MANIPULASI
MEDIA dan KESADARAN PALSU, PORNOGRAFI, KEKERASAN, serta PROPAGANDA dalam MEDIA
atau PERS
Pornografi
dapat didefinisikan sebagai represntasi eksplisit berupa gambar, tulisan, lukisan,
dan foto dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum, atau cabul
yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke public. Mesum, cabul, dan tidak
senonoh ini dapat diartikan sebgai sesuatu yang melukai dengan sengaja rasa
malu atau rasa asusila dengan membangkitkan representasi seksualitas. Tetapi,
tentu penilaian ini bersifat subjektif karena tergantung pada pemikiran setiap
orang.
Ironis,
biasa korban dari pornografi adalah perempuan. Perempuan seperti diberdayakan
dengan kemolekan tubuhnya. Sebenarmya, pornografi sangat dilarang karena
memiliki 3 alasan utama, yaitu:
1. Perlindungan
terhadap orang muda atau anak- anak.
2. Mencegah
adanya perendahan martabat perempuan.
3. Mencegah
sifaat subversi yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan
masyarakat.
Akhir-
akhir ini, di Indonesia sendiri semakin marak kasus pencabulan terhadap gadis
dibawah umur. Mungkin, ini disebabkan karena semakin marak dan bebasnya hal-
hal yang berbau pornografi menyebar di masyarakat. Yang tidak disangka, selain
korban yang masih berada dibawah umur, pelakunya pun juga masih berada dibawah
umur. Hal ini amat sangat disayangkan, karena moral penerus bangsa saat ini
bisa dikatakan sudah rusak. Di Indonesia sendiri, pornografi snagat dilarang
keras karena bertentangan dengan moral dan agama, tetapi karena kemajuan teknologi
saat ini membuat sedikit kecolongan dari penolakan itu.
Hal
inilah yang menyebabkan etika komunikasi juga tidak dapat mengatasi maraknya
kekerasan yang ada pada media. Kekerasan dalam media ini dapat diartikan
debagai pornografi, kekerasan dalam bentuk verbal atau non verbal, serta
kekerasan virtual ( game, dll).
Media
menampilkan kekerasan, pasti menimbulkan bahaya. Karena, saat ini media,
merupakan contoh kehidupan kebanyakn masyarakat saat ini. Tak jarang, saat ini
sebagian besar kehidupan masyarakat sudah berpatokan terhadap apa yang mereka
lihat di media, seperti meniru gaya bicara artis, mengikuti tatanan gaya
fashion artis, dan masih banyak lainnya.
Hal
inlah yang membuat sulit para pengawas media. Sejauh mana mereka masih bisa
menampilkan sebuah tayangan yang memilki unsur kekerasan dan dapat ditoleransi
dan sejauh mana tayangan yang tidak boleh ditampilkan tetapi masyarakat
menyukainya.
Fransiska
Wahyuning// 14140110196
Sumber:
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi
Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta:
Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar