Sabtu, 28 Mei 2016

Media, Pelayanan Publik, dan Logika Politik: Tanggung Jawab Sosial dan Tekanan Ekonomi

Kezia Mariska - 14140110212
Pertemuan 13 – 17 Mei 2016

Sumber foto: http://www.wakingtimes.com/2014/07/08/11-tactics-mainstream-media-manufacture-consent/

Pelayanan publik adalah semua kegiatan yang pemenuhannya harus dijamin, diatur, dan diawasi oleh pemerintah karena pemebuhannya diperlukan untuk perwujudan dan perkembangan ketergantungan sosial, dan pada hakikatnya, perwujudannya sulit terlaksana tanpa campur tangan kekuatan pemerintah. Pelayanan publik juga memiliki gagasan untuk meingkatkan solidaritas sosial oleh negara, memerangi egoisme yang tidak rasional untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial dalam rangka pencapaian tujuan kolektif individu.

Pelayanan publik dapat dimengerti sebagai pengambilalihan tanggung jawab oleh kolektivitas atas sejumlah kekayaan, kegiatan, atau pelayanan yang harus lepas dari logika kepemilikan pribadi atau swasta dan harus dihindarkan dari tujuan mencari keuntungan.

Tekanan ekonomi mempengaruhi komunikasi yang dilakukan media. Dalam komunikasi massa, tekanan ekonomi berasal dari tiga sumber, yaitu pendukung finansial seperti investor, pemilik, pemasang iklan, dan pelanggan. Selain itu ada para pesaing dan masyarakat atau publik secara umum.

Mengejar keuntungan dan akumulasi kekayaan, media tidak harus mengorbankan moral. Namun karena saat ini pertumbuhan pasar yang semakin bersaing membuat institusi media melakukan ekspansi binsis, sehingga banyak keputusan-keputuisan yang diambil berdasarkan keuntungan komersil belaka.

Ironisnya, keputusan-keputusan yang dibuat media juga berdasar pada sebuah uang semata, dan meletakkan idealisme jurnalistik ke urutan paling bawah. Hal ini menyebabkanadanya dilema antara nilai etis atara tanggung jawab sosial dan tekanan ekonomi yang ada demi kelangsungan institusi media itu sendiri.

Dalam praktek media, pelayanan publik juga sering dikaitkan dengan prinsip netralitas. Netralitas ini bisa berupa tuntutan yang terkait dengan keseluruhan program agar memenuhi kewajiban objektivitas informasi. Netral berarti media dan pelayanannya tidak memihak. Tetapi bukan berarti dalam hal program atau isinya, melainkan adanya pluralitas opini, tema, dan sudut pandang dalam setiap acara.

Pelayanan publik tidak harus selalu diawasi oleh negara. Kecenderungan negara untuk memaksakan regulasi akan mendapat reaksi negatif bukan hanya dari wartawan atau pelaku komunikasi, namun juga oleh pemirsa, pembaca, atau pendengar. Pelayanan publik mengandaikan media tetap berjalan tetapi tetap tunduk terhadap kontrol publik. Sebaliknya, pelyanan publik juga harus dibatasi karena merupakan kegiatan sosial yang bisa bersaing dengan inisiatif individu atau swasta. Pembatasan itu untuk mencegah jangan sampai pelayanan publik justru mematikan inisiatif dan kreativitas dari pihak swasta.

Salah satu masalah yang dapat dikaitkan dengan pelayanan publik adalah konflik kepentingan pada media terkait dua pihak, yakni penguasa dan pengusaha. Media yang berafiliasi atau dimiliki penguasa atau pejabat tertentu pasti memiliki konflik kepentingan, yakni apakah akan berpihak ke publik ataukah berpihak pada penguasa atau pengusaha yang nitabene sebagai pemilik.

Jika media dibiarkan menjadi kekuatan sosial-politik, maka seluruh pelayanannya akan senantiasa dikonfirmasi terlebih dahulu dengan berbagai kepentingan politik dari politik yang bersangkutan. Hal ini berakibat keunggulan media tersebut akan bersifat pamrih politik. Jika media massa terperangkap oleh kepentingan politik, kinerjanya akan lebih bersifat monoton. Ini disebabkan karena terlalu dominannya misi politik yang diangkat oleh media.

Di sisi lain, bagi media yang tidak dominan politik, akan lebih mampu memenuhi dan menciptakan selera publiknya. Media yang terlampau dibebani berbagai misi politik, mengakibatkan kreativitas pelayannanya terkooptasi oleh berbagai kepentingan di luar profesionalisme. Fenomena seperti ini akan melemahkan fungsi kontrol media dalam upaya membangun masyarakat mandiri.

Media yang tidak lagi kritis akan semakin sedikit menerapkan fungsi pelayanan publik. Padahal, pers seharusnya meningkatkan fungsi kontrol sosialnya, agar penyimpangan-peyimpangan yang merugikan rakyat tidak terjadi lagi.

Sumber:
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius. (Bab 3)
Mufid, Muhammad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana. (Bab 10 & 13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar