Senin, 30 Mei 2016

Manipulasi Media dan Kesadaran Palsu, Pornografi dan Kekerasan, serta Propaganda dalam Media/Pers


Pornografi di dalam masyarakat sering dijadikan hal tabu. Alasan utama untuk menolak pornografi adalah perlindungan terhadap orang muda atau anak-anak, mencegah perendahan martabat perempuan, dan mencegah sifat subvertifnya yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat. Pornografi dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak atau remaja sehingga mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku yang mirip dengan bila mereka mengalami pelecehan seksual. Remaja cenderung memakai pornografi sebagai pegangan perilaku seksual. Pornografi juga membangkitkan suasana kekerasan terhadap perempuan.
Pornografi dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Jika pornografi ditayangkan secara terus menerus atau tidak dibendung dengan baik, maka cuplikan atau gambaran pornografi akan ditiru oleh pembaca atau pemirsa atau pendengar dan memiliki potensi tindak pemerkosaan.
Seringkali dalam pornografi wanita selalu dijadikan objek kekerasan dan pelecehan. Koersi dalam bentuk peraturan cara berpakaian, tampil, dan seni justru cenderung membidik untuk membatasi perempuan. Hal ini menyebabkan lingkungan ekspresi wanita dibatasi. Permasalahan pornografi menjadi pelik karena:
  1. Berhadapan dengan masalah kebebasan berekspresi, terutama bila mengandung nilai seni.
  2. Bagaimana menghadapi hak akan informasi.
  3. Bagaimana menjamin hak untuk memenuhi pilihan pribadi, bila pilihan ini tidak melukai orang lain, bahkan bila nilai seni dan pendidikannya dianggap meragukan.
Untuk menghadapi masalah ini, yang harus dilakukan adalah:
  1. Mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni.
  2. Mempertimbangkan konsepsi moral.
  3. Perlu diperhitungkan reaksi emosional yang ditimbulkan.
  4. Perlu dipertimbangkan pandangan dari berbagai teori psikologi (catharsis, imitasi, dan pembiasaan).
Dampak langsung dari pornografi adalah depersonalisasi tubuh, tiadanya tuntutan kebenaran, tirani terhadap liyan, dan estetika buruk-muka.
Erotisme menyangkal kemahakuasaan, dalam arti “semua harus kelihatan”, menjadikan keterbatasan kemampuan gambar menjadi celah keberadaan erotisme. Tekanan erotisme pada imajinasi dan sugesti bukan merupakan prinsip, namun bagian dari konsekuensi.
Dalam erotisme, yang lebih tampak adalah pengungkapan hasrat daripada penonjolan tubuh yang telanjang. Dalam erotisme, ada gambar berkisah pada waktu dan terbuka terhadap kebaruan serta yang tak teramalkan. Semua erotisme selalu beresiko menjadi pornografi.
Negara dianggap berhak menetapkan kriminal tindak prostitusi, pornografi, aborsi, selingkuh, kumpul kebo, atau perilaku seksual tertentu. Dalam negara demokrasi, sikap kritis masyarakat,kesadaran kebebasan individu, kebebasan berekspresi atau hak akan informasi menuntut peninjauan kembali wilayah kompetensi negara dalam hal moral. Setidaknya orang berharap bahwa penetapan hukum tidak hanya menjadi proses pengaturan sepihak oleh negara.
Dalam media juga terjadi kekerasan. Ada tiga jenis kekerasan-estetik yang digunakan media sebagai seni mencari pembenarannya menurutu Nel (2003:42):
a.      Horor-regresif: menunjuk pada selera publik atau seniman akan kekejaman, lebih-lebih yang menyeramkan atau tidak waras karena melampaui reaksi akal sehat. Misalnya kasus Sumanto dan film Vampire.
b.      Horor-transgresif: menampilkan kekrasan dalam konfigurasi seni yang baru dengan sentuhan menonjol pada apa yang belum dieksplorasi, yang terlarang, dan yang dikutuk atau yang tabu. Contoh: film Hanibal dan foto tawanan perang Irak yang disiksa dan dilecehkan secara seksual sembari digantung terbalik.
c.       Gambar –simbol: melibatkan penonton untuk melampaui tatanan riil yang kontekstual. Contohnya adalah Che Guavara dan Pieta.
Segala bentuk kekerasan di televisi kebanyakn terselubung, baik secara fiksi maupun nyata. Dengan adanya kekerasan ini diharapkan ada kerjasama dari beberapa pihak. Pihak media harus menyaring konten yang berpotensi kekerasan. Jika memang terpkasa harus ditayangkan, alangkah baiknya bila diberikan tanda untuk audiens. Misal di beberapa film diberi tanda SU (Semua Umur) dan D (Dewasa). Audiens juga harus bijak dan mau menaati aturan yang diberikan pihak media. Jika ada tontonan dengan rate Dewasa, anak-anak di bawah 17 tahun tidak boleh menontonnya. Bila ada tulisan BO (Bimbingan Orang Tua), ortu harus mendampingi anak-anaknya menonton konten tersebut.
Dalam konten media pun seringkali ada sesuatu yang berbau propaganda. Contoh terdekat adalah Amerika Serikat. Negara adikuasa ini banyak mengeluarkan film-film bagus. Tapi bila kita cermati, banyak film buatan AS yang mempropagandakan bahwa AS adalah sumber dari segala yang ada di bumi. AS adalah negara adikuasa yang berhak ambil andil besar dalm keputusan internasional. Selain itu, AS juga mempropagandakan budaya Barat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar