Senin, 30 Mei 2016

Etika Komunikasi dan Masalah Pornografi



Definisi
            Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik (R. Ogien, 2003: 31, 47). Mesum, cabul atau tidak senonoh dipahami sebagai sesuatu yang melukai dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan membangkitkan representasi seksualitas. Karya yang “mesum, cabul atau tidak senonoh” tersebut tidak hanya berhenti pada penilaian yang bersifat subjektif saja, akan tetapi juga didasarkan atas penilaian oleh komunitas setempat atau oleh setiap orang yang berakal sehat. Definisi tersebut akan lebih meyakinkan lagi bila karya tersebut tidak mengandung nilai seni, sastra, ilmiah atau politik.
Argumen Penolakan Pornografi dan Etika Minimal
            Dalam debat publik, biasanya terdapat tiga alasan utama yang dikemukakan untuk menolak pornografi, antara lain:
1. Perlindungan terhadap orang muda atau anak-anak.
Pornografi dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak atau remaja sehingga mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku yang mirip dengan ketika             mereka mengalami pelecehan seksual. Pornografi cenderung akan dipakai oleh para remaja sebagai pegangan perilaku seksual. Pornografi dianggap akan menimbulkan   rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau   merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Bahkan seandainya pornografi tidak             merangsang lagi, bukan berarti tidak membahayakan psikologi anak.
            2. Mencegah perendahan martabat perempuan.
Padahal dalam program tersebut sama sekali tidak ada ungkapan perasaan, mengabaikan   afeksi, mereduksi pasangan perempuan secara terus-menerus sebagai objek pemuasan diri. Pornografi cenderung membangkitkan suasana kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, penyebaran pornografi secara meluas dikhawatirkan akan meningkatkan     kekerasan terhadap perempuan.
3. Mencegah sifat subversifnya yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat. (ibid., 2003:7)                 
            Menurut etika, pornografi minimal akan melukai pihak lain. Etika minimal tersebut terdiri atas tiga pilar (R. Ogien, 2003: 12-13), yaitu:
            1.  Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”.
Konsepsi tersebut menghargai hak akan kemandirian moral yang dalam kasus ini berarti kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam hak seksualitas.
            2. Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain.
Prinsip ini berasal dari cara berpikir konsekuensialis yang sangat peduli pada efek yang menimpa individu, bisa berupa kerugian fisik atau psikologis.
            3. Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan s         etiap orang.
            Prinsip ini berasal dari tradisi deontologi, dimana kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan orang lain sebagai sarana, tetapi tujuan pada dirinya. Prinsip kedua dan ketiga tersebut menjamin kesetaraan, maka berfungsi mengatur hubungan dengan pihak      lain, dengan menghindari semua bentuk paternalisme.

Pornografi dan Erotisme
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pornografi didefinisikan sebagai (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; (2) bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
            Dalam pornografi, tidak ada konteks dan tokoh subjek yang sebenarnya, tetapi hanya dihiasi oleh tokoh palsu yang tanpa ada identitas dan sejarah. Tidak ada kisah dan konteks, foto dan gambar manusia seakan menjadi benda tanpa roh. Pornografi mereduksi sesuatu yang hidup menjadi hal yang dapat dimanipulasi. Dalam pornografi, wacana kehilangan kemandiriannya karena hanya akan diperbudak untuk merangsang hasrat seksual.
            Prinsip pornografi yaitu “semua harus sangat kelihatan” melahirkan empat dampak, yaitu:
            1. Depersonalisasi tubuh (hilangnya kepribadian tubuh),
yang dapat dipahami sebagai upaya untuk menarik keluar dari tubuh semua hal yang merepresentasikan kepribadian seseorang. Dilepaskan dari semua yang lembut, perasaan, yang manusiawi dan hubungan kesalingan, pornografi menampilkan wajah kekerasan seksualitas. Hubungannya menjadi mengobjekkan, suatu bentuk dominasi supaya fantasme tercapai (ibid., 29).
2. Tidak adanya tuntutan kebenaran, disebabkan oleh imperatif semua sudah kelihatan.
Gambar sudah menampilkan semua, maka tidak perlu lagi menebak atau menafsirkan.        Dengan demikian, berkuranglah tuntutan akan kebenaran karena pornografi menolak   yang tersembunyi atau yang potensial (ibid., 65). Proses pembodohan terjadi karena            penonton atau pembaca tidak diajak berpikir atau berefleksi. Tidak ada proses mengolah, mengendapkan, apalagi pemikiran kritis. Yang diminta hanya menelan, mengkonsumsi supaya hasrat seks terangsang.
            3. Tirani terhadap liyan terjadi karena subjektivitas liyan dilucuti.
Dalam pornografi, tubuh adalah tanpa kehidupan serta wajah tanpa ekspresi. Karena tidak            menatap aku, ia tidak menilai dan menyapa aku. Realism gambar memungkinkan tersedianya objek bagi kesendirianku (penonton) tanpa ada subjek pesaing. Realism harus mendominasi supaya liyan disangkal dan direduksi menjadi sesuatu yang dengan mudah dapat diramalkan (ibid., 109), artinya bisa digunakan untuk apa saja. Perjumpaan     direduksi hanya menjadi hubungan dominasi. Dalam hubungan semacam ini, yang dicari hanyalah kenikmatan diri, yang lain hanyalah alasan dan sarana.
            4. Estetika buruk-muka sangat menonjol dalam pornografi.
Ketelenjangan ditampilkan tanpa keprihatinan akan keindahan. Obsesi utama adalah          merangsang hasrat seks dan keingintahuan sehingga tidak mempedulikan segi estetis. Ketelanjangan member kesan kuat seperti onggokan tanpa kegelisahan sehingga mengingkari misteri tubuh yang jatuh cinta (ibid., 116). Tiadanya perasaan atau   kelembutan yang terlibat berarti tiadanya kedalaman diri.    
            Erotisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai (1) berkenaan dengan sensasi seks yang menimbulkan rangsangan; bersifat merangsang nafsu berahi; (2) berkenaan dengan nafsu berahi. Erotisme memungkinkan suatu gaya, bahasa dan penantian, dan ia bisa menerima kehadiran liyan. Erotisme menyangkal kemahakuasaan “semua harus kelihatan”, maka keterbatasan kemampuan gambar (ibid., 125) justru menjadi celah keberadaan erotisme.  Erotisme adalah seni waktu (ibid., 130).
Pada pornografi, manipulasi ikon membuat gambar terpateri dan dikosongkan dari waktu, tanpa kisah. Sedangkan dalam erotisme, gambar berkisah dalam waktu dan terbuka terhadap kebaruan serta yang tak teramalkan. Tekanan erotisme pada imajinasi dan sugesti bukan merupakan prinsip, namun bagian dari konsekuensi (ibid., 130). Semua erotisme selalu beresiko menjadi pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme dan pornografi, selain karena subjektivitas penilai, juga disebabkan oleh ambiguitas.
            Dalam erotisme, yang lebih tampak adalah pengungkapan hasrat daripada penonjolan tubuh yang telanjang. Maka, butuh keterlambatan bahkan kelambanan, toleran terhadap waktu, dan membiarkan adanya perkembangan. Dalam erotisme, ada kisah, terselip pandangan yang tak terkatakan memiliki konteks, dan menolak semua bentuk ketergesaan. Maka, erotisme menolak kodifikasi dan stereotip. Ia memahami risiko hubungan yang sampai pada hasrat manusiawi yang autentik. Keindahan dalam erotisme bukan perayaan kenikmatan diri, tetapi cara untuk memberi wajah pada tubuh. Dengan kata lain, erotisme mencari celah antara “mengatakan semua" dan "menyembunyikan semua" (ibid., 130-131). Dalam celah itu ingin ditampilkan pemandangan yang tak dikenal untuk menemukan dunia yang hilang.
            Semua erotisme selalu berisiko menjadi pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme dan pornografi, selain karena subjektivitas penilai, juga disebabkan oleh ambiguitas hubungan yang dipertaruhkan (ibid., 124). Ambiguitas itu berasal dari masalah sejauh mana tubuh menghindar dari representasi. Nilai seni terletak dalam muatan wacana, kisah, konteks dan ingatan, yang pada gilirannya menentukan kelembutan dan intensitas representasi tubuh. Karya seni biasanya membiarkan dilihat tanpa perlu menunjukkan diri. Kerentanan ekspresi seni yang terselip dalam erotisme berasal dari penilaian yang melulu moral. Bila kriteria moral menjadi segala-galanya, keindahan menjadi menakutkan dan mengancam. Padahal yang “indah” bisa membujuk keangkuhan hukum untuk mengembuskan yang manusiawi. Dalam seni, wacana mempunyai tempat nyata dan membentuk unsur dialektika dalam gambar.
Terdapat kaitan antara erotisme dan pornografi. Namun terlihat juga  perbedaan di antara keduanya. Kata kuncinya disini adalah libido, nafsu berahi, nafsu seksual. Perbedaannya  dalam erotisme, libido merupakan dasar atau ilham untuk menggambarkan sesuatu yang lebih luas (misalnya konsep cinta, perbedaan antar jenis, atau masalah yang timbul dalam interaksi sosial), sedangkan dalam pornografi yang menonjol adalah penggambaran secara sengaja tingkah laku seksual dengan tujuan membangkitkan nafsu seksual.
Terlihat makna erotisme lebih mengarah pada ”penggambaran perilaku, keadaan atau suasana yang didasari oleh libido dalam keinginan seksual”, sedangkan makna pornografi lebih cenderung pada ”tindak seksual yang ditonjolkan” untuk membangkitkan nafsu berahi.
Erotisme tidak  mempunyai makna dasar ”cabul”, melainkan menggambarkan perilaku, keadaan, atau suasana berdasarkan atau berilhamkan ”libido dan seks”.  Sebaliknya pornografi mempunyai makna dasar ”cabul”, ”tidak senonoh” dan ”kotor”.
Pornografi
Erotisme
Dalam pornografi, gambar langsung memberikan semua yang ingin diketahui tanpa membutuhkan waktu untuk berpikir.

Pengungkapan hasrat daripada penonjolan tubuh yang telanjang, sehingga membutuhkan waktu untuk berpikir.
Gambar harus jelas dan sederhana sesuai aslinya, bahkan lebih nyata (hiper realitas), misalnya dengan menonjolkan bagian tertentu dari tubuh.

Keindahan dalam erotisme bukan perayaan kenikmatan diri, tetapi cara untuk memberi wajah pada tubuh.
Dihiasi tokoh palsu, tanpa ada identitas dan sejarah.

Erotisme adalah gambar yang berkisah.
Tanpa kisah dan konteks, foto atau gambar manusia menjadi melulu tanpa ruh.

Ada kisah, terselip pandangan yang tak terkatakan, memiliki konteks, dan menolak semua bentuk ketergesaan.
Semua yang menimbulkan ingatan harus lenyap karena fokus hanya pada rangsangan sesaat.

Erotisme memungkinkan suatu style, bahasa dan penantian, ia bisa menerima kehadiran liyan.

Industri Media Massa
Propaganda Media
Media massa merupakan salah satu produk yang lahir dari kemajuan zaman dan teknologi masa kini. Media massa dianggap sebagai salah satu media efektif untuk menyalurkan informasi dan pesan yang ditujukkan untuk khalayak luas. Karena kelebihannya inilah media massa dianggap sebagai salah satu media propaganda yang efektif dan berdampak besar. Media massa nyatanya dewasa ini menjadi unsur penting dalam kegiatan komunikasi propaganda untuk menjalankan kepentingan propagandis. Kepentingan-kepentingan inilah yang kemudian menjadi masalah dan konflik karena seringkali informasi yang disebarkan tidak berimbang.
Propaganda di media massa digunakan dengan metode agenda setting untuk membentuk dan mengkonstruksi persepsi publik. Media massa mungkin sekedar tinta di atas kertas, visual dan audio. Akan tetapi, media massa nyatanya dapat mempengaruhi masyarakat secara luas. Penyajian berita dan informasi adalah bentuk propaganda yang sengaja disisipkan dan seringkali tidak disadari oleh khalayak. Kesalahan dalam media massa dapat membentuk dan mengkontruksi persepsi publik yang salah.
Menghadapi Kekerasan dalam Media
Kekerasan didefinisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa hak lain tanpa persetujuan (P. Lardellier, 2003: 18). Kekerasan sendiri mengandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam bentuk : fisik, verbal, moral, psikologis atau bisa juga melalui visual/gambar. Logika kekerasan merupakan logika kematian karena dapat melukai tubuh, melukai secara psikologis, merugikan, dan bisa menjadi ancaman terhadap integritas pribadi ( S. Jehel, 2003: 123).
Bahaya Kekerasan dalam Media
Bahaya kekerasan dalam media mempunyai alasan yang kuat meski terkadang yang ditampilkan adalah cermin ketakutan dibandingkan ancaman riil yang sebenarnya. Yang ditakutkan adalah terjadinya penularan kekerasan melalui media menjadi kekerasan yang dilakukan secara riil oleh masyarakat. Ketika kekerasan dalam media berfungsi seperti nilai barang, maka kekerasan tersebut digunakan sebagai alat untuk menormalisir situasi, sarana untuk memecah belah, dan alat efektif untuk demoralisasi individu atau kelompok tertentu.
Menurut hasil studi tentang kekerasan itu sendiri dalam media televise di Amerika Serikat oleh American Psychological Assosiation di tahun 1995, seperti dikutip oleh Sophie Jehel (2003: 124) menghasilkan tiga kesimpulan menarik
a.       Mempresentasikan program kekerasan meningkatkan perilaku agresif.
b.      Memperlihatkan secara berulang tayangan kekerasan dapat menyebabkan ketidakpekaan terhadap kekerasan dan penderitaan korban.
c.       Tayangan kekerasan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga akan menciptakan representasi dalam diri para pemirsa.
Dari hasil kutipan ini Sophie Jehel ingin memperjelas bahwa pengaruh kekerasan di media begitu merusak bagi anak.  Menurutnya, anak membutuhkan rasa aman agar bisa menemukan eksistensinya dalam masyarakat.  Namun, ketika dihadapkan dengan kekerasan, anak terpaksa harus melindungi dirinya sendiri dengan cara mengembangkan mekanisme pertahanan yang mempunyai akibat anak akan mengalami stres, kegelisahan dan juga rasa malu.  Bahkan pada masa pertumbuhan seorang anak, gambar kekerasan bisa mempengaruhi perilaku dan persepsi anak mengenai dunia.
Kekerasan Dokumen
            Kekerasan dokumen, yang sempat disinggung sebelumnya, merupakan penampilan gambar kekerasan yang dipahami pemirsa atau pembaca dengan mata telanjang sebagai dokumentasi atau rekaman fakta kekerasan.  Kekerasaan ini dapat dipresentasikan melalui tindakan (pembunuhan, pertengkaranm perkelahian, kerusuhan, dan tembakan), serta bisa juga dengan situasi (konflik, luka, dan tangisan) di mana emosi tersebut dapat menggambarkan perasaan yang terdalam.  Kekerasan semacam ini bisa menarik, mengundang simpati, bisa juga membosankan, menjijikan atau membuat marah pemirsa.
                        Kekerasan-dokumen tidak harus berbentuk gambar atau foto, namun bisa juga dalam bentuk tulisan.  Seperti misalnya peradilan melalui media yang merugikan kehidupan pribadi atau kelompok atau berita yang menyudutkan.  Sering kali media sudah memberitakan hukuman bahkan sebelum tersangka ditentukan bersalah atau menjadi terdakwa.  Media seakan tidak puas hanya melaporkan proses peradilan, maka dari itu mereka menempatkan diri sebagai penyidik atau jaksa penuntut dengan wartawan yang mengadopsi cara kerja polisi atau jaksa, kasus ini trmasuk kedalam delokalisasi proses peradilan ke media. (A. Civard-Racinais, 2003: 171-172). Di sisi lain, memang jaksa atau polisi sering terbantu juga oleh penyidikan wartawan untuk mengarahkan penyidikan mereka sendiri. Media memiliki pengaruh yang sangat besar bila menyampaikan suatu hal apalagi berkaitan dengan seseorang
.
Kekerasan-Fiksi dan Kekerasan-Simulasi
            Kekerasan yang diberikan oleh kisah fiksi tidak lepas dari peninggalan bekas luka pada pemirsa atau pembacanya yang bisa meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif, apalagi terhadap anak-anak.  Contohnya adalah tayangan smack-down yang dibuat mirip dengan perkelahian yang riil.  Adanya kepura-puraan dan simulasi dalam perkelahian di acara tersebut, maka smack-down masuk ke dalam kategori hipperrealitas.  Biasanya meski jauh dari realitas, fiksi masih memiliki pijakan atau analogi dengan dunia riil.  Maka dari itu kekerasaan-fiksi menjadi berbahaya ketika justru memberi kemungkinan baru yang tidak ada dalam dunia riil.
            Kekerasan juga dengan mudah ditemukan di internet, baik yang terang-terangan ataupun yang ditutup-tutupi.  Berbagai hal tentang seks, wacana ekstrem (fanatisme agama atau ideologi), perdagangan terlarang (narkoba, senjata, pemalsuan, dan berbagai macam obat), atau komunitas yang kadang tidak ada dalam jaringan hidup riil.  Dengan begitu, internet mempunyai fungsi sebagai tempat pengganti interaksi yang tidak bisa dilakukan dalam keseharian dan terungkap dengan vitalitas, terutama dalam hal kekerasan.  Kekerasan menjadi semakin ‘aman’ karena terlindungi dari dunia normal dan dari hukum yang mengatur. Semua berlangsung dalam kerahasiaan, kekerasan bisa ditampilkan semaunya.
            Kekerasan-simulasi juga kuat melekat pada video game.  Contohnya, simulasi tank yang melindas dan menghancurkan musuh, kekerasan dirasakan ketika pengendara virtual berteriak puas atau marah.  Ketika bermain video game, ada gairah untuk bermain, ada kegelisahan emosional yang ditularkan oleh gambar yang ditampilkan. 
            Kekerasan Simbolik dan Ketidakpedulian
            Menurut Sophie Jehel (2003: 109), terdapat empat faktor lain yang menyebabkan banyak orang dewasa kurang menaruh perhatian kepada kekerasan yang ada di media:
a.       Ketidaktahuan orang dewasa akan budaya orang muda. Jurang generasi ini telah menjadi jurang budaya, pengaruh pasar telah memperlebar jurang budaya itu dengan membuat konsumsi dibagi atas dasar pembedaan umur.
b.      Ada keyakinan kuat bahwa kehadiran orang dewasa bisa memperbaiki situasi, padahal terkadang sudah sering terlambat.
c.       Faktor ideologi mau menunjukkan bahwa semua bentuk pembatasan atau pelarangan akses orang muda ke media akan dianggap sebagai reaksioner.
d.      Kesulitan pendampingan karena ketidakmampuan orang tua (dalam hal waktu, pengetahuan, pedagogi, dan metode).
Kekerasan yang paling sulit diatasi adalah kekerasan simbolis yang beroperasi melalui iklan.  Disebut sebagai simbolis karena dampak yang biasa dilihat dalam kekerasan fisik tidak tampak, bahkan korban tidak merasa telah didominasi atau dimanipulasi.  Kekerasan simbolik terjadi karena pengakuan dan ketidaktahuan yang didominasi atau yang diatur.  Prinsip simbolis ini berupa bahasa, caraTerdapat beberapa prinsip simbolis yang berupa bahasa, cara berpikir, cara kerja, dan cara bertindak.  Iklan merk-merk tertentu merupakan kekerasan karena menjebak individu dengan menentukan cara melihat, merasakan, berpikir, dan bertindak (B. Heilbrunn, 2003: 225).
Etika Komunikasi dan Politik Media
            Politik media harus diarahkan untuk perlindungan anak dan remaja dari siaran yang merugikan.  Perlindungan yang efektif didasari oleh pendampingan anak-anak atau remaja dalam selera budaya mereka.  Dengan begitu, mereka bisa dibantu menjaga energi kreatif yang mereka miliki.  Hal ini dilakukan dengan tujuan supaya anak-anak dan remaja bisa mengapresiasi, memiliki kepekaan terhadap seni, serta analisis kritis yang diperdalam agar semakin baik dalam melindungi diri sendiri dari gambar atau pesan yang bisa merugikan atau melukai mereka.  Maka dari itu, perlu dikembangkan suatu pendidikan dan juga pelatihan pada bidang media secara sistematis, yakni masuk ke dalam kurikulum sekolah yang didukung oleh peran orang tua yang ikut terlibat dalam mengatasi kekerasan media.
            Jika ada pelarangan pun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan melibatkan suatu penelitian ilmiah, suatu komisi etika yang dibentuk dari berbagai komponen bangsa sehigga bisa memberikan mandat untuk memutuskan mengurangi atau memperingatkan siaran yang merupakan representasi kekerasan yang merugikan dan melukai kelompok umur yang rentan.
            Selain komisi tersebut, asosiasi konsumen juga bisa berperan sebagai pengamat atau pengawas media untuk menjaga media dari pelanggaran terhadap kekerasan.  Perlu dorongan pembentukan forum atau asosiasi perlindungan hak yang melibatkan para pakar yang kompeten terhadap bidang ini.  Negara bisa hadir sebagai pengamat dan penjamin dihormatinya kepentingan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar