Agnes Chyntia
14140110410
Media dibawah tekanan persaingan yang semakin keras
dan tuntutan keberhasilan komersial semakin berat. Banyak pimpinan media datang
dari dunia perusahaan bukan lagi dimonopoli dunia jurnalisme. Para pimpinan ini
tidak terlalu peka akan tuntutan informasi yang benar. Di satu sisi, persaingan
itu mendorong ke kreativitas; di sisi lain, persaingan itu juga diikuti oleh
semacam mimetisme. Mimetisme adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media
dan mendorongnya, sepertinya sangat urgent, bergegas untuk meliput kejadian
karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting (ibid.,
33).
Dalam reproduksi budaya, atau lebih tepat justru
produksi budaya, tekanannya adaalah harus selalu bergerak, selalu berubah bukan
untuk suatu tujuan utopis tertentu, tetapi karena diarahkan oleh efektivitas
dan tuntutan agar bisa bertahan hidup. Dalam hal partisipasi politik, individu
tidak tertarik pada ideology politik. Ideologi politik tidak lagi mampu memberi
janji, bahkan proyek sejarahnya tidak mampu lagi memobilisasi pengikut. Arena
sosial menjadi tidak lain kecuali perpanjangan lingkup privat (S. Charles,
2004:28). Jadi, para politisi dewasa ini berhadapan dengan basis pendukung yang
konsumeris, individualis, mudah berubah pandangan, dan skeptik (J. Blumler,
2000:156). Dampaknya terasa dalam pembentukan identitas individu dan bentuk
baru kebebasan. Media menyebarkan gaya hidup di mana sistem representasi
menjadi objek konsumsi. Karena komersialisasi gaya hidup tidak menemui
perlawanan structural, baik dari segi budaya maupun ideologi, lingkup sosial
dan individual akhirnya diorganisir kembali menurut logika konsumsi (G.
Lipovetsky, 2004: 41)
Logika waktu pendek ini menempatkan media massa
dalam situasi dilematis. Di satu sisi, idealisme media menuntut peran sebagai
sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa atau pendengar semakin memiliki sikap
kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir; di sisi lain, pragmatism ekonomi
memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang spektakuler,
sensasional, superfisial, dan pesan yang beragam. Sindrom yang menyertai logika
waktu pendek ialah dorongan untuk memberi informasi singkat dan cepat saji.
Maka, pilihlah arus jeli. Akhirnya, kriteria spektakuler dan sensasional
menjadi dominan. Akibatnya, media yang diandaikan memberi informasi cenderung
menyamakan yang layak bernilai berita dengan yang sensasional dan politik
murahan.
Buah dari media logika waktu pendek adalah cara
berpikir semakin dibentuk oleh konsumsi dan mengikuti model rayuan informasi
(S. Charles, 2004:58). Muncul masyarakat ringan yang tidak lagi memaksakan
norma melalui disiplin, tetapi melalui pilihan dan rayuan. Orang tidak lagi
memaksakan aturan “Dilarang merikik!” bentuk informasi diubah menjadi rayuan “
Merokok merugikan kesehatan”. J. Baudrillard menjelaskan empat fase citra
(1981:17): pertama, representasi dimana citra merupakan cermin suatu
realitas; kedua, ideology dimana citra menyembunyikan dan memberi gambar
yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada
realitas. Lalu citra bermain menjadi penampakannya; keempat, citra tidak
ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun: ia hanya menjadi yang
menyerupai dirinya. Bila media mengandalkan operasinya pada pencitraan,
akhirnya informasi hanya menjadi simulasi.
Media adalah saran utama untuk menyampaikan dan
mendapat informasi. Tapi media zaman sekarang justru dikuasai oleh orang-orang
tertentu karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, atau
budaya. Halini justru menggangu hak masyarakat untuk menerima informasi yang
seharusnya. Keprihatinan utama pengelola media adalah keuntungan. Logika pasar
menentukan tingkat kualitas informasi yang disuguhkan.
Paparazzi dan wartawan infotainment hanyalah buah
dari situasi media yang snagat didominasi oleh pasar dan keuntungan. Bagi
mereka, pasar informasi pertama-pertama adalah untuk mencari keuntungan.maka
dari itu, media berlomba-lomba menyajikan yang sensasional dan spektakuler,
dengan harga apa pun yang kadang sampai mengorbankan profesionalisme.
Infotainment sendiri suka mengulik masalah artis yang cenderung sensasional
sehingga masyarakat tertarik dan rating naik sehingga keuntungan yang didapat
lebih banyak karena pengiklan tertarik untuk memasang iklannya di acara
infotainment itu. Persiangan menghalalkan semua cara. Demi mendapat keuntungan
dan menjaga kedudukan, media saling bersaing bahkan melanggar kode etik
jurnalistik yang ada.
Di satu sisi, persaingan mendorong kreativitas. Di
sisi lain, persiangan juga diikuti semacam mimetisme. Mimetisme adalah gairah
yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, seperti sangat urgen,
bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan,
menganggapnya penting. Jadi mereka seperti ikut-ikutan media acuannya (latah).
Jadi, media saling membangkitkan keingintahuan di kalangan mereka sendiri,
menaikkan penawaran dan membiarkan diri dibawa oleh hasrat untuk memberi
informasi yang seba lebih, tetapi karena tekanan persaingan , mereka
dilontarkan sampai pada tingkat yang mengerikan bahkan sampai dengan cara
licik.
Situasi seperti itu sering membuat informasi
penting diterima seperti berita-berita lain tanpa efek menggerakan. Adanya efek
penyekat untuk mendeskripsikan kejadian yang menyembunyikan peristiwa lainnya.
Berita perpanjangan kontrak Freeport dengan Indonesia 14 Januari 2016 lalu sempat
heboh. Namun hal ini disembunyikan dan ditutupi oleh berita Teror Sarinah
Jakarta.
Iklan adalah titik strategis proses simulasi,
tempat naungnya kejadian semu. Kita tidak bisa menyalahkan pembuat iklan kaena
persuasi dan mistifikasi bukan datang dari rasa tak bersalah pembuat iklan,
tapi dari rasa senang pemirsa ditipu, bukan dari hasrat operator iklan untuk
merayu, tapi dari hasrat pemirsa untuk dirayu. Iklan tidak mendorong untuk
belajar atau mengerti, tapi mengajak untuk berharap. Melalui iklan, peristiwa
semu berubah menjadi kejadian riil sehari-hari berkat kepatuhan konsumen
terhadap apa yang dikatakan iklan.
Di satu sisi, idealisme media menuntut peran
sebagai sarana pendidikan agar agar pembaca, pemirsa atau pendengar semakin
memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir. Di sisi lain,
pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang yang terpatri
pada spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan beragam.
Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran
sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasim
kepalsuan, dan hiperrealitas. Empat fase citra:
1.
Representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas
2.
Ideologi di mana citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas.
3.
Citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra menjadi
penampakan.
4.
Citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apa pun: ia hanya
menjadi yang menyerupai diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar