Definisi
Pornografi dapat didefinisikan
sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari
aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang
dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik (R. Ogien, 2003: 31, 47). Mesum,
cabul atau tidak senonoh dipahami sebagai sesuatu yang melukai dengan sengaja
rasa malu atau rasa susila dengan membangkitkan representasi seksualitas. Karya
yang “mesum, cabul atau tidak senonoh” tersebut tidak hanya berhenti pada
penilaian yang bersifat subjektif saja, akan tetapi juga didasarkan atas
penilaian oleh komunitas setempat atau oleh setiap orang yang berakal sehat.
Definisi tersebut akan lebih meyakinkan lagi bila karya tersebut tidak
mengandung nilai seni, sastra, ilmiah atau politik.
Argumen Penolakan Pornografi dan
Etika Minimal
Dalam
debat publik, biasanya terdapat tiga alasan utama yang dikemukakan untuk
menolak pornografi, antara lain:
1.
Perlindungan terhadap orang muda atau anak-anak.
Pornografi
dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak atau remaja sehingga mengalami gangguan
psikis dan kekacauan dalam perilaku yang mirip dengan ketika mereka mengalami pelecehan seksual.
Pornografi cenderung akan dipakai oleh para remaja sebagai pegangan perilaku
seksual. Pornografi dianggap akan menimbulkan rangsangan
seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Bahkan seandainya pornografi tidak merangsang
lagi, bukan berarti tidak membahayakan psikologi anak.
2. Mencegah perendahan martabat
perempuan.
Padahal
dalam program tersebut sama sekali tidak ada ungkapan perasaan, mengabaikan afeksi, mereduksi pasangan perempuan secara
terus-menerus sebagai objek pemuasan diri. Pornografi cenderung membangkitkan
suasana kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, penyebaran pornografi secara
meluas dikhawatirkan akan meningkatkan kekerasan
terhadap perempuan.
3.
Mencegah sifat subversifnya yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual
keluarga dan masyarakat. (ibid.,
2003:7)
Menurut
etika, pornografi minimal akan melukai pihak lain. Etika minimal tersebut
terdiri atas tiga pilar (R. Ogien, 2003: 12-13), yaitu:
1.
Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”.
Konsepsi
tersebut menghargai hak akan kemandirian moral yang dalam kasus ini berarti
kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam hak seksualitas.
2. Prinsip menghindar dari merugikan
pihak lain.
Prinsip
ini berasal dari cara berpikir konsekuensialis yang sangat peduli pada efek
yang menimpa individu, bisa berupa kerugian fisik atau psikologis.
3. Prinsip untuk menempatkan nilai
yang sama pada suara atau kepentingan s etiap
orang.
Prinsip ini berasal dari tradisi
deontologi, dimana kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan orang lain
sebagai sarana, tetapi tujuan pada dirinya. Prinsip kedua dan ketiga tersebut
menjamin kesetaraan, maka berfungsi mengatur hubungan dengan pihak lain, dengan menghindari semua bentuk
paternalisme.
Pornografi dan Erotisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), pornografi didefinisikan sebagai (1) penggambaran tingkah laku secara
erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; (2) bahan bacaan yang dengan sengaja
dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
Dalam pornografi, tidak ada konteks
dan tokoh subjek yang sebenarnya, tetapi hanya dihiasi oleh tokoh palsu yang
tanpa ada identitas dan sejarah. Tidak ada kisah dan konteks, foto dan gambar
manusia seakan menjadi benda tanpa roh. Pornografi mereduksi sesuatu yang hidup
menjadi hal yang dapat dimanipulasi. Dalam pornografi, wacana kehilangan
kemandiriannya karena hanya akan diperbudak untuk merangsang hasrat seksual.
Prinsip pornografi yaitu “semua
harus sangat kelihatan” melahirkan empat dampak, yaitu:
1. Depersonalisasi tubuh (hilangnya
kepribadian tubuh),
yang
dapat dipahami sebagai upaya untuk menarik keluar dari tubuh semua hal yang
merepresentasikan kepribadian seseorang. Dilepaskan dari semua yang lembut,
perasaan, yang manusiawi dan hubungan kesalingan, pornografi menampilkan wajah
kekerasan seksualitas. Hubungannya menjadi mengobjekkan, suatu bentuk dominasi
supaya fantasme tercapai (ibid., 29).
2.
Tidak adanya tuntutan kebenaran, disebabkan oleh imperatif semua sudah
kelihatan.
Gambar
sudah menampilkan semua, maka tidak perlu lagi menebak atau menafsirkan. Dengan demikian, berkuranglah tuntutan
akan kebenaran karena pornografi menolak yang
tersembunyi atau yang potensial (ibid.,
65). Proses pembodohan terjadi karena penonton
atau pembaca tidak diajak berpikir atau berefleksi. Tidak ada proses mengolah,
mengendapkan, apalagi pemikiran kritis. Yang diminta hanya menelan,
mengkonsumsi supaya hasrat seks terangsang.
3. Tirani terhadap liyan terjadi
karena subjektivitas liyan dilucuti.
Dalam
pornografi, tubuh adalah tanpa kehidupan serta wajah tanpa ekspresi. Karena
tidak menatap aku, ia tidak
menilai dan menyapa aku. Realism gambar memungkinkan tersedianya objek bagi kesendirianku
(penonton) tanpa ada subjek pesaing. Realism harus mendominasi supaya liyan
disangkal dan direduksi menjadi sesuatu yang dengan mudah dapat diramalkan (ibid., 109), artinya bisa digunakan
untuk apa saja. Perjumpaan direduksi
hanya menjadi hubungan dominasi. Dalam hubungan semacam ini, yang dicari
hanyalah kenikmatan diri, yang lain hanyalah alasan dan sarana.
4. Estetika buruk-muka sangat
menonjol dalam pornografi.
Ketelenjangan
ditampilkan tanpa keprihatinan akan keindahan. Obsesi utama adalah merangsang hasrat seks dan
keingintahuan sehingga tidak mempedulikan segi estetis. Ketelanjangan member
kesan kuat seperti onggokan tanpa kegelisahan sehingga mengingkari misteri
tubuh yang jatuh cinta (ibid., 116).
Tiadanya perasaan atau kelembutan yang
terlibat berarti tiadanya kedalaman diri.
Erotisme dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai (1) berkenaan dengan sensasi seks yang
menimbulkan rangsangan; bersifat merangsang nafsu berahi; (2) berkenaan dengan nafsu berahi. Erotisme
memungkinkan suatu gaya, bahasa dan penantian, dan ia bisa menerima kehadiran
liyan. Erotisme menyangkal kemahakuasaan “semua harus kelihatan”, maka
keterbatasan kemampuan gambar (ibid.,
125) justru menjadi celah keberadaan erotisme.
Erotisme adalah seni waktu (ibid.,
130).
Pada
pornografi, manipulasi ikon membuat gambar terpateri dan dikosongkan dari
waktu, tanpa kisah. Sedangkan dalam erotisme, gambar berkisah dalam waktu dan
terbuka terhadap kebaruan serta yang tak teramalkan. Tekanan erotisme pada
imajinasi dan sugesti bukan merupakan prinsip, namun bagian dari konsekuensi (ibid., 130). Semua erotisme selalu beresiko menjadi pornografi. Pada
karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme dan pornografi,
selain karena subjektivitas penilai, juga disebabkan oleh ambiguitas.
Dalam erotisme, yang lebih tampak
adalah pengungkapan hasrat daripada penonjolan tubuh yang telanjang. Maka,
butuh keterlambatan bahkan kelambanan, toleran terhadap waktu, dan membiarkan
adanya perkembangan. Dalam erotisme, ada kisah, terselip pandangan yang tak
terkatakan memiliki konteks, dan menolak semua bentuk ketergesaan. Maka,
erotisme menolak kodifikasi dan stereotip. Ia memahami risiko hubungan yang
sampai pada hasrat manusiawi yang autentik. Keindahan dalam erotisme bukan perayaan
kenikmatan diri, tetapi cara untuk memberi wajah pada tubuh. Dengan kata lain,
erotisme mencari celah antara “mengatakan semua" dan "menyembunyikan
semua" (ibid., 130-131). Dalam
celah itu ingin ditampilkan pemandangan yang tak dikenal untuk menemukan dunia
yang hilang.
Semua erotisme selalu berisiko
menjadi pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara
erotisme dan pornografi, selain karena subjektivitas penilai, juga disebabkan
oleh ambiguitas hubungan yang dipertaruhkan (ibid., 124). Ambiguitas itu berasal dari masalah sejauh mana tubuh menghindar
dari representasi. Nilai seni terletak dalam muatan wacana, kisah, konteks dan
ingatan, yang pada gilirannya menentukan kelembutan dan intensitas representasi
tubuh. Karya seni biasanya membiarkan dilihat tanpa perlu menunjukkan diri.
Kerentanan ekspresi seni yang terselip dalam erotisme berasal dari penilaian
yang melulu moral. Bila kriteria moral menjadi segala-galanya, keindahan
menjadi menakutkan dan mengancam. Padahal yang “indah” bisa membujuk keangkuhan
hukum untuk mengembuskan yang manusiawi. Dalam seni, wacana mempunyai tempat
nyata dan membentuk unsur dialektika dalam gambar.
Terdapat kaitan antara erotisme dan pornografi. Namun
terlihat juga perbedaan di antara
keduanya. Kata kuncinya disini adalah libido, nafsu berahi, nafsu seksual. Perbedaannya
dalam erotisme, libido merupakan dasar atau ilham untuk menggambarkan
sesuatu yang lebih luas (misalnya konsep cinta, perbedaan antar jenis, atau
masalah yang timbul dalam interaksi sosial), sedangkan dalam pornografi yang
menonjol adalah penggambaran secara sengaja tingkah laku seksual dengan tujuan
membangkitkan nafsu seksual.
Terlihat makna erotisme lebih mengarah pada ”penggambaran
perilaku, keadaan atau suasana yang didasari oleh libido dalam keinginan
seksual”, sedangkan makna pornografi lebih cenderung pada ”tindak seksual yang
ditonjolkan” untuk membangkitkan nafsu berahi.
Erotisme tidak
mempunyai makna dasar ”cabul”, melainkan menggambarkan perilaku,
keadaan, atau suasana berdasarkan atau berilhamkan ”libido dan seks”. Sebaliknya pornografi mempunyai makna dasar
”cabul”, ”tidak senonoh” dan ”kotor”.
Pornografi
|
Erotisme
|
Dalam
pornografi, gambar langsung memberikan semua yang ingin diketahui tanpa
membutuhkan waktu untuk berpikir.
|
Pengungkapan hasrat
daripada penonjolan tubuh yang telanjang, sehingga membutuhkan waktu untuk
berpikir.
|
Gambar
harus jelas dan sederhana sesuai aslinya, bahkan lebih nyata (hiper
realitas), misalnya dengan menonjolkan bagian tertentu dari tubuh.
|
Keindahan dalam
erotisme bukan perayaan kenikmatan diri, tetapi cara untuk memberi wajah pada
tubuh.
|
Dihiasi
tokoh palsu, tanpa ada identitas dan sejarah.
|
Erotisme adalah
gambar yang berkisah.
|
Tanpa
kisah dan konteks, foto atau gambar manusia menjadi melulu tanpa ruh.
|
Ada kisah, terselip
pandangan yang tak terkatakan, memiliki konteks, dan menolak semua bentuk
ketergesaan.
|
Semua
yang menimbulkan ingatan harus lenyap karena fokus hanya pada rangsangan
sesaat.
|
Erotisme memungkinkan
suatu style, bahasa dan penantian, ia bisa menerima kehadiran liyan.
|
Industri
Media Massa
Propaganda Media
Media
massa merupakan salah satu produk yang lahir dari kemajuan zaman dan teknologi
masa kini. Media massa dianggap sebagai salah satu media efektif untuk
menyalurkan informasi dan pesan yang ditujukkan untuk khalayak luas. Karena
kelebihannya inilah media massa dianggap sebagai salah satu media propaganda
yang efektif dan berdampak besar. Media massa nyatanya dewasa ini menjadi unsur
penting dalam kegiatan komunikasi propaganda untuk menjalankan kepentingan
propagandis. Kepentingan-kepentingan inilah yang kemudian menjadi masalah dan
konflik karena seringkali informasi yang disebarkan tidak berimbang.
Propaganda
di media massa digunakan dengan metode agenda setting untuk membentuk dan
mengkonstruksi persepsi publik. Media massa mungkin sekedar tinta di atas
kertas, visual dan audio. Akan tetapi, media massa nyatanya dapat mempengaruhi
masyarakat secara luas. Penyajian berita dan informasi adalah bentuk propaganda
yang sengaja disisipkan dan seringkali tidak disadari oleh khalayak. Kesalahan
dalam media massa dapat membentuk dan mengkontruksi persepsi publik yang salah.
Menghadapi
Kekerasan dalam Media
Kekerasan
didefinisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan
untuk memaksa hak lain tanpa persetujuan (P. Lardellier, 2003: 18). Kekerasan
sendiri mengandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam bentuk : fisik,
verbal, moral, psikologis atau bisa juga melalui visual/gambar. Logika
kekerasan merupakan logika kematian karena dapat melukai tubuh, melukai secara
psikologis, merugikan, dan bisa menjadi ancaman terhadap integritas pribadi (
S. Jehel, 2003: 123).
Bahaya
Kekerasan dalam Media
Bahaya kekerasan dalam media
mempunyai alasan yang kuat meski terkadang yang ditampilkan adalah cermin
ketakutan dibandingkan ancaman riil yang sebenarnya. Yang ditakutkan adalah
terjadinya penularan kekerasan melalui media menjadi kekerasan yang dilakukan
secara riil oleh masyarakat. Ketika kekerasan dalam media berfungsi seperti
nilai barang, maka kekerasan tersebut digunakan sebagai alat untuk menormalisir
situasi, sarana untuk memecah belah, dan alat efektif untuk demoralisasi
individu atau kelompok tertentu.
Menurut hasil studi tentang
kekerasan itu sendiri dalam media televise di Amerika Serikat oleh American
Psychological Assosiation di tahun 1995, seperti dikutip oleh Sophie Jehel
(2003: 124) menghasilkan tiga kesimpulan menarik
a. Mempresentasikan
program kekerasan meningkatkan perilaku agresif.
b. Memperlihatkan
secara berulang tayangan kekerasan dapat menyebabkan ketidakpekaan terhadap
kekerasan dan penderitaan korban.
c. Tayangan
kekerasan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga akan menciptakan representasi
dalam diri para pemirsa.
Dari
hasil kutipan ini Sophie Jehel ingin memperjelas bahwa pengaruh kekerasan di
media begitu merusak bagi anak.
Menurutnya, anak membutuhkan rasa aman agar bisa menemukan eksistensinya
dalam masyarakat. Namun, ketika
dihadapkan dengan kekerasan, anak terpaksa harus melindungi dirinya sendiri
dengan cara mengembangkan mekanisme pertahanan yang mempunyai akibat anak akan
mengalami stres, kegelisahan dan juga rasa malu. Bahkan pada masa pertumbuhan seorang anak,
gambar kekerasan bisa mempengaruhi perilaku dan persepsi anak mengenai dunia.
Kekerasan
Dokumen
Kekerasan dokumen, yang sempat
disinggung sebelumnya, merupakan penampilan gambar kekerasan yang dipahami
pemirsa atau pembaca dengan mata telanjang sebagai dokumentasi atau rekaman
fakta kekerasan. Kekerasaan ini dapat
dipresentasikan melalui tindakan (pembunuhan, pertengkaranm perkelahian,
kerusuhan, dan tembakan), serta bisa juga dengan situasi (konflik, luka, dan
tangisan) di mana emosi tersebut dapat menggambarkan perasaan yang
terdalam. Kekerasan semacam ini bisa
menarik, mengundang simpati, bisa juga membosankan, menjijikan atau membuat
marah pemirsa.
Kekerasan-dokumen tidak
harus berbentuk gambar atau foto, namun bisa juga dalam bentuk tulisan. Seperti misalnya peradilan melalui media yang
merugikan kehidupan pribadi atau kelompok atau berita yang menyudutkan. Sering kali media sudah memberitakan hukuman
bahkan sebelum tersangka ditentukan bersalah atau menjadi terdakwa. Media seakan tidak puas hanya melaporkan
proses peradilan, maka dari itu mereka menempatkan diri sebagai penyidik atau
jaksa penuntut dengan wartawan yang mengadopsi cara kerja polisi atau jaksa,
kasus ini trmasuk kedalam delokalisasi proses peradilan ke media. (A.
Civard-Racinais, 2003: 171-172). Di sisi lain, memang jaksa atau polisi sering
terbantu juga oleh penyidikan wartawan untuk mengarahkan penyidikan mereka
sendiri. Media memiliki pengaruh yang sangat besar bila menyampaikan suatu hal
apalagi berkaitan dengan seseorang
.
Kekerasan-Fiksi
dan Kekerasan-Simulasi
Kekerasan yang diberikan oleh kisah
fiksi tidak lepas dari peninggalan bekas luka pada pemirsa atau pembacanya yang
bisa meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif, apalagi terhadap
anak-anak. Contohnya adalah tayangan smack-down yang dibuat mirip dengan
perkelahian yang riil. Adanya
kepura-puraan dan simulasi dalam perkelahian di acara tersebut, maka smack-down masuk ke dalam kategori
hipperrealitas. Biasanya meski jauh dari
realitas, fiksi masih memiliki pijakan atau analogi dengan dunia riil. Maka dari itu kekerasaan-fiksi menjadi berbahaya
ketika justru memberi kemungkinan baru yang tidak ada dalam dunia riil.
Kekerasan juga dengan mudah
ditemukan di internet, baik yang terang-terangan ataupun yang
ditutup-tutupi. Berbagai hal tentang
seks, wacana ekstrem (fanatisme agama atau ideologi), perdagangan terlarang
(narkoba, senjata, pemalsuan, dan berbagai macam obat), atau komunitas yang
kadang tidak ada dalam jaringan hidup riil.
Dengan begitu, internet mempunyai fungsi sebagai tempat pengganti
interaksi yang tidak bisa dilakukan dalam keseharian dan terungkap dengan
vitalitas, terutama dalam hal kekerasan.
Kekerasan menjadi semakin ‘aman’ karena terlindungi dari dunia normal
dan dari hukum yang mengatur. Semua berlangsung dalam kerahasiaan, kekerasan
bisa ditampilkan semaunya.
Kekerasan-simulasi juga kuat melekat
pada video game. Contohnya, simulasi tank yang melindas
dan menghancurkan musuh, kekerasan dirasakan ketika pengendara virtual
berteriak puas atau marah. Ketika
bermain video game, ada gairah untuk
bermain, ada kegelisahan emosional yang ditularkan oleh gambar yang
ditampilkan.
Kekerasan
Simbolik dan Ketidakpedulian
Menurut Sophie Jehel (2003: 109),
terdapat empat faktor lain yang menyebabkan banyak orang dewasa kurang menaruh
perhatian kepada kekerasan yang ada di media:
a. Ketidaktahuan
orang dewasa akan budaya orang muda. Jurang generasi ini telah menjadi jurang
budaya, pengaruh pasar telah memperlebar jurang budaya itu dengan membuat
konsumsi dibagi atas dasar pembedaan umur.
b. Ada
keyakinan kuat bahwa kehadiran orang dewasa bisa memperbaiki situasi, padahal terkadang
sudah sering terlambat.
c. Faktor
ideologi mau menunjukkan bahwa semua bentuk pembatasan atau pelarangan akses
orang muda ke media akan dianggap sebagai reaksioner.
d. Kesulitan
pendampingan karena ketidakmampuan orang tua (dalam hal waktu, pengetahuan,
pedagogi, dan metode).
Kekerasan
yang paling sulit diatasi adalah kekerasan simbolis yang beroperasi melalui
iklan. Disebut sebagai simbolis karena
dampak yang biasa dilihat dalam kekerasan fisik tidak tampak, bahkan korban
tidak merasa telah didominasi atau dimanipulasi. Kekerasan simbolik terjadi karena pengakuan
dan ketidaktahuan yang didominasi atau yang diatur. Prinsip simbolis ini berupa bahasa,
caraTerdapat beberapa prinsip simbolis yang berupa bahasa, cara berpikir, cara
kerja, dan cara bertindak. Iklan
merk-merk tertentu merupakan kekerasan karena menjebak individu dengan
menentukan cara melihat, merasakan, berpikir, dan bertindak (B. Heilbrunn,
2003: 225).
Etika
Komunikasi dan Politik Media
Politik media harus diarahkan untuk
perlindungan anak dan remaja dari siaran yang merugikan. Perlindungan yang efektif didasari oleh
pendampingan anak-anak atau remaja dalam selera budaya mereka. Dengan begitu, mereka bisa dibantu menjaga
energi kreatif yang mereka miliki. Hal
ini dilakukan dengan tujuan supaya anak-anak dan remaja bisa mengapresiasi,
memiliki kepekaan terhadap seni, serta analisis kritis yang diperdalam agar
semakin baik dalam melindungi diri sendiri dari gambar atau pesan yang bisa
merugikan atau melukai mereka. Maka dari
itu, perlu dikembangkan suatu pendidikan dan juga pelatihan pada bidang media
secara sistematis, yakni masuk ke dalam kurikulum sekolah yang didukung oleh
peran orang tua yang ikut terlibat dalam mengatasi kekerasan media.
Jika ada pelarangan pun harus
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan melibatkan suatu penelitian ilmiah, suatu
komisi etika yang dibentuk dari berbagai komponen bangsa sehigga bisa
memberikan mandat untuk memutuskan mengurangi atau memperingatkan siaran yang
merupakan representasi kekerasan yang merugikan dan melukai kelompok umur yang
rentan.
Selain komisi tersebut, asosiasi
konsumen juga bisa berperan sebagai pengamat atau pengawas media untuk menjaga
media dari pelanggaran terhadap kekerasan.
Perlu dorongan pembentukan forum atau asosiasi perlindungan hak yang
melibatkan para pakar yang kompeten terhadap bidang ini. Negara bisa hadir sebagai pengamat dan
penjamin dihormatinya kepentingan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar