Penggunaan kata literasi biasanya merujuk pada
kemampuan seseorang untuk membaca kata yang tertulis. Namun dalam konteks
media, James W. Potter dalam bukunya Media
Literacy 6th edition mengartikan literasi media sebagai sekumpulan
perspektif yang kita gunakan secara aktif saat memakai media guna
mengartikan/memaknai pesan yang kita dapatkan. Untuk dapat melakukan literasi
media diperlukan kemampuan memahami makna berbagai pesan, mengatur makna tersebut
sehingga berguna, dan kemudian menyusun pesan untuk meyampaikan makna tadi pada
orang lain.
1.1 Pentingnya Literasi
Media
Mengapa literasi media itu penting? Ada beberapa
faktor yang menjadikan literasi media begitu penting. Faktor-faktor tersebut
antara lain sebagai berikut.
·
Adanya
kejenuhan atas banjirnya informasi. Budaya kita terpenuhi
dengan banyak sekali informasi, dan jumlah informasi yang ada kepada kita terus
bertambah bahkan meningkat cepat. Google memperkirakan di tahun 2009 sudah ada
sekitar 130 juta buku yang dipublikasikan (Mashable, 2011). Itu baru dari buku
saja, kita tentu tahu dengan media-media lainnya seperti siaran radio, siaran
televisi, majalah-majalah, bahkan koran, dan berbagai media baru yang terus
bermunculan (seperti jejaring sosial, blog, media online, dan lain sebagainya).
·
Masyarakat
yang terus menerus terpapar media. Keseharian kita sudah
tidak terpisahkan dengan media dan informasi. Dalam 3 dekade terakhir, setiap
survei tentang penggunaan media selalu menyatakan bahwa rata-rata pengguna
media selalu naik tiap tahunnya. Di tahun 2000, seseorang menghabiskan waktu 8 jam
perharinya untuk menggunakan media, peneliti menemukan bahwa keahlian
multitasking seseorang bertambah, seperti contoh, mendengarkan musik, mengirim
pesan teks, menonton video dari tiga window di internet secara bersamaan. Seperti
dikutip dari website KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), rata-rata anak Indonesia menghabiskan waktu sampai 5 jam dalam sehari
untuk menonton televisi. Hal ini menunjukkan bahwa sejak kecil, kita sudah
terpapar oleh media. Selain itu, berdasarkan data dari We Are Social, rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu sampai
4 jam lebih untuk mengakses internet dari personal
computer ataupun tablet mereka.
·
Masalah
Informasi. Individu dan masyarakat tentu punya masalah dengan
informasi. Jika dahulu permasalahan terletak pada terbatasnya akses informasi,
maka kini masalah terletak pada bagaimana cara membatasi derasnya arus
informasi.
Setelah kita memahami pentingnya media literasi, kita
juga perlu memahami bahwa literasi media bersifat multidimensi. Artinya ada
beberapa dimensi dalam literasi media. Dimensi tersebut antara lain : dimensi
kognitif, emosional, estetika, dan dimensi moral.
Dimensi kognitif merupakan dimensi yang berkaitan
dengan fakta-fakta/informasi dasar yang disampaikan media. Contoh informasi
kognitif ini misalnya : tanggal, nama, definisi, dan sejenisnya. Sedangkan
dimensi emosional berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memahami emosi
yang ada dalam konten-konten media. Misalkan seseorang mampu memahami emosi apa
yang ditimbulkan dalam tayangan suatu media (apakah sedih, senang, haru,
frustrasi, benci, dan lain sebagainya).
Dimensi estika berkaitan dengan kemampuan seseorang
dalam memahami bagaimana pesan media diproduksi. Contoh-contoh dimensi estetis
ini misalnya kita tahu seperti apa cerita film yang bagus, bagaimana
pencahayaan film yang bagus, bagaimana proses editing sebuah gambar di media,
bagaimana proses produksi audio, dan lain sebagainya. Sedangkan dimensi moral
berkaitan dengan pengetahuan akan mana nilai-nilai yang baik dan mana yang
buruk.
Semakin tinggi tingkat keterampilan yang dimiliki
dalam dimensi-dimensi tadi, maka akan semakin baik pula tingkat literasi media
seseorang.
1.3 Tingkatan Dalam Literasi Media
James Potter mengemukakan beberapa tingkatan/tahapan
dalam literasi media. Tahapan tersebut antara lain sebagai berikut.
·
Tahapan
memperoleh pemahaman dasar. Dalam tahapan ini, seseorang mulai
mengenali dasar-dasar yang diperlukan dalam literasi media. Tahap ini terjadi
saat seseorang ada dalam fase anak-anak balita. Di tahap ini seseorang
mempelajari tentang benda-benda hidup, benda berwujud fisik dan fungsinya,
mereka mulai memahami ekspresi wajah, suara-suara, mengenali bentuk, ukuran,
warna, dan pergerakan.
·
Tahapan
penguasaan bahasa. Tahap ini juga terjadi di masa
anak-anak. Dalam tahap ini, seseorang mulai mengenali suara orang berbicara dan
artinya, seseorang sudah mampu berbicara, dan mampu membuat respon emosi
terhadap musik atau suara yang didengar. Di tahap ini juga seseorang mulai
mengenali tokoh dalam media visual, lalu mampu mengikuti pergerakan si tokoh
tadi.
·
Tahap
pemahaman narasi. Di tahap ini seseorang mulai mengetahui
perbedaan fiksi dan nonfiksi. Mereka juga mulai mengetahui bedanya iklan dengan
acara yang mereka tonton, mereka mulai mengerti alur cerita (seperti alur
waktu), dan mereka mulai memahami motivasi suatu tokoh dalam tayangan visual.
·
Tahapan
berkembangnya sifat skeptis. Di tahapan ini seseorang semakin
skeptis terhadap tayangan media. Biasanya tahapan ini dicapai saat seseorang
memasuki usia remaja. Mereka yang sudah sampai di tahap ini sudah memiliki
pemahaman tentang rasa suka dan tidak suka terhadap acara tertentu, karakter,
ataupun tindakan tertentu.
·
Tahapan
perkembangan yang intensif. Di tahapan ini seseorang berkembang
semakin intens. Ciri-cirinya adalah seseorang mulai memiliki motivasi untuk
mencari tahu suatu topik secara lebih mendalam. Misalkan seseorang menyukai
informasi olahraga, maka ia akan mulai mencari informasi lebih mendalam tentang
informasi olahraga. Selain itu, mereka juga sudah mampu menggunakan informasi
tadi agar menjadi bermanfaat.
·
Tahapan
pengalaman menjelajah. Merupakan tahap di mana seseorang
semakin sering mengeksplorasi konten media yang ia konsumsi. Ciri-cirinya
adalah orang tersebut mulai mencari berbagai bentuk konten dan narasi, mereka
berfokus pada kejutan dan emosi yang baru, nilai-nilai moral dan estetika yang
baru.
·
Tahapan
apresiasi kritis. Tahap ketika seseorang mampu menerima
pesan dengan cara mereka sendiri. Dalam arti mereka akan mengevaluasi pesan
media berdasarkan lingkungan dan nilai-nilai mereka. Selain itu, di tahap ini
seseorang juga sudah mampu membandingkan berbagai pesan di media secara terus
menerus. Mereka juga punya pemahaman yang mendalam tentang berbagai topik,
seperti sejarah, ekonomi, politik, dan berbagai konteks yang berkaitan dengan
pesan media.
·
Tahapan
tanggung jawab sosial. Tahap yang paling tinggi, yakni ketika
seseorang merasakan adanya tanggung jawab sosial terhadap literasi media. Di
tahapan ini seseorang sudah memiliki berbagai sudut pandang pemahaman, mereka
memahami dan mampu menganalisis media
landscape secara menyeluruh, dan mereka menyadari bahwa seseorang perlu
melakukan tindakan yang berdampak terhadap masyarakat.
1.4 Keuntungan Memiliki Kemampuan Literasi Media
Ada berbagai keuntungan ketika kita punya kemampuan
literasi media. Setidaknya, James Potter menjelaskan tiga keuntungan, yakni
sebagai berikut.
·
Lebih
termotivasi untuk mencari informasi yang lebih luas.
Setiap media memiliki tujuan tertentu. Nah, dengan memiliki kemampuan literasi
media, kita akan memahami bagaimana suatu media memproduksi pesan. Dengan
demikian, kita dapat menjadi lebih kritis sehingga kita lebih termotivasi untuk
mencari informasi yang lebih luas/mendapatkan pesan media yang lebih beragam.
·
Punya
cara berpikir yang lebih independen. Seseorang yang memiliki
literasi media yang baik akan mengerti bahwa media dapat mempengaruhi cara
berpikir. Dengan pemahaman akan literasi media, seseorang tahu bagaimana cara
media menanamkan cara berpikir pada seseorang. Nah dengan pemahaman tersebut,
seseorang dapat menjadi lebih hati-hati terhadap pesan yang disampaikan media.
·
Memiliki
kontrol yang lebih terhadap efek media. Pemahaman berbagai
perspektif dalam literasi media menjadikan seseorang tahu akan tujuan-tujuan
media. Dengan kemampuan ini, seseorang dapat memanfaatkan pesan-pesan dari
media secara lebih baik untuk mencapai tujuan pribadi orang tersebut.
2.
Literasi Media Untuk Anak-Anak
2.1 Mengapa Anak-Anak Mendapatkan
Perhatian Khusus dalam Literasi Media?
Anak-anak merupakan segmen yang perlu mendapatkan
perhatian khusus dalam literasi media. Hal ini disebabkan karena dua hal
berikut.
·
Tingkat
kedewasaan. Tingkat kedewasaan anak-anak bisa dibilang cukup
rendah. Tingkat kedewasaan ini dipengaruhi oleh perkembangan kognitif, perkembangan
emosi, perkembangan moral.
·
Pengalaman.
Anak-anak memiliki pengalaman yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan orang
dewasa. Oleh karena terbatasnya pengalaman anak-anak, maka anak-anak perlu
diberi perhatian khusus dalam hal mengonsumsi media dan mencerna pesan yang
disampaikan oleh media.
2.2 Perlindungan dari Regulator
Karena anak-anak merupakan audiens yang spesial, maka
regulator pun membuat aturan-aturan terkait perlindungan anak-anak dari pesan
media.
Di tahun 1975, industri televisi di Amerika mencoba
membuat regulasi mandiri yang disebut sebagai “jam keluarga”. Yang mana melalui
aturan ini tayangan-tayangan/konten yang menekankan unsur kekerasan dan seksual
akan ditayangkan di larut malam. Jam keluarga khusus digunakan untuk
menayangkan konten-konten yang tepat/sesuai bagi keluarga. Namun beberapa
stasiun televisi mengajukan gugatan atas hal tersebut. Mereka melandaskan pada
prinsip kebebasan berbicara.
Di Amerika Serikat, FCC (Federal Communications
Commission) memiliki aturan yang lebih agresif. Contohnya pada periode 1970-an,
FCC menjatuhkan denda yang menyiarkan drama komedi George Carlin yang berjudul
“Filthy Words”.
Selain itu, perlindungan terhadap anak-anak juga
berupa perlindungan terkait praktik periklanan. Karena keterbatasan pemahaman
mereka, anak-anak rentan untuk terkena dampak negatif dari periklanan. Oleh
karena itu, ada regulasi yang mengatur periklanan terhadap anak-anak. Contoh
regulasi perlindungan ini misalnya pembatasan durasi iklan dan pemisahan yang
jelas antara konten program dan iklan.
Durasi iklan yang diperbolehkan adalah 12 menit untuk
acara dengan durasi 1 jam. Sedangkan di saat akhir pekan, durasi iklan yang
diperbolehkan adalah 10,5 menit untuk acara dengan durasi 1 jam. Sedangkan
untuk pembedaan program dan iklan, aturannya adalah FCC mewajibkan adanya bumpers yang memisahkan program acara
dan iklan. Harus ada jeda 5 detik yang memisahkan program dan iklan. Contoh
bumper ini misalnya dengan menampilkan kata-kata “and now a word from our sponsor.”
Adapun beberapa regulasi terkait penyiaran dan
pemberitaan yang ada di Indonesia antara lain : Undang-Undang nomor 40 tahun
1999 tentang pers dan Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran.
Kedua undang-undang ini menjadi acuan pelaku media di Indonesia.
Dalam hal membatasi pengaruh buruk dari iklan terhadap
audiens, di Indonesia ada yang namanya Etika Pariwara Indonesia. Etika Pariwara
Indonesia dikeluarkan oleh Dewan Periklanan Indonesia. Etika Pariwara Indonesia
dapat diunduh di alamat berikut : http://p3i-pusat.com/wp-content/uploads/2015/11/EPI-2014-Final-SK-Perubahan.pdf.
Etika pariawara ini dapat menjadi acuan bagi mereka yang membuat iklan untuk
disiarkan di media penyiaran.
2.3 Perhatian Khusus dari Orang Tua
Beberapa contoh perhatian khusus dari orang tua
terkait literasi media terhadap anak-anak antara lain sebagai berikut.
·
Pembatasan dalam menonton televisi. Contoh
pendekatan ini misalnya dengan membatasi berapa banyak, kapan, dan tipe konten
yang boleh ditonton oleh anak-anak.
·
Menemani menonton. Dengan cara ini, orang
tua menemani anaknya ketika menonton televisi. Dengan cara ini, tidak harus ada
percakapan antara orang tua dan anak.
·
Mediasi aktif. Dalam mediasi aktif, orang
tua/orang dewasa membangun percakapan dengan anak terkait televisi yang
ditonton. Ada empat kategori mediasi aktif, yakni nonmediator (orang tua yang
jarang membicarakan televisi dengan anaknya), optimistis (orang tua yang
diskusinya lebih sering tentang menekankan konten televisi), sinis (mereka yang
diskusinya lebih menekankan pada pertentangan terhadap konten televisi), dan
kaum selektif (mereka yang mendiskusikan sisi positif ataupun negatif dari
konten media). Menurut kami, kondisi paling ideal ketika orang tua menjadi kaum
yang selektif dan menjelaskan hal tersebut pada anak-anaknya.
·
Menggunakan program ratings. Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan program ratings. Dengan melihat rating
program, orang tua/orang dewasa dapat menentukan apakah acara tersebut cocok
atau tidak untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Dikutip dari Tvguidelines.org,
jenis-jenis rating program antara lain seperti pada gambar berikut.
Sedangkan untuk di Indonesia, rating program yang
tersedia antara lain A/SU (untuk anak-anak dan semua umur), BO/A (untuk
anak-anak, tetapi memerlukan bimbingan orang tua, biasanya ditujukan untuk
mereka yang berusia 4 – 7 tahun), BO (acara memerlukan bimbingan orang tua,
batasan usianya antara 5 – 12 tahun), R (acara yang ditujukan untuk remaja,
batasan usia 13 – 16 tahun), dan D (acara yang ditujukan untuk orang dewasa,
usianya di atas 17 tahun).
Terkait dengan adanya media baru, maka orang tua juga
perlu memantau konten seperti apa yang dikonsumsi oleh anak-anaknya di media
baru. Untuk memudahkan pemantauan, orang tua dapat memanfaatkan aplikasi khusus
parenting. Salah satu contohnya
adalah aplikasi Kakatu. Kakatu adalah aplikasi yang membantu orang tua memantau
aplikasi dan konten apa yang digunakan oleh anak-anak mereka saat sedang
online.
2.4 Memahami Tahapan Media
Dalam rangka meningkatkan kemampuan literasi media,
kita juga perlu memahami tahapan perkembangan sebuah media. Untuk itu, berikut
tahapan dalam perkembangan media. Dengan pemahaman ini kita akan tahu bagaimana
media sebuah bekerja dan bagaimana media memproduksi konten.
·
Tahap
inovasi (tahap kelahiran media). Merupakan tahap awal
ketika sebuah media dilahirkan. Untuk memunculkan sebuah media, dibutuhkan
teknologi. Seperti contohnya, di awal tahun 1900-an, setelah kamera gambar
bergerak dan proyektor diciptakan, beberapa wirausahawan mengubah ruang
keluarga mereka menjadi teater dan memulai memungut biaya kepada orang-orang
yang ingin menonton film. Wirausahawan tersebut melihat bahwa ada pasar untuk
hiburan macam ini, maka mereka memutuskan untuk meningkatkan pasar dengan
menyewa etalase-etalase toko untuk mengakomodasi penonton yang lebih banyak,
lalu mereka menyewa teater konser dan menjadikannya teater untuk menonton film.
Hal ini kemudian memicu wirausahawan lainnya untuk membangun perusahaan yang
memproduksi film. Contoh lain, ketika tren .com
mulai melanda di periode 1990-an, maka di masa ini mulai bermunculan
media-media daring, termasuk di Indonesia. Contohnya Kompas.com yang mulai
muncul pada tahun 1998. Selain itu, Tempo Interaktif juga menjadi pelopor media
online pertama di Indonesia.
·
Tahap
penetrasi (pertumbuhan). Merupakan tahap ketika media mulai
menarik minat orang-orang. Hal ini dinamakan penetrasi, tahap penetrasi pengembangan media ditandai
dengan penerimaan masyarakat yang semakin berkembang. Reaksi publik untuk media
baru ini didasarkan pada kemampuan media untuk memenuhi kebutuhan yang ada atau
untuk menciptakan kebutuhan baru.
·
Tahap
puncak. Tahap ketika media berhasil mencapai puncak, di mana
media berhasil mendapatkan perhatian terbanyak. Hal ini berimbas pada
pendapatan media yang mencapai titik tertinggi. Contohnya siaran televisi
mencapai puncaknya pada tahun 1960 setelah merebut banyak penonton dari film
dan radio. Siaran televisi juga telah mengambil pengiklan nasional dari majalah
dan radio. Sampai pertengahan hingga akhir 1990-an siaran televisi tetap di
puncak sebagai media massa yang paling dominan. Hal ini dikarenakan orang-orang
menghabiskan lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi. Untuk di
Indonesia, sampai saat ini pun televisi merupakan media yang paling banyak
ditonton. Jika dilihat dari persentase pendapatan, maka televisi merupakan
media yang paling menguasai kue periklanan di Indonesia. Berdasarkan data yang
dikutip dari DailySocial.id, iklan televisi menguasai sampai 60 % pangsa pasar
periklanan di Indonesia.
·
Tahap
penurunan. Setelah melalui tahap puncak, media akan memasuki
tahap penurunan. Di tahap ini jumlah penonton media tersebut mulai berkurang.
Hal ini akan berimbas pada menurunnya pendapatan. Penurunan penonton bisa
terjadi karena audiens punya media alternatif lain yang lebih baik. Contohnya
jika dulu pilihan media hanya berupa media mainstream
(seperti televisi, radio, dan cetak), maka kini sudah hadir berbagai media
baru (misalkan media online). Media baru ini menawarkan fitur yang lebih
menarik dan unggul jika dibanding media arus utama. Alhasil audiens pun banyak
yang beralih ke media baru ini. Contoh media yang sudah memasuki fase penurunan
adalah media cetak.
·
Tahap
adaptasi. Merupakan tahap ketika sebuah media mulai
beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Media dapat melakukan adaptasi
dengan cara melakukan reposisi (memperbarui positioning
mereka) di pasar. Contohnya setelah radio kehilangan pendengar akibat
pendengar yang beralih menjadi penonton televisi, radio tidak lagi berkompetisi
langsung dengan televisi. Alhasil radio menghadirkan konten-konten yang yang
berbeda dengan televisi, contohnya radio lebih menonjolkan konten-konten musik.
Selain itu radio juga dibuat lebih tersegmentasi untuk orang-orang yang
bergerak. Dalam arti ketika seseorang dalam perjalanan (misal di mobil), tentu
mereka agak sulit untuk menonton televisi. Oleh karena itu, radio ditujukan
untuk orang-orang seperti ini (orang di mobil, orang yang sedang bekerja, dan
lain sebagainya).
3.
Bagaimana Cara Meningkatkan Kemampuan Literasi Media?
Ada 12 pendekatan yang diberikan oleh James Potter
terkait peningkatan kemampuan literasi media. 12 pendekatan tersebut antara
lain sebagai berikut.
·
Memperkuat
nilai-nilai personal Anda. James Potter menyarankan agar kita
mencari tahu apa yang menjadi tujuan kita. Selanjutnya kita akan menggunakan
media sesuai dengan tujuan yang ingin kita capai. Penguatan nilai-nilai
personal dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya : membaca buku, bermain
video games yang tepat, menonton
acara televisi yang tepat.
·
Berfokus
pada kegunaan sebagai tujuan. Setiap kali mengonsumsi
media, kita harus tahu apakah itu akan bermanfaat atau tidak. Dalam arti, saat
kita terekspos oleh media, pastikan kita benar-benar membutuhkan hal tersebut.
Caranya adalah dengan memastikan bahwa media yang kita konsumsi benar-benar
sesuai dengan tujuan kita.
·
Kembangkan
kesadaran yang tepat dari eksposur Anda. Caranya adalah dengan
membuat catatan dan mengevaluasi perilaku kita dalam mengonsumsi media. Kita
dapat melakukan evaluasi ini secara periodik (misal setahun dua kali). Saat
melakukan evaluasi, kita bisa melihat apakah media yang kita konsumsi hanya
itu-itu saja atau justru sudah menjadi lebih luas.
·
Miliki
pemahaman yang luas tentang pengetahuan yang berguna.
Kita harus tahu apakah konten media yang kita konsumsi berguna atau tidak.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan literasi media, pastikan kita berfokus pada
pengetahuan-pengetahuan yang berguna.
·
Pikirkan
tentang program yang realitas atau fantasi secara berkelanjutan. Program televisi
semakin beragam, baik itu program yang nyata (reality) atau sekadar program
fantasi. Contoh program fantasi misalnya sinetron (sebab sinetron biasanya
tidak berdasarkan pada kejadian nyata). Dengan memahami mana yang nyata dan
mana yang fantasi, kita membatasi diri kita agar tidak terlarut secara
berlebihan ketika mengonsumsi media.
·
Periksa
petunjuk mental Anda. James Potter menyarankan agar kita
secara berkala memeriksa mental kita dengan melihat apakah perilaku kita sudah
sesuai/sudah seharusnya atau belum. Kita harus menyadari apakah kita
berperilaku sebagaimana kita seharusnya atau justru karena kita sudah diprogram
oleh media?
·
Periksa
opini Anda. Kita juga perlu memeriksa apakah opini kita
merupakan opini yang beralasan dengan baik (well
reasoned). Untuk itu, kita perlu mengumpulkan informasi yang valid sebelum
beropini.
·
Ubah
perilaku. James Potter mengajak kita untuk mengubah perilaku
jika kita merasa ada sesuatu yang tidak pas dengan masyarakat kita. Misalkan
jika kita merasa masyarakat terlalu materialistis, maka kita dapat mengubah
perilaku dengan tidak bersikap materialistis (misal : tidak membeli
barang-barang yang tidak diperlukan). Dalam konteks literasi media, kami mengartikan
hal ini agar masyarakat bertindak (melakukan sesuatu). Contoh, jika kita merasa
bahwa banyak tayangan televisi tidak mendidik, maka caranya kita dapat berhenti
menonton tayangan tersebut. Dengan demikian, setidaknya kita telah memberi
dampak bagi masyarakat.
·
Buat
perbandingan channel. Caranya adalah dengan kita mengonsumsi
media dari berbagai channel. Dengan adanya keterampilan dalam bermedia di
berbagai channel, kita dapat beradaptasi dan lebih ahli dalam literasi media
terhadap media-media tersebut. Singkatnya, kita akan semakin melek media jika
kita menggunakan berbagai channel media sekaligus (misal : menggunakan jejaring
sosial, membaca koran, majalah, dan mengonsumsi media-media lain).
·
Tingkatkan
kemampuan mendesain pesan. Di era media baru seperti saat ini,
kita dapat menjadi produsen konten. Untuk itu, kita juga perlu meningkatkan
kemampuan dalam hal mendesain pesan. Misalkan kita meningkatkan kemampuan dalam
mendesain Facebook page yang baik dan
menarik. Atau kita meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi lewat channel
lain yang kita miliki (misal : blog, akun media sosial lain, dsb).
·
Jangan
memberikan hal-hal privasi. Ketika kita bermedia, jangan
memberikan/menginformasikan hal-hal yang bersifat privat. Sebab ketika
informasi sudah disebarkan untuk publik, kita tidak lagi memiliki kendali atas
informasi-informasi yang menyebar.
·
Ambil
tanggung jawab pribadi. Artinya kita perlu mengambil
tanggung jawab pribadi terkait perilaku kita dalam bermedia. Kita harus tahu
mana yang baik dan buruk, mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan diri kita.
Selanjutnya kita tinggal mengonsumsi media sesuai dengan hal-hal yang baik
menurut kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar