1.
Pengalaman
Tentang Kebebasan
Tidak ada manusia yang tidak tahu apa
itu kebebasan, karena kebebasan merupakan kenyataan yang akrab dengan kehidupan
kita dan merupakan sesuatu yang pasti terjadi. Namun kebebasan itu sendiri
menjadi kian membingungkan ketika ada orang bertanya tentang apa arti kebebasan
itu sendiri? Kita dapat merasakan dan mengalaminya sendiri namun sulit untuk
mengungkapkannya bahkan bingung dan tidak bisa menjelaskannya. Sama seperti
yang diungkapkan oleh Augustinus (354-430) mengenai waktu, ia sudah tahu apa
itu waktu. Membingungkan ketika tidak orang tanya, tapi saya tahu tapi jika
sudah ditanya mau menjelaskannya kepada orang lain, saya tidak tahu..
2.
Kebebasan
Sosial Politik
Subjek
dalam kebebasan politik merupakan suatu bangsa atau rakyat. Di sejarah modern
terdapat dua bentuk kebebasan yaitu, kebebasan politik rakyat dengan membatasi
kekuasaan absolut para raja dan kemerdekaan yang dicapai oleh negara-negara
muda terhadap negara-negara penjajah.
a. Kebebasan
rakyat versus kekuasaan absolut
Pada zaman modern ini Inggris dan Perancis menjadi
perintis demokrasi berdasarkan kebebasan rakyat. Perkembangan dari monarki
absolut ke demokrasi modern bukan saja merupakan suatu kenyataan historis
melainkan keharusan etis. Kebebasan rakyat tidak bisa dirampas oleh siapapun,
serta kedaulatan harus berada di tangan rakyat dan tidak boleh berada pada
instansi lain.
b. Kemerdekaan
versus kolonialisme
Banyak
negara yang sudah bebas dari penjajahan dan memproklamasikan kemerdekaannya sendiri.
Akibatnya pada zaman ini muncul pandangan bahwa penjajahan tidak pantas
dilakukan dan tidak pernah boleh terjadi lagi. Seperti yang tercantum pada
kalimat pertama dari Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Serta penyataan pada tahun 1960 negara-negara anggota dari PBB mendeklarasikan
: Hak semua negara dan bangsa yang dijajah untuk menentukan nasibnya sendiri.
3.
Anatomi
Kebebasan Individual
Berbeda
dengan kebebasan dalam arti sosial politik, bagi etika umum hal yang lebih
penting adalah kebebasan individual. Berikut beberapa arti kebebasan yang dapat
kita bedakan.
a. Kesewenang-wenangan
Sebenarnya kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan
tidak layak disebut sebagai “kebebasan”, karena kata “bebas” dalam arti ini
sering disalahgunakan. Dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kebebasan sejati
mengandaikan keterikatan oleh norma-norma. Bertingkah laku manusia tidak secara
otomatis ditentukan oleh insting tapi ia sendiri harus mengatur kecenderungan
alamiahnya, maka itu dibutuhkan norma. Norma disini bukan dimaksudkan untuk
menghambat suatu kebebasan melainkan untuk mengatur kelancaran kebebasan itu
sendiri.
b. Kebebasan
fisik
Bebas disini lebih kepada tiada paksaan atau rintangan
dari luar, yang mengacu pada kebebasan fisik. Namun orang yang bebas fisiknya
belum tentu mengalami kebebasan secara mendalam, serta kebalikannya. Walau
kebebasan fisik saja bukanlah kebebasan yang sesungguhnya namun kebebasan fisik
ini perlu dinilai positif. Jika dalam arti kesewenang-wenangan harus ditolak
sebagai penyalahgunaan kata “kebebasan”, maka kebebasan fisik bisa dihargai
tanpa ragu-ragu.
c. Kebebasan
yuridis
Kebebasan ini lebih melihat pada keterkaitannya
terhadap hukum dan dijamin oleh hukum. Namun dalam menjalankan kebebasan
yuridis negara berdasar kepada dua hukum yaitu, hukum kodrat dan hukum positif.
·
Dengan kebebasan yang didasarkan pada
hukum kodrat, manusia diperbolehkan bertindak bebas sesuai dengan kodratnya.
·
Dengan kebebasan yang didasarkan pada
hukum positif, negara menciptakan suatu kebebasan yang merupakan hasil dari
suatu perundang-undangan. Jika tidak ada perumusan undang-undang maka kebebasan
itu tidak akan ada, inilah perbedaan diantara hukum kodrat dan positif.
d. Kebebasan
psikologis
Kebebasan yang muncul dari kemampuan yang dimiliki
manusia untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Kemampuan ini berkaitan
dengan kehendak dan ciri khasnya. Maka kebebasan psikologis sering dikenal juga
sebagai “kehendak bebas”. Kebebasan ini juga berdasr pada keadaan bahwa manusia
adalah makhluk berasio, maka ia selalu berpikir sebelum bertindak. Ketika
bertindak bebas, ia sadar dengan apa yang ia perbuat, apa sebab akibatnya.
e. Kebebasan
moral
Berkaitan juga dengan kebebasan psikologis, namun tidak
bisa disamakan. Keduanya memang saling berkaitan erat, jika tidak ada kebebasan
psikologis maka tidak mungkin ada kebebasan moral. Namun adanya kebebasan
psikolgis tidak menjamin adanya kebebasan moral.
f.
Kebebasan Eksistensial
Kebebasan yang mencakup seluruh aspek eksistensi
manusia, yang memandang secara keseluruhan dan menyangkut pribadi manusia
secara utuh. Ini merupakan bentuk kebebasan tertinggi. Kebebasan ini tidak akan
ada tanpa dukungan dari kebebasan lainnya, khususnya kehendak bebas.
BEBERAPA MASALAH MENGENAI
KEBEBASAN
1.
Kebebasan
Negatif dan Kebebasan Positif
a.
Yang bebas adalah orang yang terlepas dari
paksaan fisik.
b.
Yang bebas juga adalah orang yang tidak
dirampas hak-haknya.
c.
Yang bebas juga adalah orang yang terlepas
dari tekanan batin atau psikis.
d.
Yang bebas pula adalah orang yang terlepas
dari paksaan moral.
e.
Akhirnya, yang bebas adalah orang yang
terlepas dari inotentitas dan keterasingan. Kehidupan orang itu tidak
dijalankan oleh orang atau instansi lain.
Pada
umumnya kebebasan cenderung lebih mudah untuk diartikan dalam sisi negatif
dibanding dengan positif.
2.
Batas
– Batas Kebebasan
Seorang
filsuf dan sastrawan Prancis, Jean-Paul Sattre(1905-1980) menganut aliran
eksistensialis yang paling ekstrem pada abad 20 tersebut, ia mengungkapkan
“kita dihukum untuk hidup bebas” atau “kita ditakdirkan untuk bertindak bebas”.
Namun dengan demikian ia memberikan argumentasinya dengan adanya
batasan-batasan dalam suatu kebebasan.
a. Faktor-faktor
dari dalam
Faktor ini bisa berasal dari fisik maupun psikis.
b. Lingkungan
Kebebasan dibatasi juga oleh lingkungan sekitar, baik
alamiah maupun sosial. Baik oleh letak geografis lingkungannya maupun keadaan
lingkungan sosial seperti sosial ekonominya.
c. Kebebasan
orang lain
Kebebasan saya dibatasi oleh kebebasan orang lain,
membatasi diri sendiri untuk mengakui kebebasan orang lain sebagai rasa saling
menghormati hak masing-masing.
d. Generasi-generasi
mendatang
Adanya
kesadaran akan generasi mendatang sesudah kita membuat adanya batasan kebebasan
itu sendiri.
3.
Kebebasan
dan Determinisme
Merupakan
suatu sifat yang menandai alam. Kejadian di alam yang berkaitan antara satu
sama lain menurut keterikatan yang tetap, sehingga kejadian satu pasti
mengakibatkan kejadian lain. Ada empat tahap kemungkinan untuk mengadakan
ramalan dalam konteks tingkah laku manusia yang melukiskan dengan baik hubungan
antara determinisme dan kebebasan menurut E.F.Schumacher.
a. Dalam
alam di luar manusia terdapat kemungkinan penuh untuk melakukan ramalan. Contoh
meramal kondisi cuaca besok dan di daerah tertentu.
b. Ada
kemungkinan yang lebih besar untuk meramal pola tingkah laku sekelompok manusia
dalam menjalankan rutinitasnya. Contoh: orang mengikuti motif di masyarakat
dengan mencari harga murah saat berbelanja
c. Kemungkinan
hampir sepenuhnya untuk meramal pada perbuatan manusia yang dijalankan menurut
suatu rencana. Contoh: Pelajar dan guru datang tepat waktu, selalu pukul tujuh
pagi.
d. Keputusan
yang diambil oleh manusia perorangan sesuai dengan prinsipnya dan tidak bisa
diramalkan, terutama kalu keputusan tentang hal penting. Contoh : politikus mencalonkan
diri sebagai Presiden.
TANGGUNG JAWAB
1.
Tanggung
jawab dan kebebasan
Tanggung
jawab ini bisa secara langsung dan tidak langsung.Serta bisa juga dibedakan
menjadi dua, yaitu retrospektif dan prospektif. Tanggung jawab retrospektif
adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dengan segala
konsekuensinya. Sedangkan prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang
akan datang.
2.
Tingkat-tingkat
tanggung jawab
Seperti
yang kita ketahui bahwa tanpa adanya kebebasan maka tidak akan ada yang namanya
tanggung jawab. Berkaitan dengan itu setiap kebebasan memilki tingkatannya
masing-masing, dengan demikian sama halnya dengan tanggung jawab. Ia juga
memiliki tingkatan, dalam melakukan sesuatu ada orang yang paling bertanggung
jawab, lebih, kurang maupun tidak perlu bertanggung jawab. Contoh pada kasus
“pencurian”.
a. Ali
mencuri, tapi ia tidak tahu bahwa ia mencuri
b. Budi
mencuri, karena dia seorang kleptoman
c. Cipluk
mencuri, karena dalam hal iniia sangka boleh mencuri
d. Darso
mencuri, karena orang lain memaksa dia dengan mengancam nyawanya
e. Eko
mencuri, karena ia tidak bisa mengendalikan nafsunya.
Maka penjelasan dari
kasus-kasus diatas, sebagai berikut :
a. Ali
mengambil tas milik orang lain, karena ia berpikir bahwa ituadalah tas
miliknya. Tampak dari luar tas mereka mirip, ia melakukannya dengan tidak
sengaja dan tidak sadar. Oleh karena itu ia tidak bebas dan bertanggung jawab
dalam “pencurian” karena ia tidak tahu kalua ia mencuri. Namun apabila setelah
ia mengetahui dan menyadari , tetapi tetap tidak melakukan upaya apapun untuk
membetulkan kekeliruan tersebut. Maka perbuatan Ali menjadi bebas dan tidak
bertanggung jawab. Semua tersebut tergantung dari respond an kesadaran moral
orang tersebut.
b. Budi
mengambil tas milik orang lain karena ia menderita kelainan yaitu klepto, yang
berarti ada suatu paksaan batin untuk mencuri. Pada keadaan ini tidak ada
kebebasan psikologis, dan akibatnya ia tidak bertanggung jawab. Namun logikanya
ia harus tetap bertanggung jawab walaupun dengan bobot tanggung jawab yang
lebih ringan daripada orang “normal”
c. Cipluk
mengambil uang orang lain, ia membuatnya dengan bebas tapi ia melakukan
tersebut dengan terpaksa karena ada dorongan kebutuhan ekonomi. Adanya
kesempatan untuk mencuri digunakannya sebagai suatu anugrah untuk bertahan
hidup. Pada kasus ini Cipluk melakukan hal tersebut secara bebas dan oleh
karena itu ia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Namun jika dilihat
dari sudut pandang etika perbuatan ini dapat dibenarkan.
d. Darso
mencuri uang karena disuruh oleh majikannya, jika ia tidak menuruti maka ia
akan disiksa atau dibunuh. Karena rasa takut maka Darso terpaksa mencuri dan
menuruti segala perintah majikannya. Pada kasus ini Darso melakukannya dengan
tidak ada kebebasan moral dan karena itu ia tidak bertanggung jawab atas
perbuatannya tersebut.
e.
Eko mencuri uang karena rasa ingin
memiliki TV, yang merupakan dorongan nafsu. Ia melakukannya dengan bertindak
bebas dan karena itu ia bertanggung jawab. Namun pada kasus ini bisa saja
kebebasannya dikurangi dan karena itu tanggung jawabnya akan berkurang juga.
Contoh : Eko melakukan pencurian karena ia pecandu narkotika dan mencuri adalah
cara paling cepat dan tepat. Ia melakukannya dengan tidak bebas oleh karena itu
otomatis tanggung jawabnya juga berkurang.
3.
Masalah
tanggung jawab kolektif
Tanggung
jawab harus dibedakan dalam dua hal yaitu tanggung jawab kolektif dalam arti
yang sebenarnya dan suatu rasa tanggung jawab kolektif yang memang ada bukan
karena alasan-alasan etis melainkan psikologis (faktor afektif, solidaritas, sejarah
dan tradisi). Dalam sudut moral tanggung jawab kolektif dipandang positif atau
netral? Dan jawabannya tanggung jawab kolektif
merupakan sesuatu yang baik dan terpuji.Contoh yang dilakukan oleh pemerintah
Inggris saat mengganti rugi korban yang terkena dampak dari kerusuhan yang
dilakukan oleh warga Inggris.
KEBEBASAN DAN TANGGUNG
JAWAB MUATAN PESAN
1. Kontradiksi
Kebebasan dan Tanggung Jawab Muatan Pesan
Media
massa memiliki aspek yang menjadikan dirinya sangat penting, sehingga
menampilkan karya dan ide merupakan hal yang strategis. Pertama, media massa
strategis dapat menjangkau dan menyebarkan berita tanpa ada batasan geografis,
umur, jenis kelamin, demografis, dan psikografis. Kedua, media dapat melipat
gandakan pemberitaan sesuai dengan jumlah eksemplar media tersebut. Ketiga,
setiap media massa dapat mewacanakan ide dan karya sesuai dengan pandangannya
masing – masing. Dalam media massa kebebasan sangat diperlukan, namun tanggung
jawab juga diperlukan dalam setiap muatan pesan. Kebebasan tanpa tanggung jawab
tidak akan berjalan dengan baik namun, kebebasan bukanlah lawan dari tanggung
jawab dan begitu pun sebaliknya. Seseorang tidak akan kehilangan kebebasannya
hanya karena ia menerapkan tanggung jawab.
2. Pengertian
Pesan
Pesan
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pikiran khalayak. Oleh karena itu pesan
yang bebas harus dibarengi dengan etika yang menjadi tanggung jawab pesan
tersebut. Sayangnya, kebebasan tidak diimbangi dengan peraturan yang jelas.
Munculnya media massa yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat
mengakibatkan berbagai dampak.
3. Isu
Moral
Khalayak sangat sensitif terhadap isi pesan yang
disampaikan oleh media, terutama pesan – pesan yang bertentangan dengan norma
yang berlaku di masyarakat. Tiga isu pokok antara kebebasan dan tanggung jawab
muatan pesan dalam media, yaitu (1) pornografi; (2) pesan yang mengguncang atau
menimbulkan shock; dan (3) pesan yang menghina SARA.
4. Mencari
Batasan Moral
Dalam bukunya “Ethics in Media Communication”
(2006), Louis Alvin Day menyarankan agar pertentangan atas implementasi
kebebasan dna tanggung jawab sosial dapat diselesaikan melalui pencarian
prinsip yang berfungsi sebagai batasan implementasi kebebasan. Kemudian ia
mengemukakan empat prinsip, yaitu :
a.
Harm principle
Kebebasan
individu dibatasi guna mencegah tindakan yang menyakiti orang lain.
b.
Paternalism principle
“We
are what we read / view”, kalimat ini menggambarkan bahwa media sangat
berpengaruh terhadap masyarakat. Pemikiran kita dibentuk oleh pesan yang kit
baca. Oleh karena itu, muatan pesan media harus dikontrol dengan ketat agar hal
– hal cabul atau yang merugikan masyarakat dapat dicegah.
c.
Moralism principle
Baik
tidaknya moral ditentukan oleh masyarakat, bukan individu. Oleh karena itu kebaikan
individu tidak berarti apabila masyarakat mengatakannya sebagai keburukan dan
begitu pun sebaliknya.
d.
Offense principle
Penyampaian pesan
tidak boleh menimbulkan rasa malu, kegelisahan, dan kebingungan bagi orang
lain.
5. Tanggung
Jawab Sosial Media
William
R. Rivers, Jay W. Jensen, dan Theodore Peterson dalam buku yang berjudul Media
Massa dan Masyarakat Modern (2003) mengatakan bahwa, terdapat lima jenis
tanggung jawab sosial yang dikehandaki masyarakat modern dari media, yaitu :
a.
Media harus menyajikan “pemberitaan yang
benar, komprehensif, dan cerdas.” Media dituntut untuk selalu akurat dan tidak
berbohong. Fakta dinyatakan sebagai fakta dan pendaoat dikemukakan murni
sebagai pendapat.
b.
Media harus berperan sebagai forum
pertukaran pendapat, komentar, dan kritik. Karenanya, media tidak hanya
berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga forum penyelesaian masalah.
Setiap masalah yang menjadi urusan publik dan berhubungan dengan publik
disodorkan oleh media untuk kemudian dibahas bersama dan dicarikan jalan
keluar. Sehingga media menjadi milik publik dan publik benar – benar merasakan
manfaat kehadiran media.
c.
Media harus menyediakan gambaran khas dari
setiap kelompok masyarakat. Syarat ini menuntut media untuk memahami setiap
karakteristik dan juga kondisi seluruh kelompok masyarakat tanpa adanya stereotype.
Tujuannya adalah untuk menghindari konflik sosial di masyarakat terkait dengan
isi berita yang disajikan. Oleh karena itu, media dituntut untuk mampu menafsir
karakter suatu masyarakat dan mencoba memahaminya, seperti aspirasi, kelemahan,
dan prasangka mereka. Dengan demikian, kelompok yang lain tahu gambaran tentang
kelompok yang lain dan lalu mencoba untuk memahaminya. Dengan demikian,
kelompok lain dapat memamahami karakter dan cara memperlakukan masing – masing
kelompok.
d.
Media harus selalu menyajikan dan
menjelaskan tujuan dan nilai – nilai masyarakat dengan cara mengaitkan suatu
peristiwa dan hakikat makna keberadaan masyarakat dalam hal – hal yang harus
diraih. Hal ini dikarenakan media merupakan instrumen pendidik masyarakat
sehingga media harus “memikul tanggung jawab pendidik dalam memaparkan segala
sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat”.
e.
Media harus membuka akses ke berbagai
sumber informasi. Masyarakat industri modern membutuhkan lebih banyak informasi
daripada masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan dengan tersebarnya informasi,
pemerintah akan menjalankan tugasnya dengan mudah. Melalui informasi, media
sebenarnya membantu pemerintah menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di
masyarakat.
ETIKA KOMUNIKASI DAN TANGGUNG JAWAB MUATAN PESAN DAN BATAS KEBEBASAN MEDIA
/ PERS
1.
Dimensi
Etika Komunikasi
Dimensi
yang langsung berketaitan dengan perilaku aktor komunikasi, yaitu aksi
komunikasi. perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika
komunikasi yaitu bagian dari aksi komunikasi (politics). Aspek etisnya
ditunjukan kepada kehendak baik untuk bertanggung jawab. Kehendak baik
diungkapan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang
mengatur profesi. Aturan tersebut terdapat dalam deontology jurnalisme. Menurut
B.Libois (1994: 6-7) ada tiga prinsip utama deontologi jurnalisme yaitu :
a. Hormat
dan perlindungan atas hak warga Negara akan informasi dan sarana-sarana yang
perlu untuk di dapatkan.
b. Hormat
dan perlindungan atas hak individual lain dari warga Negara
c. Ajakan
untuk menjaga harmoni masyarakat.
Deontologi memiliki kelebihan yaitu
dapat mempertajam makna tanggug jawab. Kekurangan deontologi jurnalisme ini
adalah deontology jurnlisitik yang disertai dengan sanksi pada tinggkat profesi
tidak cukup tangguh unguk menghadap determinisme ekonomi dan teknologi, masalah
manipulasi, sonspirasi, dan mudah sekali para aktor komunikasi ini berkelit
mengalihkan tanggung jawab atau kesalahan mereka pada system yang dituntut
untuk mempertanggung jawabkan informasi yang manipulative, menyesatkan public
atau yang berbentuk pembodohan.
Dimensi sarana ini memfokuskan pada system media dan
prinsip dasar pengorganisasian praktek
penyelenggaraan informasi. Dimensi sarana meliputi ada dua yaitu:
a. Semua
bentuk regulasi oleh pengusaha public (tatanan hukum dan institusi ). Artinya
asas kesamaan dan masalah siapa diuntungkan atau dirugikan oleh hukum /
institusi tertentu menjadi wacana etika yang sangat relevan.
b.
Struktur sosial di rekayasa secara politik
menganut prinsip timbal balik ( hubungan kekuasaan yang mempengaruhi produksi
informasi) artinya menurut prinsip habermas masing masing pihak sepakat
mengkoordinasikan tindakan mereka untuk tujuan masing-masing. (vol.I,
1981:117)
Perbedaan
antara deontology jurnalisme dan dimensi sarana adalah
a. Deontology
merupakan keseluruhan aturan dan prinsip yang mengatur pelaksaan pfrofesi,
biasanya disusun oleh ikatan profesi. Jangkauannya terbatas pada masalah moral,
meskipun disertai sanki, dan sebatas menegakkan disiplin profesi.
b.
Dimensi sarana merupakan norma etika
komunikasi harus sudah menjadi hukum / undang-undang.
Dimensi tujuan menyangkut nilai demokrasi terutama
kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang
benar. Dimensi tujuan ini terkait langsung dengan meta-etika yang tidak terlalu
disibukan oleh isi etika profesi (deontology jurnalisme ).
2.
Penguatan
Deontology dan Batas Kebebasan Pers
Menganalisis masalah ini secara lebih jernih, orang
perlu memperhitungkan hak individual yang lain, masalah pelayanan public, hak
public akan informasi yang benar, mekanisme pasar, pengguna jasa, dan peran
Negara. Hal tersebut untuk menjamin profesionalisme para aktor komunikasi tidak
cukup bila hanya mengandalkan nurani wartawan karena yang dihadapi adalah
system. Atas alasan apa kebebasan berekspresi mendapatkan priorotas dibandingkan
hak individual yang lain? Sering pengakuan informasi ini mudah disalah gunakan
sebagai argument untuk mengorbankan privacy seseorang / mengabaikan praduga tak
bersalah. Penyalahgunaan semacam itu mengundang penyalahgunaan yang mengundang
pertanyaan sejuah mana batas kebebasan pers dan landasan filosofi yang bisa
memberi penalaran yang dapat dipertanggung jawabkan. Tidak cukup etika
komunikasi dan hanya mengandalkan pada nurani para wartawan dan pengawasan dari
pihak organisasi profesi. Etika komunikasi perlu juga memperhintungkan
mekanisme pasar, aspirasi warga Negara seta asosiasi pengguna. Peran Negara
yang dianggap bisa menjadi penegah dalam persaingan yang keras, tidak bisa
diabaikan. Negara juga perlu memperhatikan upaya perlindungan masyarakat
terutama anak-anak yang rentan terhadap kemungkinan manupulasi, dan masalhnya
Negara atau pasar cenderung dikuasai oleh berapa orang/kelompok.
3. Regulasi Publik dan Prosedural
a. Regulasi
publik
Menurut
J.Rawls (1972) regulasi publik sebagai bentuk pembatasan kebebasan dibenarkan
sejauh demi terciptanya kebebasan yang lebih besar. Pembatasan kebebasan harus dalam rangka
memperkuat system keseluruhan kebebasan. Dalam kasus regulasi media pengorganisasian
media harus mampu menjamin perluasan partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan.
b. Regulasi
prosedural
Menurut
Boris Libois dalam mengutip “fairness doctrine”, regulasi prosedural
seperti stasiun televisi harus menyediakan sebagian waktu siaran untuk diskusi
dan presentasi masalah publik dan mengalokasikan secara adil beragam
kemungkinan pernyataan sesuai dengan pandangan masing-masing kelompok
perwakilan dalam upaya mereka menghadapi masalah yang penting dan
kontroversial. Regulasi prosedural ini mengandung kelemahan seperti dasar
kriteria orang bisa mengelompokan bahwa suatu masalah adalah kontroversial, dan
menentukan instansi regulasi akan efektif atau tidak kerja mereka.
4.
Determinasi
Ekonomi dalam Etika Komunikasi
Ekonomi menjadi struktur pemaknaan yang
menyatukan praktek-praktek wacana dewasa ini. Semua cenderung diukur dari
perspektif ekonomi. Masyarakat yang mendefinisikan diri sepenuhnya dari segi
ekonomi menjadikan kegunaan sebagai nilai tertinggi dan menomorduakan nilai
lain. Perbaikan terus menerus dalam performance
ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur
kesibukan yang tidak stabil.
Persaingan sangat tajam. Terlebih lagi
media elektronik dan komputer kemungkinan pertukaran informasi dalam waktu
singkat. Teknik informasi ini menjamin mobilitas yang sangat tinggi. Sewaktu
pemodal bisa pindah keperusahaan yang lebih menguntungkan (P.Bourdieu, 1998).
a. Budaya
Baru: Organisasi Luwes dan Iklim Persaingan.
Kontrak dengan pekerja berubah sesuai
dengan perubahan aktivitas perusahaan. Maka, wartawan juga harus mengikuti
kebutuhan proyek dan orientasi sesaat dari media di mana bekerja, yang
kadang-kadang harus mengabaikan spesialisasinya untuk penyesuian diri.
Organisasi semakin dituntut luwes. Organisasi harus memiliki keterampilan
penyesuaian diri:
·
Proaktif berhadapan dengan situasi tak
menentu
b. Emosi
Sosial dan Peran Serikat Pekerja
Perasaan ketidakadilan itu melanggengkan
ketutupan dan perasaan tidak aman bagi tiap orang. Tumbuh perasaan tak berguna.
Perasaan tak berguna ini dengan mudah bisa membuat menjadi kemarahan dan
kebencian. Emosi sosial akan mudah disulut dengan dalih bahwa elite atau
kelompok mapan dianggap telah mencuri hak mereka.
c. Seringnya
Reorganisasi Institusi
Hal
tersebut adanya guncangan dan dorongan perubahan akan dilihat sebagai sinyal
positif. Menjadi keharusan suatu perusahaan untuk membangun citra dengan selalu
merekayasa diri. Rekayasa diri ini semakin dibutuhkan ketika evaluasi
menunjukan tiadanya kinerja yang baik dalam pengorganisasian lembaga tersebut.
Biasanya hal tersebut yang paling mudah dilakukan adalah mendatangkan
konsultan. Tugas konsultan ini adalah membantu dalam mengorganisasi lembaga
supaya kinerja menjadi maksimal. Konsultan,
Legitimasi, dan Rasionalitas Sosial
Apa
yang bisa didapat oleh penguasa dengan mendatangkan konsultan?
·
Bila perubahan ke arah yang lebih baik
sungguh terjadi, maka jelas menjadi poin positif.
·
Menunjukkan bahwa kekuasaan berjalan,
pesan bahwa penguasa menghendaki yang terbaik dan mempunyai determinasi tidak
diragukan lagi. Pada sector usaha yang mencari keuntungan, mengirim tanda
kepada investor, hal ini perlu untuk meyakinkan. Dalam bidang politik, upaya
ini merupakan cara untuk menigirim sinyal agar tetap mendapat dukungan.
·
Penguasa bisa menggeser dari dirinya
tanggung jawab untuk mengambil keputusan yang berat atau setidaknya berbagi
tanggung jawab.
Kehadiran
konsultan, terutama bila datang dari kalangan akademisi, akan memberi
legitimasi terhadap kebijakan penguasa. Bentuk keterlibatan ini merupakan
kepentingan di masyarakat yang ikut mewarnai rasionalistas sosial. Tekanan pada
efisiensi cenderung mengandalkan pada rasionalitas ilmiah atau dalih ekonomi,
namun kurang memperhatikan rasionalitas sosial.
Dilemma Regulasi Publik Kebebasan
Berekspresi dan Tanggung Jawab
1.
Alasan
regulasi publik: ketika Informasi Selalu Interpretasi
Kesulitan
muncul ketika realitas tertentu ingin memaksakan diri menjadi opini mungkin
secara halus dengan hegemoni atau secara kasar dengan penekanan pemihakan yang
demonstratif. Peran wartawan disini untuk bisa memberi pemahaman tentang dunia
yang bisa menghormati pluralitas sehingga mengantar pada pemahaman yang kritis
dan mendidik. Meskipun sudah ada deontology profesi, belum menjamin dapat
menghasilkan informasi yang benar sehingga masyarakat dirugikan, diarahkan pada
penerimaan realitas tertentu saja atau mengalami proses pembodohan.
Dalam
regulasi media dalam situasi tertentu sangat diperlukan yaitu:
·
Regulasi media membantu konsumen (pemirsa,
pembaca, dan pendengar) mendapat informasi sesuai mendapat informasi sesuai
dengan tuntutan kualitas tertentu. Media tidak bisa semena-mena memproduksi
informasi tanpa standar kualitas yang memadai.
·
Regulasi publik menjaga aturan pasar agar
lebih adil dengan melawan konsentrasi ekonomi pada media tertentu saja. Disisi
lain mau menjawab kelangkaan program atau informasi yang mendidik atau bersifat
kultural atau yang diperlukan publik, karena secara ekonomi tidak
menguntungkan, tidak ada media yang tertarik untuk memproduksinya.
·
Menjamin pluralisme yang merupakan bagian
integral dari demokrasi. Negara wajib melindungi dan mendorong ekspresi dari
sudut pandang yang berbeda.
2.
Regulasi
Publik dan Pluralisme: Memperkuat Deontologi Profesi
Regulasi
untuk menjamin pluralisme memiliki beragam bentuk (B.Libois 1994, 88) yaitu:
·
Bisa dalam rangka menghindari dominasi
suatu bidang terhadap yang lain dengan mengusulkan pengorganisasian distribusi
atau alokasi program. Jangan sampai
suatu media hanya didominasikan oleh spektakuler informasi.
·
Menjamin pembedaan lingkup riil dengan
kekhasan ekspresinya untuk tetap mendapatkan akses yang cukup representative ke
ruang publik. Seperti mimbar agama tidak hanya diisi oleh kelompok agama
dominan, tetapi dalam agama terdapat berbagai aliran.
·
Memungkinkan definisi politik menurut
tatanan prioritas sehingga ruang publik menjadi tempat berlangsungnya penentuan
hierarkisasi nilai oleh masyarakat. Regulasi dimaksudkan untuk menjamin
perwasitan antara kebebasan dasar dari paling penting sampai fakultatif.
·
Memungkinkan untuk mempertahankan adanya
pemisahan berbagai ranah dan menentukan bagian atau hak masing-masing. Debat tentang pilihan prinsip regulasi dan
modalitasnya tetap terjamin
3.
Berbagai
Macam Regulasi Publik
Regulasi
bisa bersifat privat ketika pelaksanaannya ditentukan oleh nurani pelaku
komunikasi atau diatur oleh deontologi profesi.
Sedangkan regulasi dianggap publik bila ada campur tangan Negara, warga
masyarakat, atau komisi mandiri yang dibentuk Negara. Regulasi media oleh
Negara bisa beragam. Dari sisi ekonomi, otoritas publik menetapkan prinsip
hukum sehingga situasi ekonomi berkembang. Negara tidak ikut campur dalam
tangan dalam hal isi, tetapi mengawasi dan menjaga agar terjadi keteraturan
dalam pertukaran atau interaksi.
Regulasi
publik adalah dengan membentuk komisi mandiri yang bukan bagian dari
pemerintah. Komisi ini bisa dibentuk dari campuran berbagai kalangan dan
kompetensi. Komisi tersebut memiliki dua fungsi (B. Libois, 1994: 74), yaitu :
·
Fungsi sebagai pengawas, yaitu mengawasi
agar terjadi pemenuhan kewajiban sebagai imbalan atas izin yang diberikan untuk
menyiarkan atau mendistribusikan. Jadi perannya adalah dapat mengingatkan,
mengkritik, dan bisa juga memberi sanksi.
·
Fungsi menentukan orientasi dasar media
sebagai pelayanan publik. Fungsi ini bisa memberi pendapat, rekomendasi atau
bahkan membuat aturan yang mewajibkan.
4.
Regulasi
prosedural
Rasionalitas
instrumental membawa media terlalu menekankan sarana sehingga justru menjadi
tujuan pada dirinya. Artinya bila tekanan pada sarana, maka tujuan akan kabur.
Tanpa tujuan suatu tindakan tidak lagi terikat nilai atau makna. Maka menjadi
penting diskusi tentang kriteria yang mendasari kekhasan kebebasan pers terkait
dengan instrumentalisasi informasi yang berlebihan.
Pemilik
saham media tentu akan terusik atau merasa dirugikan dengan regulasi prosedural
ini. Regulasi prosedural ini memiliki konsesi yang diberikan yaitu
·
Bila komposisi instansi regulasi cukup
represntatif
·
Pemerintah harus mampu menyakinkan bahwa
media bukan melulu diatur oleh logika pasar, ada nilai politik dan budaya yang
dipertaruhkan.
5.
Dalam
persimpangan Etika : Deontologi, Teleologi, dan Komunitarian
Praktek
jurnalistik juga diarahkan oleh hati nurani wartawan dan deontologi profesi.
Persaingan yang keras dan tunutan pasar membuat para pelaku media mengabaikan
deontologi profesi, karena permasalahan pengeroposan semangat profesi, tiadanya
disiplin, dan masalah yang paling mendasar adalah struktur pemaknaan. Struktur
pemaknaan menekankan pada ekonomi sehingga mempunyai kecenderungan hanya
menerima pendeketan etika utilitarian. Etika utilitarian merupakan etika yang
karena terlalu menekankan asas manfaat, dapat menjadi tidak peka terhadap
tuntutan etis dalam masalah prosedur atau pilihan sarana.
Pendekatan
teologis lebih menekankan pada tujuan. Pendekatan ini mendefinisikan secara
kebaikan khas yang harus diwujudkan, tujuan yang harus dikejar yang sudah
ditentukan untuk semua orang yaitu kesejahteraan umum. Dalam praktek
jurnalistik, etika teleology ini mengandaikan adanya pengkondisian, maksudnya
presentasi informasi ditentukan oleh tujuan yang cukup sering dipaksakan dari
luar.
Kebebasan
berekspresi harus dipisahkan dari kebebasan oers karena mempunyai fungsi
publik, yaitu untuk pelaksanaan kebebasan politik berekspresi. Menurut logika
kontrol kekuasaan politik, kebebasan berekspresi memperluas lingkup kebebasan
dan membantu mengintensifkan tuntutan pengakuan hak dasar lainnya. Dalam hal
ini, etika komunikasi mengandaikan adanya dua aspek yang saling terkait, yaitu
ekspresi informasi atau gagasan dan dimensi penerimaan (pendengar, pembaca, dan
pemirsa).
Dengan argumen
pluralisme, prioritas bukan pertama-tama komunitas atas individu, tetapi
prioritas diberikan pada perspektif komuniter, artinya perlindungan yang sama
diberikan pada semua wacana tanpa diberlakukan hierarkisasai tipe wacana atas
dasar lainnya. prinsip pluralism sekaligus juga membatasi logika pasar dari
hasrat untuk mendominasi sehingga lingkup politik bisa menjadi arena yang
mempunyai otonomi tertentu (M.Walzer, 1983).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar