Pornografi di dalam
masyarakat sering dijadikan hal tabu. Alasan utama untuk menolak pornografi adalah
perlindungan terhadap orang muda atau anak-anak, mencegah perendahan martabat
perempuan, dan mencegah sifat subvertifnya yang cenderung menghancurkan tatanan
nilai seksual keluarga dan masyarakat. Pornografi dikhawatirkan akan mengganggu
anak-anak atau remaja sehingga mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam
perilaku yang mirip dengan bila mereka mengalami pelecehan seksual. Remaja
cenderung memakai pornografi sebagai pegangan perilaku seksual. Pornografi juga
membangkitkan suasana kekerasan terhadap perempuan.
Pornografi dianggap
akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang
membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Jika pornografi
ditayangkan secara terus menerus atau tidak dibendung dengan baik, maka
cuplikan atau gambaran pornografi akan ditiru oleh pembaca atau pemirsa atau
pendengar dan memiliki potensi tindak pemerkosaan.
Seringkali dalam
pornografi wanita selalu dijadikan objek kekerasan dan pelecehan. Koersi dalam
bentuk peraturan cara berpakaian, tampil, dan seni justru cenderung membidik
untuk membatasi perempuan. Hal ini menyebabkan lingkungan ekspresi wanita
dibatasi. Permasalahan pornografi menjadi pelik karena:
- Berhadapan dengan masalah kebebasan berekspresi, terutama bila mengandung nilai seni.
- Bagaimana menghadapi hak akan informasi.
- Bagaimana menjamin hak untuk memenuhi pilihan pribadi, bila pilihan ini tidak melukai orang lain, bahkan bila nilai seni dan pendidikannya dianggap meragukan.
Untuk menghadapi
masalah ini, yang harus dilakukan adalah:
- Mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni.
- Mempertimbangkan konsepsi moral.
- Perlu diperhitungkan reaksi emosional yang ditimbulkan.
- Perlu dipertimbangkan pandangan dari berbagai teori psikologi (catharsis, imitasi, dan pembiasaan).
Dampak langsung dari pornografi adalah depersonalisasi tubuh, tiadanya
tuntutan kebenaran, tirani terhadap liyan, dan estetika buruk-muka.
Erotisme menyangkal kemahakuasaan, dalam arti “semua harus
kelihatan”, menjadikan keterbatasan kemampuan gambar menjadi celah keberadaan
erotisme. Tekanan erotisme pada imajinasi dan sugesti bukan merupakan prinsip,
namun bagian dari konsekuensi.
Dalam erotisme, yang lebih tampak adalah pengungkapan hasrat daripada
penonjolan tubuh yang telanjang. Dalam erotisme, ada gambar berkisah pada waktu
dan terbuka terhadap kebaruan serta yang tak teramalkan. Semua erotisme selalu
beresiko menjadi pornografi.
Negara
dianggap berhak menetapkan kriminal tindak prostitusi, pornografi, aborsi,
selingkuh, kumpul kebo, atau perilaku seksual tertentu. Dalam negara demokrasi,
sikap kritis masyarakat,kesadaran kebebasan individu, kebebasan berekspresi
atau hak akan informasi menuntut peninjauan kembali wilayah kompetensi negara
dalam hal moral. Setidaknya orang berharap bahwa penetapan hukum tidak hanya
menjadi proses pengaturan sepihak oleh negara.
Dalam
media juga terjadi kekerasan. Ada tiga jenis kekerasan-estetik yang digunakan
media sebagai seni mencari pembenarannya menurutu Nel (2003:42):
a. Horor-regresif: menunjuk pada selera publik atau seniman akan kekejaman, lebih-lebih
yang menyeramkan atau tidak waras karena melampaui reaksi akal sehat. Misalnya
kasus Sumanto dan film Vampire.
b. Horor-transgresif: menampilkan kekrasan dalam konfigurasi seni yang baru
dengan sentuhan menonjol pada apa yang belum dieksplorasi, yang terlarang, dan
yang dikutuk atau yang tabu. Contoh: film Hanibal
dan foto tawanan perang Irak yang disiksa dan dilecehkan secara seksual sembari
digantung terbalik.
c.
Gambar –simbol: melibatkan penonton untuk
melampaui tatanan riil yang kontekstual. Contohnya adalah Che Guavara dan Pieta.
Segala bentuk kekerasan di televisi kebanyakn terselubung, baik secara
fiksi maupun nyata. Dengan adanya kekerasan ini diharapkan ada kerjasama dari
beberapa pihak. Pihak media harus menyaring konten yang berpotensi kekerasan.
Jika memang terpkasa harus ditayangkan, alangkah baiknya bila diberikan tanda
untuk audiens. Misal di beberapa film diberi tanda SU (Semua Umur) dan D
(Dewasa). Audiens juga harus bijak dan mau menaati aturan yang diberikan pihak
media. Jika ada tontonan dengan rate
Dewasa, anak-anak di bawah 17 tahun tidak boleh menontonnya. Bila ada tulisan
BO (Bimbingan Orang Tua), ortu harus mendampingi anak-anaknya menonton konten
tersebut.
Dalam konten media pun seringkali ada sesuatu yang berbau propaganda.
Contoh terdekat adalah Amerika Serikat. Negara adikuasa ini banyak mengeluarkan
film-film bagus. Tapi bila kita cermati, banyak film buatan AS yang
mempropagandakan bahwa AS adalah sumber dari segala yang ada di bumi. AS adalah
negara adikuasa yang berhak ambil andil besar dalm keputusan internasional.
Selain itu, AS juga mempropagandakan budaya Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar