Senin, 11 April 2016

review : Mengapa Perlu Etika Komunikasi?

Agnes Chyntia
14140110410 
Media dibawah tekanan persaingan yang semakin keras dan tuntutan keberhasilan komersial semakin berat. Banyak pimpinan media datang dari dunia perusahaan bukan lagi dimonopoli dunia jurnalisme. Para pimpinan ini tidak terlalu peka akan tuntutan informasi yang benar. Di satu sisi, persaingan itu mendorong ke kreativitas; di sisi lain, persaingan itu juga diikuti oleh semacam mimetisme. Mimetisme adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, sepertinya sangat urgent, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting (ibid., 33).
Dalam reproduksi budaya, atau lebih tepat justru produksi budaya, tekanannya adaalah harus selalu bergerak, selalu berubah bukan untuk suatu tujuan utopis tertentu, tetapi karena diarahkan oleh efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup. Dalam hal partisipasi politik, individu tidak tertarik pada ideology politik. Ideologi politik tidak lagi mampu memberi janji, bahkan proyek sejarahnya tidak mampu lagi memobilisasi pengikut. Arena sosial menjadi tidak lain kecuali perpanjangan lingkup privat (S. Charles, 2004:28). Jadi, para politisi dewasa ini berhadapan dengan basis pendukung yang konsumeris, individualis, mudah berubah pandangan, dan skeptik (J. Blumler, 2000:156). Dampaknya terasa dalam pembentukan identitas individu dan bentuk baru kebebasan. Media menyebarkan gaya hidup di mana sistem representasi menjadi objek konsumsi. Karena komersialisasi gaya hidup tidak menemui perlawanan structural, baik dari segi budaya maupun ideologi, lingkup sosial dan individual akhirnya diorganisir kembali menurut logika konsumsi (G. Lipovetsky, 2004: 41)
Logika waktu pendek ini menempatkan media massa dalam situasi dilematis. Di satu sisi, idealisme media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa atau pendengar semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir; di sisi lain, pragmatism ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang beragam. Sindrom yang menyertai logika waktu pendek ialah dorongan untuk memberi informasi singkat dan cepat saji. Maka, pilihlah arus jeli. Akhirnya, kriteria spektakuler dan sensasional menjadi dominan. Akibatnya, media yang diandaikan memberi informasi cenderung menyamakan yang layak bernilai berita dengan yang sensasional dan politik murahan.
Buah dari media logika waktu pendek adalah cara berpikir semakin dibentuk oleh konsumsi dan mengikuti model rayuan informasi (S. Charles, 2004:58). Muncul masyarakat ringan yang tidak lagi memaksakan norma melalui disiplin, tetapi melalui pilihan dan rayuan. Orang tidak lagi memaksakan aturan “Dilarang merikik!” bentuk informasi diubah menjadi rayuan “ Merokok merugikan kesehatan”. J. Baudrillard menjelaskan empat fase citra (1981:17): pertama, representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideology dimana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra bermain menjadi penampakannya; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun: ia hanya menjadi yang menyerupai dirinya. Bila media mengandalkan operasinya pada pencitraan, akhirnya informasi hanya menjadi simulasi.

Media adalah saran utama untuk menyampaikan dan mendapat informasi. Tapi media zaman sekarang justru dikuasai oleh orang-orang tertentu karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, atau budaya. Halini justru menggangu hak masyarakat untuk menerima informasi yang seharusnya. Keprihatinan utama pengelola media adalah keuntungan. Logika pasar menentukan tingkat kualitas informasi yang disuguhkan.
Paparazzi dan wartawan infotainment hanyalah buah dari situasi media yang snagat didominasi oleh pasar dan keuntungan. Bagi mereka, pasar informasi pertama-pertama adalah untuk mencari keuntungan.maka dari itu, media berlomba-lomba menyajikan yang sensasional dan spektakuler, dengan harga apa pun yang kadang sampai mengorbankan profesionalisme. Infotainment sendiri suka mengulik masalah artis yang cenderung sensasional sehingga masyarakat tertarik dan rating naik sehingga keuntungan yang didapat lebih banyak karena pengiklan tertarik untuk memasang iklannya di acara infotainment itu. Persiangan menghalalkan semua cara. Demi mendapat keuntungan dan menjaga kedudukan, media saling bersaing bahkan melanggar kode etik jurnalistik yang ada.
Di satu sisi, persaingan mendorong kreativitas. Di sisi lain, persiangan juga diikuti semacam mimetisme. Mimetisme adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, seperti sangat urgen, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting. Jadi mereka seperti ikut-ikutan media acuannya (latah). Jadi, media saling membangkitkan keingintahuan di kalangan mereka sendiri, menaikkan penawaran dan membiarkan diri dibawa oleh hasrat untuk memberi informasi yang seba lebih, tetapi karena tekanan persaingan , mereka dilontarkan sampai pada tingkat yang mengerikan bahkan sampai dengan cara licik.
Situasi seperti itu sering membuat informasi penting diterima seperti berita-berita lain tanpa efek menggerakan. Adanya efek penyekat untuk mendeskripsikan kejadian yang menyembunyikan peristiwa lainnya. Berita perpanjangan kontrak Freeport dengan Indonesia 14 Januari 2016 lalu sempat heboh. Namun hal ini disembunyikan dan ditutupi oleh berita Teror Sarinah Jakarta.
Iklan adalah titik strategis proses simulasi, tempat naungnya kejadian semu. Kita tidak bisa menyalahkan pembuat iklan kaena persuasi dan mistifikasi bukan datang dari rasa tak bersalah pembuat iklan, tapi dari rasa senang pemirsa ditipu, bukan dari hasrat operator iklan untuk merayu, tapi dari hasrat pemirsa untuk dirayu. Iklan tidak mendorong untuk belajar atau mengerti, tapi mengajak untuk berharap. Melalui iklan, peristiwa semu berubah menjadi kejadian riil sehari-hari berkat kepatuhan konsumen terhadap apa yang dikatakan iklan.
Di satu sisi, idealisme media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar agar pembaca, pemirsa atau pendengar semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir. Di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang yang terpatri pada spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan beragam.
Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasim kepalsuan, dan hiperrealitas. Empat fase citra:
1.       Representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas
2.       Ideologi di mana citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas.
3.       Citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra menjadi penampakan.
4.       Citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apa pun: ia hanya menjadi yang menyerupai diri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar