Sebuah
berita adalah informasi, informasi yang berguna untuk kepentingan banyak orang.
Media bertanggung jawab untuk menyebarkan berita untuk kepentingan banyak orang
tersebut. Sayangnya, hak untuk
mendapatkan informasi media di Indonesia sendiri tidak dapat terpenuhi dengan
sesuai. Informasi yang disajikan telah bercampur dengan kepentingan politik dan
ekonomi oleh pihak pemilik media.
Pengelola
media lebih mementingkan keuntungan dan tidak memperdulikan informasi yang
disajikannya. Logika pasar media ini, menentukan tingkat kualitas informasi
yang disuguhkan kepada pengguna media.
INFORMASI=
KOMODITI DAN MIMITISME
Cara
berpikir industri media membuat posisi informasi sebagai barang yang dijual
atau kasarnya barang dagangan. Hal- hal semacam urusan rumah tangga lebih
diekspos ketimbang kerja DPR yang merosot. Media mengikuti tingkat
keingintahuan pengguna media yang sebenarnya tertarik terhadap hal- hal privat
yang seharusnya tidak perlu dijadikan berita.
Hal
ini menciptakan paradigma yang buruk tentang pekerjaan wartawan sebagai pewarta
kebenaran, dengan mengumbar kehidupan privat seorang artis atau tokoh politik,
kerja wartawan seakan hanya mempublikasikan kehidupan pribadi selebriti. Dengan
gambaran kinerja media dalam mencari berita, bisa kita lihat bahwa media
menjadikan berita sebagai komoditas dan bukan informasi aktual yang berimbang.
Kondisi
ini menimbulkan logika simulasi (J.
Baudrilliard), yang memiliki makna bahwa manusia tidak akan sampai pada
kebenaran karena realitas dan representasi, hiperrealitas, atau tipuan tidak
bisa dicek atau dibedakan lagi. Persaingan menghalalkan semua cara.
Selain
itu ada juga mimetisme yaitu gairah
yang tiba- tiba menghinggapi media dan mendorong media untuk mengikuti kejadian
dan meliputnya karena media lain juga meliput kejadian tersebut. Mengganggap
kejadian itu penting, tapi ternyata tidak ada nilai berita di dalamnya. Tren ‘ikut- ikutan’ ini muncul dengan harapan
semakin banyak suatu kasus diliput media, maka dapat diyakini bahwa kejadian
tersebut adalah penting.
Media
lebih banyak mempraktekan istilah “teori penyekat” (Ignacio Ramonet), dimana
sebuah berita penting justru ditutupi keberadaannya dengan berita yang kurang
penting. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengalihan isu terkait dengan pemilik
kekuasaan yang berhubungan dengan pemilik media tersebut.
Praktik
kerja semacam inilah yang membuat media kehilangan kredibelitasnya di
masyarakat umum, baik dari orang awam hingga terdidik. Sudah banyak keluhan
tentang praktik kerja jurnalis yang tidak berimbang ini, sayangnya komplain ini
tidak ditanggapi secara serius oleh pemilik media. Akhirnya, konsumsi media
massa menentukan dinamisme komersial dan makna kesedihan.
Media
Mengubah Integrasi Sosial, Reproduksi Budaya, dan Partisipasi Politik
Integrasi sosial dihadapkan kepada kendala individualisme narcisik. Individualisme
narcisik adalah hanyutnya individu- individu ke dalam hedonisme, dan membuat
kontrol sosial dari instansi tradisional dan norma- norma tradisional diabaikan.
Saat
hak- hak individu dikesampingkan dan satu kekuatan besar yang harus diutamakan
saat itulah kontrol sosial mati. Hal ini disebabkan oleh sistem politik yang
prematur, demokrasi individualis massa ditanggapi secara tidak tepat
menghasilkan orang- orang yang cenderung melakukan investasi untuk mereka yang
dekat dan memiliki latar kehidupan yang sama. Akibatnya individu- individu itu
menghancurkan solidaritas demokrasi yang murni dan kembali menjadi individu
yang sesuai dengan golongan kelasnya.
Reproduksi budaya dihadapkan pada kretifitas yang tidak berkembang. Perkembangan budaya
adalah ciri dari budaya tersebut,sayangnya untuk kefektifitasan dan tuntutan
untuk bertahan hidup budaya menjadi stagnan dan tidak mengalami perubahan.
Dalam
penyajian berita, teknik presentasi akhirnya lebih dipentingkan dibandingkan
dengan materi/ pesan yang terdapat dalam berita tersebut. Nilai berita
dihilangkan untuk mendapat kesan baik di mata penikmatnya. Dalam teknik
pemotongan gambar, kejadian dan dunia menjadi pesan yang terputus- putus, berurutan,
dan tidak saling bertentangan. Sehingga menghasilkan pemaknaan hidup yang salah
di masyarakat awam.
Media
juga mengubah cara pandang penggunanya terhadap seuatu produk atau jasa melalui
iklan. Iklan menggambarkan dan mendasarkan dirinya dengan tipe verifikasi “self- fullfilling propehcy” artinya seni
membuat sesuatu menjadi benar dan mengafirmasi bahwa itu benar. Hal ini membuat
kebiasaan konsumerisme, sensualitas, dan estesasi di masyarakat terus bertumbuh
dan menghilangkan tujuan utama munculnya media yaitu untuk menjadi penyedia
berita yang berimbang dan benar.
Partisipasi Politik juga ikut berubah mengikuti perubahan media, karena para politisi
dihadapakan pada masyarakat yang bersikap apatis terhadap politik. Sikap apatis
itu tumbuh dari berubahnya reproduksi budaya, selain itu munculnya logika
berpikir dalam jangka waktu pendek membuat kinerja politik di Indonesia menjadi
tidak kondusif dan cenderung hanya ikut- ikutan belaka.
Dilema
Media Massa: Idealis atau Kapitalis?
Idealnya,
media massa dituntut untuk menyajikan berita yang berimbang dan tidak berat
pada satu pihak. Sayangnya, di era digital
ini, media lebih cenderung menyajikan hal- hal yang berbau sensasional yang
berhubungan dengan urusan kasur dan dapur. Seharusnya media dapat membawa suatu
negara untuk mencerdaskan kehidupan rakyatnya lewat konten- konten yang
mendidik. Sayangnya lagi, konten yang disajikan di media- media sekarang
khususnya televisi adalah konten yang dibentuk dari mekanisme yang menciptakan
kekerasan simbolik.
Kekerasan
simbolik sendiri memiliki arti kekerasan yang berlangsung dengan persetujuan
tersirat dari korbannya sejauh mereka tidak sadar melakukan atau menderitanya
(P. Bourdieu, 1996:16). Kekerasan simbolik ini sangat merugikan pencerdasan
bangsa dan pendidikan kritis masyarakat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat
yang tidak sadar akan adanya kekerasan simbolik tersebut. Media harusnya dapat
bersikap bijak menanggapi masalah ini, berikan konten- konten program yang
berkualitas dan tidak terpaku pada rating,
karena penghitungan rating saat ini
sebenarnya sudah tidak efektif lagi.
PENCITRAAN
MEDIA
4
fase citra menurut J. Baudrillard (1981:17) :
1. Citra adalah cerminan suatu realitas
2. Ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi
gambar yang salah akan realitas.
3. Citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas; lalu
citra bermain menjadi penampakannya.
4. Citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas
apapun; ia hanya mejadi yang menyerupai dirinya.
Keuntungan
yang menjadi fokus media dewasa ini, menjadi alasan mengapa media harus
membentuk citra. Media membentuk suatu strategi yang riil dan untuk
menghasilkan yang hiperriil dengan didahuli strategi disusiasi. Strategi
disusasi berlangsung seakan semua berada dalam transparansi yang tidak
memungkinkan orang melakukan tipuan.
SENSOR
Etika
komunikasi tidak bekerja pertama- tama melalui regulasi pelarangan. Ia lebih
mengantar pemirsa, pendengar, atau pembaca mampu mengambil jarak sehingga
menjadi kritis serta lebih mengarahkan pada informasi yang mendidik dan
memperkaya.
Sensor
sudah berubah zaman, saat ini sensor dilakukan oleh wartawan itu sendiri Sensor
yang dilakukan oleh wartawan acap kali menjadi berita yang tidak berimbang dan
tidak menjadi sesuai dengan keadaan nyata. Hiperrealitas terbentuk ketika
subjektifitas wartawan bermain di dalam sebuah berita. Sensor pada wartawan
dapat menjadi alat propaganda. Sensor yang baik di mata pemilik media akan
membuat nilai jual media tergantung pada kemampuan untuk memberi citra yang
baik.
3
Syarat Kemungkinan Etika Komunikasi
1. Media mempunyai kekuasaan dan efek dahsyat terhadap
publik. Etika komunikasi dapat diterapkan untuk melindungi publik yang lemah
2. Etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga
keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab.
3. Etika mencoba menghindari sedapat mungkin dampak
negatif dari logik instrumental yang mengabaikan nilai dan makna sebuah berita.
Livia Kristianti
14140110102
Sumber:
Haryatmoko.
2007. ETIKA KOMUNIKASI, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar