Senin, 30 Mei 2016

MEDIA, PELAYANAN PUBLIK DAN LOGIKA POLITIK; TANGGUNGJAWAB SOSIAL DAN TEKANAN EKONOMI

A.  Tekanan Ekonomi dan Tanggung Jawab Sosial Media
Faktor  ekonomi  mempunyai  peran  yang  cukup  berpengaruh  dalam komunikasi. Dapat diketahui bersama dari realitas yang ada bahwa dewasa ini seringkali  tekanan  ekonomi  lebih  dikedepankan  dibanding  tanggung  jawab sosial  dalam  berkomunikasi,  khususnya  dalam  pembahasan  ini  adalah
komunikasi  massa.  Muhamad  Mufid  dalam  buku  “Etika  dan  Filsafat
Komunikasi”  (2009)  memaparkan  bahwa  terdapat  tiga  sumber  yang
menyebabkan tekanan ekonomi dalam komunikasi massa, yaitu :
1.  Pendukung finansial; investor, pemilik, pemasang iklan, dan pelanggan.
2.  Para pesaing.
3.  Masyarakat / publik secara umum.
1.  Pendukung finansial; investor, pemilik, pemasang iklan, dan pelanggan.
2.  Para pesaing.
3.  Masyarakat / publik secara umum.
1.  Pendukung finansial; investor, pemilik, pemasang iklan, dan pelanggan.
2.  Para pesaing.
3.  Masyarakat / publik secara umum.
1.  Pendukung finansial; investor, pemilik, pemasang iklan, dan pelanggan.
2.  Para pesaing.
3.  Masyarakat / publik secara umum.
Mencari  keuntungan  dan  kekayaan  sesungguhnya  tidak  harus mengorbankan  moral.  Namun,  meningkatnya  persaingan  di  pasar  kemudian menyebabkan institusi media menjadi ruang bisnis para pengusaha, sehingga banyak  keputusan-keputusan  redaksional  yang  diambil  seringkali  didasari oleh kepentingan komersil, bukan kepentingan public.
Dengan  demikian,  terkadang  idealisme  jurnalistik  terkalahkan  oleh kepentingan  mencari  keuntungan.  Manajemen  media  sudah  dirasuki  oleh teori-teori marketing yang penuh strategi untuk meraup keuntungan komersil. Kini keputusan media menjadi seringkali hanya didasari kepentingan ekonomi dengan  mengesampingkan  idealisme  jurnalistik  yang  ada.  Hal  ini menyebabkan adanya dilema antara nilai etis antara tanggung jawab sosial dan tekanan ekonomi yang ada demi kelangsungan institusi media itu sendiri
B. Pelayanan Publik, Tanggung Jawab Publik, dan Logika Politik Media
1.  Prinsip Pelayanan Publik
Dalam buku “Etika Komunikasi” karya Haryatmoko, dipaparkan bahwa  betapa  pun  prioritas  pada  orientasi  keuangan,  suatu  media  masih tetap  membutuhkan legitimasi  yang  hanya bisa  didapat  bila  ada  manfaat publik. Jadi tidak sepenuhnya benar pernyataan yang mengatakan bahwa media  yang  berada  di  bawah  kontrol  pemerintah  hanya  melayani pemerintah  dan  media  swasta  hanya  melayani  kepentingan  pemodal.
Terdapat tiga alasan yang dapat menyanggah pernyataan tersebut (Curran, 2000:125):
a.  Media  swasta  butuh  mempertahankan  kepentingan  audience  supaya tetap menguntungkan;
b.  Mereka harus mendapatkan legitimasi publik untuk menghindari sanksi masyarakat;
c.  Mereka  dapat  dipengaruhi  oleh  keprihatinan  profesional  dari  staf redaksi atau produksi.
Pelayanan  publik  dapat  dimengerti  sebagai  pengambilalihan tanggung  jawab  oleh  kolektivitas  atas  sejumlah  kekayaan,  kegiatan  atau pelayanan  yang  harus  lepas  dari logika kepemilikan pribadi atau swasta, dan harus dihindarkan dari tujuan melulu mencari keuntungan (ibid., 141). Pelayanan  publik  memiliki  berbagai  bentuk  organisasi  hukum,  baik  di dalam maupun di luar sektor publik.
Menurut B. Libois, terdapat tiga prinsip pelayanan publik, yaitu kontinuitas,  kesetaraan,  dan  adaptif  (ibid.,  151).  Kontinuitas  dipahami sebagai tidak boleh berhenti sama sekali meskipun ada pemogokan. Jadi, pelayanan tetap dijalankan (setidaknya pelayanan minimum) meski harus berhadapan dengan hak pekerja untuk mogok atau kepentingan keuangan perusahaan. Kesetaraan berarti tidak adanya diskriminasi dalam hal isi atau yang  mengisi  hanya  atas  dasar  identitas  dan  universalitas  dalam mendefinisikan  yang masuk  kategori  publik  dan  zona  geografis.  Adaptif berarti selalu mengikuti perkembangan kebutuhan sosial, bahkan mungkin harus meninggalkan kegiatan tertentu bila dapat dijamin dan secara sosial bisa  diterima  oleh  pelaku  lain.  Prinsip  ini  menjaga  keseimbangan pelayanan  publik  antara  kolektivisme  dan  liberalisme  ekonomi  (tuntutan pasar) agar bisa mencapai tujuan kolektif. Sedangkan dalam media, selain ketiga prinsip itu, masih ditambah satu prinsip lagi, yaitu netralitas.
Memang harus  diakui, biasanya budaya politik  demokrasi lebih waspada  akan  ancaman  pemerintah  terhadap  kebebasan  pers  daripada ancaman  dari  para  pemodal  media  swasta.  Pemerintah  akan  segera diserang  bila  mencoba  mendikte  pesan  pada  media  publik,  tetapi  tidak demikian halnya bila para pemilik modal menentukan editorial atau berita utama  media  mereka.  Jadi,  perlu  langkah  konkret  untuk  mewaspadai korupsi media yang berasal baik dari politik maupun dari sistem ekonomi.
 Kita masih ingat mengenai kasus berbedanya hasil hitung cepat Pemilihan Presiden 2014 antara TvOne dengan MetroTv. MetroTv dengan data dari berbagai lembaga survei, mengatakan bahwa pasangan Jokowi-JK yang unggul, sedangkan TvOne dengan data dari berbagai lembaga survei lain mengatakan bahwa pasangan Prabowo-Hatta yang unggul. Dalam hal ini,  media  tidak  menjalankan  salah  satu  prinsip  pelayanan  publik,  yaitu netralitas.  Dengan  berbedanya  hasil  hitung  cepat  dari  sebuah  acara  yang sama,  dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa  media-media  tersebut  seperti memberikan  dukungan  kepada  salah  satu  pasangan  Calon  Presiden  dan Wakil Presidennya.
2.  Tanggung Jawab Publik
Media, entah itu media cetak, siar, atau online, memiliki tanggung jawab  berupa  menyampaikan  informasi  kepada  publik.  Namun,  melihat salah  satu  prinsip  pelyanan  publik  bagi  media,  yaitu  netralitas,  maka idelanya  informasi-informasi  yang  disampaikan  oleh  media  tidak menyudutkan  salah  satu  pihak  dan  mengagung-agungkan  pihak  lain. Dengan kata lain, media idelanya menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya,  berdasarkan  fakta(faktual).  Menambah-nambahkan  detail  suatu peristiwa  atau  mengurang-kurangi  detail-detail  dari  suatu  peristiwa, keduanya  sama-sama  menyimpang  dari  fakta.  Bila  penambahan  dan pengurangan  detail  itu  dilakukan  atas  dasar  ketidaksengajaan,  misalnya laporan  seorang  jurnalis  yang  masih  „hijau‟,  mungkin  masih  bisa dimaklumi.  Namun,  yang  tidak  benar  adalah  ketika  penambahan  dan pengurangan detail suatu peristiwa dilakukan atas dasar kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu.
3.  Logika Politik Media
Logika  politik  media  dapat  berhubungan  dengan  logika  waktu pendek yang membuat pemerintah harus membuat keputusan cepat. Media yang  diharapkan  menjadi  saluran  antara  pemerintah  dan  masyarakat, menginginkan respon cepat dari pemerintah mengenai masalah yang ada di masyarakat. Akibatnya  pemerintah  harus  mengeluarkan  kebijakan  terkait masalah yang ada secepatnya, atau dengan waktu yang sangat singkat. Hal ini  menjadikan  pemerintah seringkali  mengapaikan  prosedur  demokratik, karena  tidak  adanya  waktu  untuk  berkonsultasi  dengan  banyak  pihak Sebelum mengeluarkan kebijakan menginginkan respon cepat dari pemerintah mengenai masalah yang ada di masyarakat. Akibatnya  pemerintah  harus  mengeluarkan  kebijakan  terkait masalah yang ada secepatnya, atau dengan waktu yang sangat singkat. Hal ini  menjadikan  pemerintah seringkali  mengapaikan  prosedur  demokratik, karena  tidak  adanya  waktu  untuk  berkonsultasi  dengan  banyak  pihak sebelum mengeluarkan kebijakan. 
C.  Neoliberalisme Sebagai Kekuatan Ekonomi Baru
Mufid (2009), mengutip dari studi I.Wibowo dkk. (2003) memaparkan bahwa  perkembangan  kapitalisme  dewasa  ini  tengah  memasuki  apa  yang disebut  neoliberalism.  Gagasan  pokok  neoliberalisme  adalah  menjadikan ekonomi  sebagai  kunci  untuk  memahami  dan  mendekati  berbagai  masalah.
Dalam  neoliberalisme,  pasar  diutamakan.  Para  fundamentalis  pasar  bahkan beranggapan  bahwa  tidak  hanya  produksi,  distribusi,  dan  konsumsi  yang tunduk pada pasar, tetapi seluruh kehidupan.  Dalam  gagasan  neoliberalisme,  cara-cara  kita  bertransaksi  dalam kegiatan  ekonomi  bukanlah  salah  satu  dari  berbagai  model  hubungan antarmanusia,  melainkan  satu-satunya  model  yag  mendasari  semua  tindakan dan relasi antarmanusia, baik itu persahabatan, keluarga, hukum, tata-negara, maupun  hubungan  internasional.  Tindakan  dan  hubungan  antarpribadi  kita maupun  tindakan  dan  hubungan  legal,  sosial,  dan  politis  kita  hanyalah ungkapan  dari  model  hubungan  menurut  kalkulasi  transaksi  ekonomi.
Aktivitas  komunikasi  dengan  demikian  mestilah  dilihat  sebagai  entitas ekonomi  yang  bermuara  pada  perhitungan  untung  rugi.  Ketika  kita berkomunikasi,  dalam  kacamata  neoliberalisme,  maka  sejatinya  kita  tengah dalam upaya memenuhi  kebutuhan. Dengan demikian,  „berkomunikasi‟  pada dasarnya adalah „berekonomi‟.
D.  Isu Ekonomi Versus Moral dalam Kepentingan Media
Mufid (2009) beranggapan bahwa perkembangan media massa semakin pesat  ketika  terjadi  perubahan  dramatis  dalam  teknologi  komunikasi. Perkembangan  industri  media  ini  tentu  tidak  terelakkan.  Konsekuensi  logis 11 dari usaha untuk mengembangkan media adalah kebutuhan modal atau kapital yang lebih besar. 
Tekanan ekonomi memang sudah menjadi alasan  utama untuk semua orang  bebas  melakukan  sesuatu.  Tekanan  ekonomi  juga  tidak  lepas  dari institusi media, yang pada awalnya menyampaikan informasi yang benar dan akurat  tanpa  ada  pengaruh  atau  tekanan  dari  sesuatu  apapun.  Namun  pada kenyataannya, saat ini yang terjadi adalah media dijadikan sebuah sarana untuk para  pengusaha-pengusaha  memperluas  jangkauan  pasarnya,  seperti  dengan membentuk  opini  publik  mengenai  produk  mereka,  mengangkat  citra perusahaan,  menghadirkan  kasus  untuk  menjatuhkan  para  pesaing,  dan sebagainya. Semua hal tersebut hanya didasari oleh tekanan ekonomi semata.
  Hasilnya,  kini  tayangan  media  dijadikan  pasar  yang  memperlihatkan semua  produk  dari  pemasang  iklan  dan  para  sponsor  acara  yang  membuat pemirsa  menjadi  konsumtif.  Selain  itu  ada  pula  tayangan-tayangan  yang memiliki  rating  tinggi  namun  mengakibatkan  munculnya  perilaku  antisosial dan  bertentangan  dengan  nilai-nilai  etis  yang  berlaku.  Ketika  dilema  antara rasa tanggung  jawab  sosial  itu muncul  dengan tekanan ekonomi, baik untuk kepentingan pribadi maupun perusahaan, maka nilai-nilai etis akan berangsur menghilang dengan kekuatan tekanan ekonomi.
  Dalam konteks ekonomi-politik media, terdapat tiga tolok ukur sistem sosial politik yang demokratis. Pertama, peniadaan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Ketimpangan dalam bentuk kepemilikan dan kekayaan dipandang sebagai  penghambat  partisipasi  setiap  anggota  masyarakat  ke  dalam  sistem politik  yang  ada.  Kedua,  pembentukan  kesadaran  bersama  (shared consciousness)  tentang  pentingnya  mengutamakan  kepentingan  bersama (public interest) di atas kepentingan pribadi. Setiap orang harus sadar bahwa kesejahteraan  dirinya  sangat  bergantung  pada  kesejahteraan  sosial  yang  ada dalam masyarakat. Ketiga, demokrasi membutuhkan sistem komunikasi politik yang  efektif.  Warga  negara  harus  mempunyai  keterlibatan  penuh  dan partisipasi  yang  tinggi  terhadap  proses-proses  pembentukan  kebijakan  yang menyangkut  kepentingan  umum.  Komunikasi  yang  efektif  menjadi  penting ketika  sistem  sosial  dan  politik  bertambah  kompleks.  Tanpa  ini,  mekanisme kerja sistem politik dan demokrasi akan terhambat. Pada situasi seperti inilah diskursus kebebasan media menjadi bagian yang signifikan dan esensial dari pembentukan  wacana  dan  pelaksanaan  demokrasi.  Antony  Sampson  (dalam McNair, 2000:1) menyatakan bahwa kematangan  demokrasi tergantung pada sejauh mana informasi terdistribusi, “a mature democracy depends on having an educated electorate, informed and connected through parliament‟.

E.  Media dan Konflik Kepentingan
  Novel Ali dalam Suara Merdeka, 7 Januari 2007,  mengatakan bahwa komunikasi merupakan  suatu kepentingan. Setiap orang  yang berkomunikasi pasti  mempunyai  suatu  kepentingan.  Karena  komunikasi  itu  sendiri  identik dengan  kepentingan,  karena  setiap  sistem  dan  proses  komunikasi mengisyaratkan  kepentingan,  maka  di  balik  komunikasi  cenderung  selalu terbuka konflik kepentingan.
 Konflik  kepentingan  (conflict  of  interest)  sendiri  dapat  diartikan sebagai  „clash  between  professional  loyalties  and  outside  interest  that undermines the credibility of the moral agent‟ (Louis Alvin Day, 2006:211). Day memaparkan bahwa konfik kepentingan tersebut pada umumnya muncul dari  peran  seseorang  dalam  masyarakat  yang  malah  memunculkan kepentingan-kepentingan  tertentu  di  samping  kewajiban  sosialnya  dalam masyarakat.
  Konflik  kepentingan  pada  media  terkait  dengan  dua  pihak  yaitu penguasa dan pengusaha. Media yang berafiliasi atau dimiliki oleh pengusaha atau penjabat tertentu pasti memiliki konflik kepentingan, yaitu apakah akan berpihak  ke  publik  ataukah  berpihak  pada  penguasa  atau  pengusaha  yang notabenya  sebagai  pemilik.  Jika  media  massa  dibiarkan  menjadi  apartus kekuatan  sosial-politik,  maka  seluruh  materi  pelayanannya  akan  senantiasa harus  dikonfirmasikan  terlebih  dahulu  dengan  berbagai  interest  politik  dari politik yang bersangkutan. Akibatnya, keunggulan media tersebut akan bersifat sub-ordinated dengan pamrih politik. Padahal, antara keduanya secara hakiki sangatlah berbeda.  Media  massa  yang  tidak  menjadi  aparatus  politik  akan  lebih  mampu memenuhi dan menciptakan selera publiknya. Fenomena konglomerasi industri media  merupakan  krisis  lain  dari  demokrasi  media  yang  bisa  melemahkan fungsi kontrol media dalam upaya membangun  masyarakat mandiri.  Konflik kepentingan  perusahaan  media  yang  sudah  menggurita  bisnisnya  itu,  antara lain bisa terjadi dengan pemasangan iklan, politikus, pimpinan pemerintah, dan lainnya  sehingga  menyebabkan  media  tersebut  tidak  kritis.  Oleh  sebab  itu, karena media tidak lagi kritis, maka semakin sedikit kepentingan publik yang di angkat oleh media massa atau “mainstream”. 
Ashadi  Siregar  mengatakan  bahwa  keberadaan  media  massa  perlu  di lihat  dalam  konteks  epistemologis,  dengan  melihat  jurnalisme  sebagai  suatu susunan  pengetahuan  dalam  menghadapi  realita  sosial.  Media  jurnalisme mengutamakan  informasi  faktual  berkonteks  kehidupan  publik,  berbeda dengan  media  massa  hiburan  yang  mengutamakan  informasi  fiksional berkonteks kehidupan privat.
  Media  jurnalisme  memiliki  fungsi  sebagai  institusi  sosial  yang mengangkat  fakta-fakta  sosial  sebagai  informasi  jurnalisme.  Dengan  begitu, fungsi utamanya adalah untuk menyampaikan suatu berita. Ini semua kaidah teknis  untuk  memproduksi  berita  itu  sementara  bisa  di  tinggalkan,  untuk masuk  ke  substansi  jurnalisme  bahwa  berita  adalah  fakta  sosial  yang direkonstruksikan untuk kemudian diceritakan.



 Bella Anastasya Achita Putri
14140110099

Tidak ada komentar:

Posting Komentar