jangka panjang negara demi performa jangka pendek yang membuat perputaran ekonomi semakin cepat pula. Kemajuan teknik informasi menjamin mobilitas modal yang tinggi sehingga sewaktu-waktu pemodal bisa pindah ke perusahaan yang lebih menguntungkan.
Persaingan yang merupakan logika pasar, semakin memacu perilaku individualis. Makna kewajiban dan hutang budi kepada kelompok menghilang. Masayatakat semakin tidak peduli terhadap kesejahteraan bersama. Oleh karena itu dalam menghadapi kapitalisme global, komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tak tekontrol itu, tidak ada perlawanan terorganisir yang didukung oleh struktur kuatdan ideologi yang serius. Media memiliki peran dalam mempengaruhi masyarakat dengan menanmkan kebebasan dan inisiatif, tetapi media justru semakin membaut pembaca atau audiens menjadi tergantung dan kompulsif. Dalam pengaruh pragmatisme ekonomi, logika kormesial membuat refleksi diabaikan demi emosi, teori ditinggal demi kegunaan praktis yang sebenarnya hasil dari keduanya adalah argumentasi. Argumentasi yang membuat tulisan panjang dan tontonan monoton membuat penonton bosan. Hal inilah yang tidak dapat lagi peran editor, agen iklan dan profesi media lainnya memegangkendali. Selanjutnya yang mengontrol adalah para pemegang saham yang pada akhirnya menimbulkan pembodohan, ketidak adilan dan konsumenrisme. Analisis dari pengamat dan bagian lainnya hanya akan terkesan memantul saja karena tidaka akan ada yang mau mendengar karena mengandalkan aspek kecepatan itu sendiri dan prinsip kepentingan.
Sensor bukan cara yang baik untuk menegakkan etika komunikasi, karena dewasa ini sensor sudah bertransformasi menjadi sensor tersembunyi dalam aspek ekonomi atau komersial. Selain itu nerlimpahnya informasi yang harus didengar, dibaca, dan dilihat menjadi celah untuk menyusupnya sensor yang membuat orang tidak mampu melihat lagi apa yang kurang dari suatu informasi. Sensor terletak dalam penciptaan hiperrealitas. Sensor pun dapat menjadi propaganda, yaitu seperti dapat dipahami sebagai wacana yang berusaha mengkonstruksikan suatu kebenaran palsu dengan memproduksi fakta atau menyembunyikan. Auto sensor yang tumbuh dikalangan wartawan dengan maksud untuk tidak mengkritik praktek yang tidak benar yang dilakukan rekannya karena merekapun ditekan oleh tuntutan pasar yang tinggi pula. Seperti pada informasi yang akhirnya bias dengan pengiklan dan meruntuhkan tembok iklan dengan meja redaksi yang dalam hal ini arah politk media ditentukan oleh pemegang saham. 
Tiga syarat kemungkinan etika komunikasi
Etika komunikasi perlu ditegakkan karena menurut Bois Libois 1994:3 adalah pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dashyat terhadap publik. Padahal media mudah memanipulasi dan mengeleimnasi audiens. Dengan demikian etika komunikasi mau melikndungi publik yang lemah; kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Salah satunya adalah mengingatkan tendesi korporatis para wartawan media besar untuk memonopoli kritik. Sementara praktek mereka tidak mau dikritk. Jangan sampai semua bentuk kritik terhdap media langsung dimasukkan kedalam stigma pembatasan atau pengebirian kebebasan pers. Jadi, tujuannya justru untuk masa depan pers sendiri dengan menagih tanggung jawab negara; ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertahankan kredibilitas pers didepan publik, tujuan media sebagai instrumen pencerah kurang mendapat perhatian. Karena nilai dan makna melekat pada tujuan sutau tindakan, sedangkan logika instrumental sering menjadikan sarana, cara atau instrumental sebagai tujuan pada dirinya. Logika ini menuntun pada determinasi ekonomi dan teknologi, oleh karena itu etika komunikasi ingin mengoreksi agar kedua determinasi ini tidak dijadikan alibi tanggung jawab wartawan dan editor untuk memberikan pembenaran keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar