Senin, 30 Mei 2016

Kebebasan dan Tanggung Jawab dan Keterkaitannya dengan etika Komunikasi dalam Perilaku Media/ Pers


1.      Pengalaman Tentang Kebebasan
Tidak ada manusia yang tidak tahu apa itu kebebasan, karena kebebasan merupakan kenyataan yang akrab dengan kehidupan kita dan merupakan sesuatu yang pasti terjadi. Namun kebebasan itu sendiri menjadi kian membingungkan ketika ada orang bertanya tentang apa arti kebebasan itu sendiri? Kita dapat merasakan dan mengalaminya sendiri namun sulit untuk mengungkapkannya bahkan bingung dan tidak bisa menjelaskannya. Sama seperti yang diungkapkan oleh Augustinus (354-430) mengenai waktu, ia sudah tahu apa itu waktu. Membingungkan ketika tidak orang tanya, tapi saya tahu tapi jika sudah ditanya mau menjelaskannya kepada orang lain, saya tidak tahu..

2.      Kebebasan Sosial Politik
Subjek dalam kebebasan politik merupakan suatu bangsa atau rakyat. Di sejarah modern terdapat dua bentuk kebebasan yaitu, kebebasan politik rakyat dengan membatasi kekuasaan absolut para raja dan kemerdekaan yang dicapai oleh negara-negara muda terhadap negara-negara penjajah.
a.       Kebebasan rakyat versus kekuasaan absolut
Pada zaman modern ini Inggris dan Perancis menjadi perintis demokrasi berdasarkan kebebasan rakyat. Perkembangan dari monarki absolut ke demokrasi modern bukan saja merupakan suatu kenyataan historis melainkan keharusan etis. Kebebasan rakyat tidak bisa dirampas oleh siapapun, serta kedaulatan harus berada di tangan rakyat dan tidak boleh berada pada instansi lain.
b.      Kemerdekaan versus kolonialisme
Banyak negara yang sudah bebas dari penjajahan dan memproklamasikan kemerdekaannya sendiri. Akibatnya pada zaman ini muncul pandangan bahwa penjajahan tidak pantas dilakukan dan tidak pernah boleh terjadi lagi. Seperti yang tercantum pada kalimat pertama dari Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Serta penyataan pada tahun 1960 negara-negara anggota dari PBB mendeklarasikan : Hak semua negara dan bangsa yang dijajah untuk menentukan nasibnya sendiri.

3.      Anatomi Kebebasan Individual
Berbeda dengan kebebasan dalam arti sosial politik, bagi etika umum hal yang lebih penting adalah kebebasan individual. Berikut beberapa arti kebebasan yang dapat kita bedakan.
a.       Kesewenang-wenangan
Sebenarnya kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan tidak layak disebut sebagai “kebebasan”, karena kata “bebas” dalam arti ini sering disalahgunakan. Dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kebebasan sejati mengandaikan keterikatan oleh norma-norma. Bertingkah laku manusia tidak secara otomatis ditentukan oleh insting tapi ia sendiri harus mengatur kecenderungan alamiahnya, maka itu dibutuhkan norma. Norma disini bukan dimaksudkan untuk menghambat suatu kebebasan melainkan untuk mengatur kelancaran kebebasan itu sendiri.
b.      Kebebasan fisik
Bebas disini lebih kepada tiada paksaan atau rintangan dari luar, yang mengacu pada kebebasan fisik. Namun orang yang bebas fisiknya belum tentu mengalami kebebasan secara mendalam, serta kebalikannya. Walau kebebasan fisik saja bukanlah kebebasan yang sesungguhnya namun kebebasan fisik ini perlu dinilai positif. Jika dalam arti kesewenang-wenangan harus ditolak sebagai penyalahgunaan kata “kebebasan”, maka kebebasan fisik bisa dihargai tanpa ragu-ragu.
c.       Kebebasan yuridis
Kebebasan ini lebih melihat pada keterkaitannya terhadap hukum dan dijamin oleh hukum. Namun dalam menjalankan kebebasan yuridis negara berdasar kepada dua hukum yaitu, hukum kodrat dan hukum positif.
·         Dengan kebebasan yang didasarkan pada hukum kodrat, manusia diperbolehkan bertindak bebas sesuai dengan kodratnya.
·         Dengan kebebasan yang didasarkan pada hukum positif, negara menciptakan suatu kebebasan yang merupakan hasil dari suatu perundang-undangan. Jika tidak ada perumusan undang-undang maka kebebasan itu tidak akan ada, inilah perbedaan diantara hukum kodrat dan positif.
d.      Kebebasan psikologis
Kebebasan yang muncul dari kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Kemampuan ini berkaitan dengan kehendak dan ciri khasnya. Maka kebebasan psikologis sering dikenal juga sebagai “kehendak bebas”. Kebebasan ini juga berdasr pada keadaan bahwa manusia adalah makhluk berasio, maka ia selalu berpikir sebelum bertindak. Ketika bertindak bebas, ia sadar dengan apa yang ia perbuat, apa sebab akibatnya.
e.       Kebebasan moral
Berkaitan juga dengan kebebasan psikologis, namun tidak bisa disamakan. Keduanya memang saling berkaitan erat, jika tidak ada kebebasan psikologis maka tidak mungkin ada kebebasan moral. Namun adanya kebebasan psikolgis tidak menjamin adanya kebebasan moral.
f. Kebebasan Eksistensial
Kebebasan yang mencakup seluruh aspek eksistensi manusia, yang memandang secara keseluruhan dan menyangkut pribadi manusia secara utuh. Ini merupakan bentuk kebebasan tertinggi. Kebebasan ini tidak akan ada tanpa dukungan dari kebebasan lainnya, khususnya kehendak bebas.
BEBERAPA MASALAH MENGENAI KEBEBASAN
1.      Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif
a.       Yang bebas adalah orang yang terlepas dari paksaan fisik.
b.      Yang bebas juga adalah orang yang tidak dirampas hak-haknya.
c.       Yang bebas juga adalah orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis.
d.      Yang bebas pula adalah orang yang terlepas dari paksaan moral.
e.       Akhirnya, yang bebas adalah orang yang terlepas dari inotentitas dan keterasingan. Kehidupan orang itu tidak dijalankan oleh orang atau instansi lain.
Pada umumnya kebebasan cenderung lebih mudah untuk diartikan dalam sisi negatif dibanding dengan positif.

2.      Batas – Batas Kebebasan
Seorang filsuf dan sastrawan Prancis, Jean-Paul Sattre(1905-1980) menganut aliran eksistensialis yang paling ekstrem pada abad 20 tersebut, ia mengungkapkan “kita dihukum untuk hidup bebas” atau “kita ditakdirkan untuk bertindak bebas”. Namun dengan demikian ia memberikan argumentasinya dengan adanya batasan-batasan dalam suatu kebebasan.
a.       Faktor-faktor dari dalam
Faktor ini bisa berasal dari fisik maupun psikis.
b.      Lingkungan
Kebebasan dibatasi juga oleh lingkungan sekitar, baik alamiah maupun sosial. Baik oleh letak geografis lingkungannya maupun keadaan lingkungan sosial seperti sosial ekonominya.
c.       Kebebasan orang lain
Kebebasan saya dibatasi oleh kebebasan orang lain, membatasi diri sendiri untuk mengakui kebebasan orang lain sebagai rasa saling menghormati hak masing-masing.
d.      Generasi-generasi mendatang
Adanya kesadaran akan generasi mendatang sesudah kita membuat adanya batasan kebebasan itu sendiri.
3.      Kebebasan dan Determinisme
Merupakan suatu sifat yang menandai alam. Kejadian di alam yang berkaitan antara satu sama lain menurut keterikatan yang tetap, sehingga kejadian satu pasti mengakibatkan kejadian lain. Ada empat tahap kemungkinan untuk mengadakan ramalan dalam konteks tingkah laku manusia yang melukiskan dengan baik hubungan antara determinisme dan kebebasan menurut E.F.Schumacher.
a.       Dalam alam di luar manusia terdapat kemungkinan penuh untuk melakukan ramalan. Contoh meramal kondisi cuaca besok dan di daerah tertentu.
b.      Ada kemungkinan yang lebih besar untuk meramal pola tingkah laku sekelompok manusia dalam menjalankan rutinitasnya. Contoh: orang mengikuti motif di masyarakat dengan mencari harga murah saat berbelanja
c.       Kemungkinan hampir sepenuhnya untuk meramal pada perbuatan manusia yang dijalankan menurut suatu rencana. Contoh: Pelajar dan guru datang tepat waktu, selalu pukul tujuh pagi.
d.      Keputusan yang diambil oleh manusia perorangan sesuai dengan prinsipnya dan tidak bisa diramalkan, terutama kalu keputusan tentang hal penting. Contoh : politikus mencalonkan diri sebagai Presiden.
TANGGUNG JAWAB
1.      Tanggung jawab dan kebebasan
Tanggung jawab ini bisa secara langsung dan tidak langsung.Serta bisa juga dibedakan menjadi dua, yaitu retrospektif dan prospektif. Tanggung jawab retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dengan segala konsekuensinya. Sedangkan prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang.
2.      Tingkat-tingkat tanggung jawab
Seperti yang kita ketahui bahwa tanpa adanya kebebasan maka tidak akan ada yang namanya tanggung jawab. Berkaitan dengan itu setiap kebebasan memilki tingkatannya masing-masing, dengan demikian sama halnya dengan tanggung jawab. Ia juga memiliki tingkatan, dalam melakukan sesuatu ada orang yang paling bertanggung jawab, lebih, kurang maupun tidak perlu bertanggung jawab. Contoh pada kasus “pencurian”.
a.       Ali mencuri, tapi ia tidak tahu bahwa ia mencuri
b.      Budi mencuri, karena dia seorang kleptoman
c.       Cipluk mencuri, karena dalam hal iniia sangka boleh mencuri
d.      Darso mencuri, karena orang lain memaksa dia dengan mengancam nyawanya
e.       Eko mencuri, karena ia tidak bisa mengendalikan nafsunya.
Maka penjelasan dari kasus-kasus diatas, sebagai berikut :
a.       Ali mengambil tas milik orang lain, karena ia berpikir bahwa ituadalah tas miliknya. Tampak dari luar tas mereka mirip, ia melakukannya dengan tidak sengaja dan tidak sadar. Oleh karena itu ia tidak bebas dan bertanggung jawab dalam “pencurian” karena ia tidak tahu kalua ia mencuri. Namun apabila setelah ia mengetahui dan menyadari , tetapi tetap tidak melakukan upaya apapun untuk membetulkan kekeliruan tersebut. Maka perbuatan Ali menjadi bebas dan tidak bertanggung jawab. Semua tersebut tergantung dari respond an kesadaran moral orang tersebut.
b.      Budi mengambil tas milik orang lain karena ia menderita kelainan yaitu klepto, yang berarti ada suatu paksaan batin untuk mencuri. Pada keadaan ini tidak ada kebebasan psikologis, dan akibatnya ia tidak bertanggung jawab. Namun logikanya ia harus tetap bertanggung jawab walaupun dengan bobot tanggung jawab yang lebih ringan daripada orang “normal”
c.       Cipluk mengambil uang orang lain, ia membuatnya dengan bebas tapi ia melakukan tersebut dengan terpaksa karena ada dorongan kebutuhan ekonomi. Adanya kesempatan untuk mencuri digunakannya sebagai suatu anugrah untuk bertahan hidup. Pada kasus ini Cipluk melakukan hal tersebut secara bebas dan oleh karena itu ia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Namun jika dilihat dari sudut pandang etika perbuatan ini dapat dibenarkan.
d.      Darso mencuri uang karena disuruh oleh majikannya, jika ia tidak menuruti maka ia akan disiksa atau dibunuh. Karena rasa takut maka Darso terpaksa mencuri dan menuruti segala perintah majikannya. Pada kasus ini Darso melakukannya dengan tidak ada kebebasan moral dan karena itu ia tidak bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
e.       Eko mencuri uang karena rasa ingin memiliki TV, yang merupakan dorongan nafsu. Ia melakukannya dengan bertindak bebas dan karena itu ia bertanggung jawab. Namun pada kasus ini bisa saja kebebasannya dikurangi dan karena itu tanggung jawabnya akan berkurang juga. Contoh : Eko melakukan pencurian karena ia pecandu narkotika dan mencuri adalah cara paling cepat dan tepat. Ia melakukannya dengan tidak bebas oleh karena itu otomatis tanggung jawabnya juga berkurang.

3.      Masalah tanggung jawab kolektif
Tanggung jawab harus dibedakan dalam dua hal yaitu tanggung jawab kolektif dalam arti yang sebenarnya dan suatu rasa tanggung jawab kolektif yang memang ada bukan karena alasan-alasan etis melainkan psikologis (faktor afektif, solidaritas, sejarah dan tradisi). Dalam sudut moral tanggung jawab kolektif dipandang positif atau
netral?  Dan jawabannya tanggung jawab kolektif merupakan sesuatu yang baik dan terpuji.Contoh yang dilakukan oleh pemerintah Inggris saat mengganti rugi korban yang terkena dampak dari kerusuhan yang dilakukan oleh warga Inggris.


KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB MUATAN PESAN
1.      Kontradiksi Kebebasan dan Tanggung Jawab Muatan Pesan
Media massa memiliki aspek yang menjadikan dirinya sangat penting, sehingga menampilkan karya dan ide merupakan hal yang strategis. Pertama, media massa strategis dapat menjangkau dan menyebarkan berita tanpa ada batasan geografis, umur, jenis kelamin, demografis, dan psikografis. Kedua, media dapat melipat gandakan pemberitaan sesuai dengan jumlah eksemplar media tersebut. Ketiga, setiap media massa dapat mewacanakan ide dan karya sesuai dengan pandangannya masing – masing. Dalam media massa kebebasan sangat diperlukan, namun tanggung jawab juga diperlukan dalam setiap muatan pesan. Kebebasan tanpa tanggung jawab tidak akan berjalan dengan baik namun, kebebasan bukanlah lawan dari tanggung jawab dan begitu pun sebaliknya. Seseorang tidak akan kehilangan kebebasannya hanya karena ia menerapkan tanggung jawab.
2.      Pengertian Pesan
Pesan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pikiran khalayak. Oleh karena itu pesan yang bebas harus dibarengi dengan etika yang menjadi tanggung jawab pesan tersebut. Sayangnya, kebebasan tidak diimbangi dengan peraturan yang jelas. Munculnya media massa yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat mengakibatkan berbagai dampak.
3.      Isu Moral
Khalayak sangat sensitif terhadap isi pesan yang disampaikan oleh media, terutama pesan – pesan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Tiga isu pokok antara kebebasan dan tanggung jawab muatan pesan dalam media, yaitu (1) pornografi; (2) pesan yang mengguncang atau menimbulkan shock; dan (3) pesan yang menghina SARA.
4.      Mencari Batasan Moral
Dalam bukunya “Ethics in Media Communication” (2006), Louis Alvin Day menyarankan agar pertentangan atas implementasi kebebasan dna tanggung jawab sosial dapat diselesaikan melalui pencarian prinsip yang berfungsi sebagai batasan implementasi kebebasan. Kemudian ia mengemukakan empat prinsip, yaitu :
a.       Harm principle
Kebebasan individu dibatasi guna mencegah tindakan yang menyakiti orang lain.
b.      Paternalism principle
We are what we read / view”, kalimat ini menggambarkan bahwa media sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Pemikiran kita dibentuk oleh pesan yang kit baca. Oleh karena itu, muatan pesan media harus dikontrol dengan ketat agar hal – hal cabul atau yang merugikan masyarakat dapat dicegah.
c.       Moralism principle
Baik tidaknya moral ditentukan oleh masyarakat, bukan individu. Oleh karena itu kebaikan individu tidak berarti apabila masyarakat mengatakannya sebagai keburukan dan begitu pun sebaliknya.
d.      Offense principle
Penyampaian pesan tidak boleh menimbulkan rasa malu, kegelisahan, dan kebingungan bagi orang lain.
5.      Tanggung Jawab Sosial Media
William R. Rivers, Jay W. Jensen, dan Theodore Peterson dalam buku yang berjudul Media Massa dan Masyarakat Modern (2003) mengatakan bahwa, terdapat lima jenis tanggung jawab sosial yang dikehandaki masyarakat modern dari media, yaitu :
a.       Media harus menyajikan “pemberitaan yang benar, komprehensif, dan cerdas.” Media dituntut untuk selalu akurat dan tidak berbohong. Fakta dinyatakan sebagai fakta dan pendaoat dikemukakan murni sebagai pendapat.
b.      Media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar, dan kritik. Karenanya, media tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga forum penyelesaian masalah. Setiap masalah yang menjadi urusan publik dan berhubungan dengan publik disodorkan oleh media untuk kemudian dibahas bersama dan dicarikan jalan keluar. Sehingga media menjadi milik publik dan publik benar – benar merasakan manfaat kehadiran media.
c.       Media harus menyediakan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Syarat ini menuntut media untuk memahami setiap karakteristik dan juga kondisi seluruh kelompok masyarakat tanpa adanya stereotype. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik sosial di masyarakat terkait dengan isi berita yang disajikan. Oleh karena itu, media dituntut untuk mampu menafsir karakter suatu masyarakat dan mencoba memahaminya, seperti aspirasi, kelemahan, dan prasangka mereka. Dengan demikian, kelompok yang lain tahu gambaran tentang kelompok yang lain dan lalu mencoba untuk memahaminya. Dengan demikian, kelompok lain dapat memamahami karakter dan cara memperlakukan masing – masing kelompok.
d.      Media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai – nilai masyarakat dengan cara mengaitkan suatu peristiwa dan hakikat makna keberadaan masyarakat dalam hal – hal yang harus diraih. Hal ini dikarenakan media merupakan instrumen pendidik masyarakat sehingga media harus “memikul tanggung jawab pendidik dalam memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat”.
e.       Media harus membuka akses ke berbagai sumber informasi. Masyarakat industri modern membutuhkan lebih banyak informasi daripada masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan dengan tersebarnya informasi, pemerintah akan menjalankan tugasnya dengan mudah. Melalui informasi, media sebenarnya membantu pemerintah menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di masyarakat.

ETIKA KOMUNIKASI DAN TANGGUNG JAWAB MUATAN PESAN DAN BATAS KEBEBASAN MEDIA / PERS
1.      Dimensi Etika Komunikasi
Dimensi yang langsung berketaitan dengan perilaku aktor komunikasi, yaitu aksi komunikasi. perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi yaitu bagian dari aksi komunikasi (politics). Aspek etisnya ditunjukan kepada kehendak baik untuk bertanggung jawab. Kehendak baik diungkapan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan tersebut terdapat dalam deontology jurnalisme. Menurut B.Libois (1994: 6-7) ada tiga prinsip utama deontologi jurnalisme yaitu :
a.       Hormat dan perlindungan atas hak warga Negara akan informasi dan sarana-sarana yang perlu untuk di dapatkan.
b.      Hormat dan perlindungan atas hak individual lain dari warga Negara
c.       Ajakan untuk menjaga harmoni masyarakat.
Deontologi memiliki kelebihan yaitu dapat mempertajam makna tanggug jawab. Kekurangan deontologi jurnalisme ini adalah deontology jurnlisitik yang disertai dengan sanksi pada tinggkat profesi tidak cukup tangguh unguk menghadap determinisme ekonomi dan teknologi, masalah manipulasi, sonspirasi, dan mudah sekali para aktor komunikasi ini berkelit mengalihkan tanggung jawab atau kesalahan mereka pada system yang dituntut untuk mempertanggung jawabkan informasi yang manipulative, menyesatkan public atau yang berbentuk pembodohan.
Dimensi sarana ini memfokuskan pada system media dan prinsip dasar pengorganisasian praktek  penyelenggaraan informasi. Dimensi sarana meliputi ada dua yaitu:
a.       Semua bentuk regulasi oleh pengusaha public (tatanan hukum dan institusi ). Artinya asas kesamaan dan masalah siapa diuntungkan atau dirugikan oleh hukum / institusi tertentu menjadi wacana etika yang sangat relevan.
b.      Struktur sosial di rekayasa secara politik menganut prinsip timbal balik ( hubungan kekuasaan yang mempengaruhi produksi informasi) artinya menurut prinsip habermas masing masing pihak sepakat mengkoordinasikan tindakan mereka untuk tujuan masing-masing. (vol.I, 1981:117) 
Perbedaan antara deontology jurnalisme dan dimensi sarana adalah
a.       Deontology merupakan keseluruhan aturan dan prinsip yang mengatur pelaksaan pfrofesi, biasanya disusun oleh ikatan profesi. Jangkauannya terbatas pada masalah moral, meskipun disertai sanki, dan sebatas menegakkan disiplin profesi.
b.      Dimensi sarana merupakan norma etika komunikasi harus sudah menjadi hukum / undang-undang.
Dimensi tujuan menyangkut nilai demokrasi terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar. Dimensi tujuan ini terkait langsung dengan meta-etika yang tidak terlalu disibukan oleh isi etika profesi (deontology jurnalisme ).
2.      Penguatan Deontology dan Batas Kebebasan Pers
Menganalisis masalah ini secara lebih jernih, orang perlu memperhitungkan hak individual yang lain, masalah pelayanan public, hak public akan informasi yang benar, mekanisme pasar, pengguna jasa, dan peran Negara. Hal tersebut untuk menjamin profesionalisme para aktor komunikasi tidak cukup bila hanya mengandalkan nurani wartawan karena yang dihadapi adalah system. Atas alasan apa kebebasan berekspresi mendapatkan priorotas dibandingkan hak individual yang lain? Sering pengakuan informasi ini mudah disalah gunakan sebagai argument untuk mengorbankan privacy seseorang / mengabaikan praduga tak bersalah. Penyalahgunaan semacam itu mengundang penyalahgunaan yang mengundang pertanyaan sejuah mana batas kebebasan pers dan landasan filosofi yang bisa memberi penalaran yang dapat dipertanggung jawabkan. Tidak cukup etika komunikasi dan hanya mengandalkan pada nurani para wartawan dan pengawasan dari pihak organisasi profesi. Etika komunikasi perlu juga memperhintungkan mekanisme pasar, aspirasi warga Negara seta asosiasi pengguna. Peran Negara yang dianggap bisa menjadi penegah dalam persaingan yang keras, tidak bisa diabaikan. Negara juga perlu memperhatikan upaya perlindungan masyarakat terutama anak-anak yang rentan terhadap kemungkinan manupulasi, dan masalhnya Negara atau pasar cenderung dikuasai oleh berapa orang/kelompok.
3.      Regulasi Publik dan Prosedural
a.       Regulasi publik
Menurut J.Rawls (1972) regulasi publik sebagai bentuk pembatasan kebebasan dibenarkan sejauh demi terciptanya kebebasan yang lebih besar.  Pembatasan kebebasan harus dalam rangka memperkuat system keseluruhan kebebasan. Dalam kasus regulasi media pengorganisasian media harus mampu menjamin perluasan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
b.      Regulasi prosedural
Menurut Boris Libois dalam mengutip “fairness doctrine”, regulasi prosedural seperti stasiun televisi harus menyediakan sebagian waktu siaran untuk diskusi dan presentasi masalah publik dan mengalokasikan secara adil beragam kemungkinan pernyataan sesuai dengan pandangan masing-masing kelompok perwakilan dalam upaya mereka menghadapi masalah yang penting dan kontroversial. Regulasi prosedural ini mengandung kelemahan seperti dasar kriteria orang bisa mengelompokan bahwa suatu masalah adalah kontroversial, dan menentukan instansi regulasi akan efektif atau tidak kerja mereka.
4.      Determinasi Ekonomi dalam Etika Komunikasi
Ekonomi menjadi struktur pemaknaan yang menyatukan praktek-praktek wacana dewasa ini. Semua cenderung diukur dari perspektif ekonomi. Masyarakat yang mendefinisikan diri sepenuhnya dari segi ekonomi menjadikan kegunaan sebagai nilai tertinggi dan menomorduakan nilai lain. Perbaikan terus menerus dalam performance ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur kesibukan yang tidak stabil.
Persaingan sangat tajam. Terlebih lagi media elektronik dan komputer kemungkinan pertukaran informasi dalam waktu singkat. Teknik informasi ini menjamin mobilitas yang sangat tinggi. Sewaktu pemodal bisa pindah keperusahaan yang lebih menguntungkan (P.Bourdieu, 1998).
a.       Budaya Baru: Organisasi Luwes dan Iklim Persaingan.
Kontrak dengan pekerja berubah sesuai dengan perubahan aktivitas perusahaan. Maka, wartawan juga harus mengikuti kebutuhan proyek dan orientasi sesaat dari media di mana bekerja, yang kadang-kadang harus mengabaikan spesialisasinya untuk penyesuian diri. Organisasi semakin dituntut luwes. Organisasi harus memiliki keterampilan penyesuaian diri:
·         Proaktif berhadapan dengan situasi tak menentu
b.      Emosi Sosial dan Peran Serikat Pekerja
Perasaan ketidakadilan itu melanggengkan ketutupan dan perasaan tidak aman bagi tiap orang. Tumbuh perasaan tak berguna. Perasaan tak berguna ini dengan mudah bisa membuat menjadi kemarahan dan kebencian. Emosi sosial akan mudah disulut dengan dalih bahwa elite atau kelompok mapan dianggap telah mencuri hak mereka.
c.       Seringnya Reorganisasi Institusi
Hal tersebut adanya guncangan dan dorongan perubahan akan dilihat sebagai sinyal positif. Menjadi keharusan suatu perusahaan untuk membangun citra dengan selalu merekayasa diri. Rekayasa diri ini semakin dibutuhkan ketika evaluasi menunjukan tiadanya kinerja yang baik dalam pengorganisasian lembaga tersebut. Biasanya hal tersebut yang paling mudah dilakukan adalah mendatangkan konsultan. Tugas konsultan ini adalah membantu dalam mengorganisasi lembaga supaya kinerja menjadi maksimal. Konsultan, Legitimasi, dan Rasionalitas Sosial
Apa yang bisa didapat oleh penguasa dengan mendatangkan konsultan?
·         Bila perubahan ke arah yang lebih baik sungguh terjadi, maka jelas menjadi poin positif.
·         Menunjukkan bahwa kekuasaan berjalan, pesan bahwa penguasa menghendaki yang terbaik dan mempunyai determinasi tidak diragukan lagi. Pada sector usaha yang mencari keuntungan, mengirim tanda kepada investor, hal ini perlu untuk meyakinkan. Dalam bidang politik, upaya ini merupakan cara untuk menigirim sinyal agar tetap mendapat dukungan.
·         Penguasa bisa menggeser dari dirinya tanggung jawab untuk mengambil keputusan yang berat atau setidaknya berbagi tanggung jawab.
Kehadiran konsultan, terutama bila datang dari kalangan akademisi, akan memberi legitimasi terhadap kebijakan penguasa. Bentuk keterlibatan ini merupakan kepentingan di masyarakat yang ikut mewarnai rasionalistas sosial. Tekanan pada efisiensi cenderung mengandalkan pada rasionalitas ilmiah atau dalih ekonomi, namun kurang memperhatikan rasionalitas sosial.
Dilemma Regulasi Publik Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab
1.      Alasan regulasi publik: ketika Informasi Selalu Interpretasi
Kesulitan muncul ketika realitas tertentu ingin memaksakan diri menjadi opini mungkin secara halus dengan hegemoni atau secara kasar dengan penekanan pemihakan yang demonstratif. Peran wartawan disini untuk bisa memberi pemahaman tentang dunia yang bisa menghormati pluralitas sehingga mengantar pada pemahaman yang kritis dan mendidik. Meskipun sudah ada deontology profesi, belum menjamin dapat menghasilkan informasi yang benar sehingga masyarakat dirugikan, diarahkan pada penerimaan realitas tertentu saja atau mengalami proses pembodohan.
Dalam regulasi media dalam situasi tertentu sangat diperlukan yaitu:
·         Regulasi media membantu konsumen (pemirsa, pembaca, dan pendengar) mendapat informasi sesuai mendapat informasi sesuai dengan tuntutan kualitas tertentu. Media tidak bisa semena-mena memproduksi informasi tanpa standar kualitas yang memadai.
·         Regulasi publik menjaga aturan pasar agar lebih adil dengan melawan konsentrasi ekonomi pada media tertentu saja. Disisi lain mau menjawab kelangkaan program atau informasi yang mendidik atau bersifat kultural atau yang diperlukan publik, karena secara ekonomi tidak menguntungkan, tidak ada media yang tertarik untuk memproduksinya.
·         Menjamin pluralisme yang merupakan bagian integral dari demokrasi. Negara wajib melindungi dan mendorong ekspresi dari sudut pandang yang berbeda.

2.      Regulasi Publik dan Pluralisme: Memperkuat Deontologi Profesi
Regulasi untuk menjamin pluralisme memiliki beragam bentuk (B.Libois 1994, 88) yaitu:
·         Bisa dalam rangka menghindari dominasi suatu bidang terhadap yang lain dengan mengusulkan pengorganisasian distribusi atau alokasi program.  Jangan sampai suatu media hanya didominasikan oleh spektakuler informasi.
·         Menjamin pembedaan lingkup riil dengan kekhasan ekspresinya untuk tetap mendapatkan akses yang cukup representative ke ruang publik. Seperti mimbar agama tidak hanya diisi oleh kelompok agama dominan, tetapi dalam agama terdapat berbagai aliran.
·         Memungkinkan definisi politik menurut tatanan prioritas sehingga ruang publik menjadi tempat berlangsungnya penentuan hierarkisasi nilai oleh masyarakat. Regulasi dimaksudkan untuk menjamin perwasitan antara kebebasan dasar dari paling penting sampai fakultatif.
·         Memungkinkan untuk mempertahankan adanya pemisahan berbagai ranah dan menentukan bagian atau hak masing-masing.  Debat tentang pilihan prinsip regulasi dan modalitasnya tetap terjamin  
3.      Berbagai Macam Regulasi Publik
Regulasi bisa bersifat privat ketika pelaksanaannya ditentukan oleh nurani pelaku komunikasi atau diatur oleh deontologi profesi.  Sedangkan regulasi dianggap publik bila ada campur tangan Negara, warga masyarakat, atau komisi mandiri yang dibentuk Negara. Regulasi media oleh Negara bisa beragam. Dari sisi ekonomi, otoritas publik menetapkan prinsip hukum sehingga situasi ekonomi berkembang. Negara tidak ikut campur dalam tangan dalam hal isi, tetapi mengawasi dan menjaga agar terjadi keteraturan dalam pertukaran atau interaksi.
Regulasi publik adalah dengan membentuk komisi mandiri yang bukan bagian dari pemerintah. Komisi ini bisa dibentuk dari campuran berbagai kalangan dan kompetensi. Komisi tersebut memiliki dua fungsi (B. Libois, 1994: 74), yaitu :
·         Fungsi sebagai pengawas, yaitu mengawasi agar terjadi pemenuhan kewajiban sebagai imbalan atas izin yang diberikan untuk menyiarkan atau mendistribusikan. Jadi perannya adalah dapat mengingatkan, mengkritik, dan bisa juga memberi sanksi.
·         Fungsi menentukan orientasi dasar media sebagai pelayanan publik. Fungsi ini bisa memberi pendapat, rekomendasi atau bahkan membuat aturan yang mewajibkan.
4.      Regulasi prosedural
Rasionalitas instrumental membawa media terlalu menekankan sarana sehingga justru menjadi tujuan pada dirinya. Artinya bila tekanan pada sarana, maka tujuan akan kabur. Tanpa tujuan suatu tindakan tidak lagi terikat nilai atau makna. Maka menjadi penting diskusi tentang kriteria yang mendasari kekhasan kebebasan pers terkait dengan instrumentalisasi informasi yang berlebihan.
Pemilik saham media tentu akan terusik atau merasa dirugikan dengan regulasi prosedural ini. Regulasi prosedural ini memiliki konsesi yang diberikan yaitu
·         Bila komposisi instansi regulasi cukup represntatif
·         Pemerintah harus mampu menyakinkan bahwa media bukan melulu diatur oleh logika pasar, ada nilai politik dan budaya yang dipertaruhkan.
5.      Dalam persimpangan Etika : Deontologi, Teleologi, dan Komunitarian
Praktek jurnalistik juga diarahkan oleh hati nurani wartawan dan deontologi profesi. Persaingan yang keras dan tunutan pasar membuat para pelaku media mengabaikan deontologi profesi, karena permasalahan pengeroposan semangat profesi, tiadanya disiplin, dan masalah yang paling mendasar adalah struktur pemaknaan. Struktur pemaknaan menekankan pada ekonomi sehingga mempunyai kecenderungan hanya menerima pendeketan etika utilitarian. Etika utilitarian merupakan etika yang karena terlalu menekankan asas manfaat, dapat menjadi tidak peka terhadap tuntutan etis dalam masalah prosedur atau pilihan sarana.
Pendekatan teologis lebih menekankan pada tujuan. Pendekatan ini mendefinisikan secara kebaikan khas yang harus diwujudkan, tujuan yang harus dikejar yang sudah ditentukan untuk semua orang yaitu kesejahteraan umum. Dalam praktek jurnalistik, etika teleology ini mengandaikan adanya pengkondisian, maksudnya presentasi informasi ditentukan oleh tujuan yang cukup sering dipaksakan dari luar.
Kebebasan berekspresi harus dipisahkan dari kebebasan oers karena mempunyai fungsi publik, yaitu untuk pelaksanaan kebebasan politik berekspresi. Menurut logika kontrol kekuasaan politik, kebebasan berekspresi memperluas lingkup kebebasan dan membantu mengintensifkan tuntutan pengakuan hak dasar lainnya. Dalam hal ini, etika komunikasi mengandaikan adanya dua aspek yang saling terkait, yaitu ekspresi informasi atau gagasan dan dimensi penerimaan (pendengar, pembaca, dan pemirsa).
Dengan argumen pluralisme, prioritas bukan pertama-tama komunitas atas individu, tetapi prioritas diberikan pada perspektif komuniter, artinya perlindungan yang sama diberikan pada semua wacana tanpa diberlakukan hierarkisasai tipe wacana atas dasar lainnya. prinsip pluralism sekaligus juga membatasi logika pasar dari hasrat untuk mendominasi sehingga lingkup politik bisa menjadi arena yang mempunyai otonomi tertentu (M.Walzer, 1983).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar