1. Informasi
sebagai Komoditi dan Mimetisme
Informasi
dianggap sebagai barang dagangan. Contoh nyata ialah kasus hubungan anggota DPR
Yahya Zaini dan Maria Eva. Lebih dari satu minggu, kasus ini menyita halaman
pertama banyak media dan televisi seakan-akan tidak ada informasi lain yang
lebih penting. Tujuan pasar informasi adalah mencari keuntungan.
Mimetisme
adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, sepertinya
sangat urgen, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang
menjadi acuan, menganggapnya penting. Banyak media yang mengabaikan prosedur
jurnalistik yang hakiki.
2. Media
Mengubah Integrasi Sosial, Reproduksi Budaya, dan Partisipasi Politik
Integrasi
sosial menghadapi kendala dalam bentuk individualism narcisik. Hedonisme
individual mengabaikan kontrol sosial dari instasi tradisional sehingga
norma-norma tradisional meredup/
Dalam
reproduksi budaya, tekanannya adalah harus selalu bergerak, selalu berubah
bukan untuk suatu tujuan utopis tertentu, tetapi karena diarahkan oleh
efektivitas ddan tuntutan agar bisa bertahan hidup.
Dalam
hal partisipasi politik, individu tidak tertarik pada ideology politik. Para
politisi dewasa ini berhadapan dengan basis pendukung yang konsumeris, individualis,
mudah berubah pandangan, dan skeptik. Media menyebarkan gaya hidup di mana
sistem representasi menjadi objek konsumsi.
3. Dilema
Media Massa
Di
satu sisi, idealism media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar
pembaca, pemirsa, atau pendengar semakin memiliki sikap kritis, kemandirian,
dan kedalaman berpikir. Di sisi lain, pragmatism ekonomi memaksa media
mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang spektakuler, sensasional,
superfisial, dan pesan yang beragam.
4. Pentingnya
Pencitraan
J.
Baudrillard menjelaskan empat fase citra. Pertama, representasi di mana citra
merupakan cermin suatu realitas. Kedua, ideologi di mana citra menye,bunyikan
dan memberi gambar yang salah akan realitas. Ketiga, citra menyembunyikan bahwa
tidak ada realitas. Keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan
realitas apa pun: ia hanya menjadi yang menyerupai dirinya. Bila media
mengandalkan operasinya pada pencitraan, akhirnya informasi hanya menjadi
simulasi.
5. Tiada
Perlawanan Terorganisir dan Bentuk Baru Sensor
Dalam
menghadapi kapitalisme global, komersiliasi gaya hidup dan individualisasi yang
tak terkontrol, tidak ada perlawanan terorganisir yang didukung oleh struktur
kuat dan ideology yang serius. Media sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi
masyarakat dengan menanamkan kebebasan dan inisiatif, tetapi media justru
semakin membuat pembaca atau audiens tergantung dan kompulsif.
Dewasa
ini, sensor berubah bentuk. Sensor tidak lagi tampil dalam bentuk primer karena
bukan lagi masalah menghilangkan, memotong, melarang sejumlah aspek fakta, atau
menyembunyikannya. Sensor justru menyusup dalam berlimpahnya informasi yang
harus dilanggar, dibaca, atau dilihat sehingga orang tidak mampu melihat
apalagi yang kurang dari suatu informasi. Sensor itu terletak dalam penciptaan
hiperrealitas.
6. Tiga
Syarat Kemungkinan Etika Komunikasi
Pertama,
media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Kedua, etika
komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan
berekspresi dan tanggung jawab. Ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin
dampak negatif dari logika instrumental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar