A. Tekanan
Ekonomi dan Tanggung Jawab Sosial Media
Faktor
ekonomi mempunyai peran yang cukup berpengaruh
dalam komunikasi. Dapat diketahui bersama dari realitas yang ada bahwa
dewasa ini seringkali tekanan ekonomi
lebih dikedepankan dibanding tanggung jawab sosial dalam berkomunikasi,
khususnya dalam pembahasan
ini adalah
komunikasi massa. Muhamad Mufid dalam
buku “Etika dan
Filsafat
Komunikasi” (2009) memaparkan bahwa terdapat tiga
sumber yang
menyebabkan tekanan ekonomi dalam komunikasi massa, yaitu :
1. Pendukung finansial;
investor, pemilik, pemasang iklan, dan pelanggan.
2. Para pesaing.
3. Masyarakat / publik secara
umum.
1.
Pendukung finansial; investor, pemilik, pemasang iklan, dan pelanggan.
2. Para
pesaing.
3.
Masyarakat / publik secara umum.
1.
Pendukung finansial; investor, pemilik, pemasang iklan, dan pelanggan.
2. Para
pesaing.
3.
Masyarakat / publik secara umum.
1. Pendukung finansial; investor, pemilik,
pemasang iklan, dan pelanggan.
2. Para pesaing.
3. Masyarakat / publik secara umum.
Mencari keuntungan
dan kekayaan sesungguhnya
tidak harus mengorbankan moral.
Namun, meningkatnya persaingan
di pasar kemudian menyebabkan institusi media menjadi
ruang bisnis para pengusaha, sehingga banyak
keputusan-keputusan
redaksional yang diambil
seringkali didasari oleh
kepentingan komersil, bukan kepentingan public.
Dengan demikian,
terkadang idealisme jurnalistik
terkalahkan oleh kepentingan mencari
keuntungan. Manajemen media
sudah dirasuki oleh teori-teori marketing yang penuh strategi
untuk meraup keuntungan komersil. Kini keputusan media menjadi seringkali hanya
didasari kepentingan ekonomi dengan
mengesampingkan idealisme jurnalistik
yang ada. Hal
ini menyebabkan adanya dilema antara nilai etis antara tanggung jawab
sosial dan tekanan ekonomi yang ada demi kelangsungan institusi media itu
sendiri
B. Pelayanan Publik,
Tanggung Jawab Publik, dan Logika Politik Media
1. Prinsip Pelayanan Publik
Dalam
buku “Etika Komunikasi” karya Haryatmoko, dipaparkan bahwa betapa
pun prioritas pada
orientasi keuangan, suatu
media masih tetap membutuhkan legitimasi yang
hanya bisa didapat bila
ada manfaat publik. Jadi tidak
sepenuhnya benar pernyataan yang mengatakan bahwa media yang
berada di bawah
kontrol pemerintah hanya
melayani pemerintah dan media
swasta hanya melayani
kepentingan pemodal.
Terdapat
tiga alasan yang dapat menyanggah pernyataan tersebut (Curran, 2000:125):
a. Media
swasta butuh mempertahankan kepentingan
audience supaya tetap menguntungkan;
b. Mereka harus mendapatkan legitimasi publik
untuk menghindari sanksi masyarakat;
c. Mereka
dapat dipengaruhi oleh
keprihatinan profesional dari
staf redaksi atau produksi.
Pelayanan publik
dapat dimengerti sebagai
pengambilalihan tanggung
jawab oleh kolektivitas
atas sejumlah kekayaan,
kegiatan atau pelayanan yang
harus lepas dari logika kepemilikan pribadi atau swasta,
dan harus dihindarkan dari tujuan melulu mencari keuntungan (ibid., 141).
Pelayanan publik memiliki
berbagai bentuk organisasi
hukum, baik di dalam maupun di luar sektor publik.
Menurut
B. Libois, terdapat tiga prinsip pelayanan publik, yaitu kontinuitas, kesetaraan,
dan adaptif (ibid.,
151). Kontinuitas dipahami sebagai tidak boleh berhenti sama
sekali meskipun ada pemogokan. Jadi, pelayanan tetap dijalankan (setidaknya
pelayanan minimum) meski harus berhadapan dengan hak pekerja untuk mogok atau
kepentingan keuangan perusahaan. Kesetaraan berarti tidak adanya diskriminasi
dalam hal isi atau yang mengisi hanya
atas dasar identitas
dan universalitas dalam mendefinisikan yang masuk
kategori publik dan
zona geografis. Adaptif berarti selalu mengikuti perkembangan
kebutuhan sosial, bahkan mungkin harus meninggalkan kegiatan tertentu bila
dapat dijamin dan secara sosial bisa
diterima oleh pelaku
lain. Prinsip ini
menjaga keseimbangan
pelayanan publik antara
kolektivisme dan liberalisme
ekonomi (tuntutan pasar) agar
bisa mencapai tujuan kolektif. Sedangkan dalam media, selain ketiga prinsip
itu, masih ditambah satu prinsip lagi, yaitu netralitas.
Memang
harus diakui, biasanya budaya
politik demokrasi lebih waspada akan
ancaman pemerintah terhadap
kebebasan pers daripada ancaman dari
para pemodal media
swasta. Pemerintah akan
segera diserang bila mencoba
mendikte pesan pada
media publik, tetapi
tidak demikian halnya bila para pemilik modal menentukan editorial atau
berita utama media mereka.
Jadi, perlu langkah
konkret untuk mewaspadai korupsi media yang berasal baik
dari politik maupun dari sistem ekonomi.
Kita masih ingat mengenai kasus berbedanya
hasil hitung cepat Pemilihan Presiden 2014 antara TvOne dengan MetroTv. MetroTv
dengan data dari berbagai lembaga survei, mengatakan bahwa pasangan Jokowi-JK
yang unggul, sedangkan TvOne dengan data dari berbagai lembaga survei lain
mengatakan bahwa pasangan Prabowo-Hatta yang unggul. Dalam hal ini, media
tidak menjalankan salah
satu prinsip pelayanan
publik, yaitu netralitas. Dengan
berbedanya hasil hitung
cepat dari sebuah
acara yang sama, dapat
ditarik kesimpulan bahwa
media-media tersebut seperti memberikan dukungan
kepada salah satu
pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presidennya.
2. Tanggung Jawab Publik
Media,
entah itu media cetak, siar, atau online, memiliki tanggung jawab berupa
menyampaikan informasi kepada
publik. Namun, melihat salah
satu prinsip pelyanan
publik bagi media,
yaitu netralitas, maka idelanya
informasi-informasi yang disampaikan
oleh media tidak menyudutkan salah
satu pihak dan
mengagung-agungkan pihak lain. Dengan kata lain, media idelanya
menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya,
berdasarkan fakta(faktual). Menambah-nambahkan detail
suatu peristiwa atau mengurang-kurangi detail-detail
dari suatu peristiwa, keduanya sama-sama
menyimpang dari fakta.
Bila penambahan dan pengurangan detail
itu dilakukan atas
dasar ketidaksengajaan, misalnya laporan seorang
jurnalis yang masih
„hijau‟, mungkin masih
bisa dimaklumi. Namun, yang
tidak benar adalah
ketika penambahan dan pengurangan detail suatu peristiwa
dilakukan atas dasar kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Logika Politik Media
Logika politik
media dapat berhubungan
dengan logika waktu pendek yang membuat pemerintah harus
membuat keputusan cepat. Media yang
diharapkan menjadi saluran
antara pemerintah dan
masyarakat, menginginkan respon cepat dari pemerintah mengenai masalah
yang ada di masyarakat. Akibatnya
pemerintah harus mengeluarkan
kebijakan terkait masalah yang
ada secepatnya, atau dengan waktu yang sangat singkat. Hal ini menjadikan
pemerintah seringkali mengapaikan prosedur
demokratik, karena tidak adanya
waktu untuk berkonsultasi
dengan banyak pihak Sebelum mengeluarkan kebijakan menginginkan
respon cepat dari pemerintah mengenai masalah yang ada di masyarakat. Akibatnya pemerintah
harus mengeluarkan kebijakan
terkait masalah yang ada secepatnya, atau dengan waktu yang sangat
singkat. Hal ini menjadikan pemerintah seringkali mengapaikan
prosedur demokratik, karena tidak
adanya waktu untuk
berkonsultasi dengan banyak
pihak sebelum mengeluarkan kebijakan.
C. Neoliberalisme Sebagai Kekuatan Ekonomi Baru
Mufid
(2009), mengutip dari studi I.Wibowo dkk. (2003) memaparkan bahwa perkembangan
kapitalisme dewasa ini
tengah memasuki apa
yang disebut neoliberalism. Gagasan
pokok neoliberalisme adalah
menjadikan ekonomi sebagai kunci
untuk memahami dan
mendekati berbagai masalah.
Dalam neoliberalisme, pasar
diutamakan. Para fundamentalis
pasar bahkan beranggapan bahwa
tidak hanya produksi,
distribusi, dan konsumsi
yang tunduk pada pasar, tetapi seluruh kehidupan. Dalam
gagasan neoliberalisme, cara-cara
kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi
bukanlah salah satu
dari berbagai model
hubungan antarmanusia,
melainkan satu-satunya model
yag mendasari semua
tindakan dan relasi antarmanusia, baik itu persahabatan, keluarga,
hukum, tata-negara, maupun hubungan internasional. Tindakan
dan hubungan antarpribadi
kita maupun tindakan dan
hubungan legal, sosial,
dan politis kita
hanyalah ungkapan dari model
hubungan menurut kalkulasi
transaksi ekonomi.
Aktivitas komunikasi
dengan demikian mestilah
dilihat sebagai entitas ekonomi yang
bermuara pada perhitungan
untung rugi. Ketika
kita berkomunikasi, dalam kacamata
neoliberalisme, maka sejatinya
kita tengah dalam upaya
memenuhi kebutuhan. Dengan
demikian, „berkomunikasi‟ pada dasarnya adalah „berekonomi‟.
D. Isu Ekonomi Versus Moral dalam Kepentingan
Media
Mufid
(2009) beranggapan bahwa perkembangan media massa semakin pesat ketika
terjadi perubahan dramatis
dalam teknologi komunikasi. Perkembangan industri
media ini tentu
tidak terelakkan. Konsekuensi
logis 11 dari usaha untuk mengembangkan media adalah kebutuhan modal
atau kapital yang lebih besar.
Tekanan
ekonomi memang sudah menjadi alasan
utama untuk semua orang
bebas melakukan sesuatu.
Tekanan ekonomi juga
tidak lepas dari institusi media, yang pada awalnya
menyampaikan informasi yang benar dan akurat
tanpa ada pengaruh
atau tekanan dari
sesuatu apapun. Namun
pada kenyataannya, saat ini yang terjadi adalah media dijadikan sebuah
sarana untuk para
pengusaha-pengusaha
memperluas jangkauan pasarnya,
seperti dengan membentuk opini
publik mengenai produk
mereka, mengangkat citra perusahaan, menghadirkan
kasus untuk menjatuhkan
para pesaing, dan sebagainya. Semua hal tersebut hanya
didasari oleh tekanan ekonomi semata.
Hasilnya,
kini tayangan media
dijadikan pasar yang
memperlihatkan semua produk dari
pemasang iklan dan
para sponsor acara
yang membuat pemirsa menjadi
konsumtif. Selain itu
ada pula tayangan-tayangan yang memiliki
rating tinggi namun
mengakibatkan munculnya perilaku
antisosial dan bertentangan dengan
nilai-nilai etis yang
berlaku. Ketika dilema
antara rasa tanggung jawab sosial
itu muncul dengan tekanan
ekonomi, baik untuk kepentingan pribadi maupun perusahaan, maka nilai-nilai
etis akan berangsur menghilang dengan kekuatan tekanan ekonomi.
Dalam konteks ekonomi-politik media, terdapat
tiga tolok ukur sistem sosial politik yang demokratis. Pertama, peniadaan
ketimpangan sosial dalam masyarakat. Ketimpangan dalam bentuk kepemilikan dan
kekayaan dipandang sebagai
penghambat partisipasi setiap
anggota masyarakat ke
dalam sistem politik yang
ada. Kedua, pembentukan
kesadaran bersama (shared consciousness) tentang
pentingnya mengutamakan kepentingan
bersama (public interest) di atas kepentingan pribadi. Setiap orang
harus sadar bahwa kesejahteraan
dirinya sangat bergantung
pada kesejahteraan sosial
yang ada dalam masyarakat.
Ketiga, demokrasi membutuhkan sistem komunikasi politik yang efektif.
Warga negara harus
mempunyai keterlibatan penuh
dan partisipasi yang tinggi
terhadap proses-proses pembentukan
kebijakan yang menyangkut kepentingan
umum. Komunikasi yang
efektif menjadi penting ketika sistem
sosial dan politik
bertambah kompleks. Tanpa
ini, mekanisme kerja sistem
politik dan demokrasi akan terhambat. Pada situasi seperti inilah diskursus
kebebasan media menjadi bagian yang signifikan dan esensial dari pembentukan wacana
dan pelaksanaan demokrasi.
Antony Sampson (dalam McNair, 2000:1) menyatakan bahwa
kematangan demokrasi tergantung pada
sejauh mana informasi terdistribusi, “a mature democracy depends on having an
educated electorate, informed and connected through parliament‟.
E. Media dan Konflik Kepentingan
Novel Ali dalam Suara Merdeka, 7 Januari
2007, mengatakan bahwa komunikasi
merupakan suatu kepentingan. Setiap
orang yang berkomunikasi pasti mempunyai
suatu kepentingan. Karena
komunikasi itu sendiri
identik dengan kepentingan, karena
setiap sistem dan
proses komunikasi mengisyaratkan kepentingan,
maka di balik
komunikasi cenderung selalu terbuka konflik kepentingan.
Konflik
kepentingan (conflict of
interest) sendiri dapat
diartikan sebagai „clash between
professional loyalties and
outside interest that undermines the credibility of the moral
agent‟ (Louis Alvin Day, 2006:211). Day memaparkan bahwa konfik kepentingan
tersebut pada umumnya muncul dari peran seseorang
dalam masyarakat yang
malah memunculkan
kepentingan-kepentingan tertentu di
samping kewajiban sosialnya
dalam masyarakat.
Konflik
kepentingan pada media
terkait dengan dua
pihak yaitu penguasa dan
pengusaha. Media yang berafiliasi atau dimiliki oleh pengusaha atau penjabat
tertentu pasti memiliki konflik kepentingan, yaitu apakah akan berpihak ke
publik ataukah berpihak
pada penguasa atau
pengusaha yang notabenya sebagai
pemilik. Jika media
massa dibiarkan menjadi
apartus kekuatan
sosial-politik, maka seluruh
materi pelayanannya akan
senantiasa harus
dikonfirmasikan terlebih dahulu
dengan berbagai interest
politik dari politik yang
bersangkutan. Akibatnya, keunggulan media tersebut akan bersifat sub-ordinated
dengan pamrih politik. Padahal, antara keduanya secara hakiki sangatlah
berbeda. Media massa
yang tidak menjadi
aparatus politik akan
lebih mampu memenuhi dan
menciptakan selera publiknya. Fenomena konglomerasi industri media merupakan
krisis lain dari
demokrasi media yang
bisa melemahkan fungsi kontrol
media dalam upaya membangun masyarakat
mandiri. Konflik kepentingan perusahaan
media yang sudah
menggurita bisnisnya itu,
antara lain bisa terjadi dengan pemasangan iklan, politikus, pimpinan
pemerintah, dan lainnya sehingga menyebabkan
media tersebut tidak
kritis. Oleh sebab
itu, karena media tidak lagi kritis, maka semakin sedikit kepentingan
publik yang di angkat oleh media massa atau “mainstream”.
Ashadi Siregar
mengatakan bahwa keberadaan
media massa perlu
di lihat dalam konteks
epistemologis, dengan melihat
jurnalisme sebagai suatu susunan
pengetahuan dalam menghadapi
realita sosial. Media
jurnalisme mengutamakan
informasi faktual berkonteks
kehidupan publik, berbeda dengan media
massa hiburan yang
mengutamakan informasi fiksional berkonteks kehidupan privat.
Media
jurnalisme memiliki fungsi
sebagai institusi sosial
yang mengangkat fakta-fakta sosial
sebagai informasi jurnalisme.
Dengan begitu, fungsi utamanya
adalah untuk menyampaikan suatu berita. Ini semua kaidah teknis untuk
memproduksi berita itu
sementara bisa di
tinggalkan, untuk masuk ke
substansi jurnalisme bahwa
berita adalah fakta
sosial yang direkonstruksikan
untuk kemudian diceritakan.
Bella Anastasya Achita Putri
14140110099
Tidak ada komentar:
Posting Komentar