Kezia
Mariska - 14140110212
Pertemuan
13 – 17 Mei 2016
Sumber foto: http://www.wakingtimes.com/2014/07/08/11-tactics-mainstream-media-manufacture-consent/
Pelayanan publik
adalah semua kegiatan yang pemenuhannya harus dijamin, diatur, dan diawasi oleh
pemerintah karena pemebuhannya diperlukan untuk perwujudan dan perkembangan
ketergantungan sosial, dan pada hakikatnya, perwujudannya sulit terlaksana
tanpa campur tangan kekuatan pemerintah. Pelayanan publik juga memiliki gagasan
untuk meingkatkan solidaritas sosial oleh negara, memerangi egoisme yang tidak
rasional untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial dalam rangka pencapaian
tujuan kolektif individu.
Pelayanan publik
dapat dimengerti sebagai pengambilalihan tanggung jawab oleh kolektivitas atas
sejumlah kekayaan, kegiatan, atau pelayanan yang harus lepas dari logika
kepemilikan pribadi atau swasta dan harus dihindarkan dari tujuan mencari
keuntungan.
Tekanan ekonomi
mempengaruhi komunikasi yang dilakukan media. Dalam komunikasi massa, tekanan
ekonomi berasal dari tiga sumber, yaitu pendukung finansial seperti investor,
pemilik, pemasang iklan, dan pelanggan. Selain itu ada para pesaing dan
masyarakat atau publik secara umum.
Mengejar keuntungan
dan akumulasi kekayaan, media tidak harus mengorbankan moral. Namun karena saat
ini pertumbuhan pasar yang semakin bersaing membuat institusi media melakukan
ekspansi binsis, sehingga banyak keputusan-keputuisan yang diambil berdasarkan
keuntungan komersil belaka.
Ironisnya,
keputusan-keputusan yang dibuat media juga berdasar pada sebuah uang semata,
dan meletakkan idealisme jurnalistik ke urutan paling bawah. Hal ini
menyebabkanadanya dilema antara nilai etis atara tanggung jawab sosial dan tekanan
ekonomi yang ada demi kelangsungan institusi media itu sendiri.
Dalam praktek
media, pelayanan publik juga sering dikaitkan dengan prinsip netralitas.
Netralitas ini bisa berupa tuntutan yang terkait dengan keseluruhan program
agar memenuhi kewajiban objektivitas informasi. Netral berarti media dan
pelayanannya tidak memihak. Tetapi bukan berarti dalam hal program atau isinya,
melainkan adanya pluralitas opini, tema, dan sudut pandang dalam setiap acara.
Pelayanan publik
tidak harus selalu diawasi oleh negara. Kecenderungan negara untuk memaksakan
regulasi akan mendapat reaksi negatif bukan hanya dari wartawan atau pelaku
komunikasi, namun juga oleh pemirsa, pembaca, atau pendengar. Pelayanan publik
mengandaikan media tetap berjalan tetapi tetap tunduk terhadap kontrol publik.
Sebaliknya, pelyanan publik juga harus dibatasi karena merupakan kegiatan
sosial yang bisa bersaing dengan inisiatif individu atau swasta. Pembatasan itu
untuk mencegah jangan sampai pelayanan publik justru mematikan inisiatif dan
kreativitas dari pihak swasta.
Salah satu masalah
yang dapat dikaitkan dengan pelayanan publik adalah konflik kepentingan pada
media terkait dua pihak, yakni penguasa dan pengusaha. Media yang berafiliasi
atau dimiliki penguasa atau pejabat tertentu pasti memiliki konflik
kepentingan, yakni apakah akan berpihak ke publik ataukah berpihak pada
penguasa atau pengusaha yang nitabene sebagai pemilik.
Jika media
dibiarkan menjadi kekuatan sosial-politik, maka seluruh pelayanannya akan
senantiasa dikonfirmasi terlebih dahulu dengan berbagai kepentingan politik
dari politik yang bersangkutan. Hal ini berakibat keunggulan media tersebut
akan bersifat pamrih politik. Jika media massa terperangkap oleh kepentingan
politik, kinerjanya akan lebih bersifat monoton. Ini disebabkan karena terlalu
dominannya misi politik yang diangkat oleh media.
Di sisi lain, bagi
media yang tidak dominan politik, akan lebih mampu memenuhi dan menciptakan
selera publiknya. Media yang terlampau dibebani berbagai misi politik, mengakibatkan
kreativitas pelayannanya terkooptasi oleh berbagai kepentingan di luar
profesionalisme. Fenomena seperti ini akan melemahkan fungsi kontrol media
dalam upaya membangun masyarakat mandiri.
Media yang tidak
lagi kritis akan semakin sedikit menerapkan fungsi pelayanan publik. Padahal,
pers seharusnya meningkatkan fungsi kontrol sosialnya, agar
penyimpangan-peyimpangan yang merugikan rakyat tidak terjadi lagi.
Sumber:
Haryatmoko.
2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta:
Kanisius. (Bab 3)
Mufid, Muhammad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana. (Bab 10
& 13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar