1. Manipulasi Media dan Kesadaran Palsu
Manipulasi media dapat disebabkan oleh banyak
hal. Namun ketika masuk ke dalam konteks pornografi dan kekerasan, terdapat dua
jalan media memanipulasi informasi yakni dengan konglomerasi media dan framing.
A. Definisi Konglomerasi
Istilah konglomerasi diambil dari
perbendaharaan bahasa inggris yaitu conglomerate.
oleh karena itu sebagai batasan awal, konglomerasi perlu diberikan batasan
pengertian dari istilah tersebut. Dalam jurnal Kajian Yuridis Terhadap Keberadaan Konglomerasi di Indonesia, Joko
Wiwoho mengutip pernyataan Henry Campbell, yang mengatakan bahwa konglomerasi
adalah: A corporate that has diversified
its operations usually by acquiring enterprises in widely varied industries.
Dalam definisi itu, Henry Campbell meninjau
bahwa konglomerasi sebagai suatu perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha
dan dalam operasionalnya mengakuisisi perusahaan lain untuk memperbesar atau
memperluas variasi industrinya. Titik berat dari institusi konglomerasi adalah
dikumpulkan, digabungkan, atau diintegrasikan lebih dari satu perusahaan dalam
sebuah perusahaan kelompok. Ditinjau dari ruang lingkup usahanya, perusahaan
yang berkonglomerasi biasanya mengupayakan untuk menunjang bidang usaha lainnya
(Vertikal/Up Stream) atau bidang usaha yang tidak saling berkaitan (horizontal/down stream) maupun perusahaan yang
mempunya bidang usaha dari hulu ke hilir dari sebuah produk barang (diagonal).
Konglomerasi di Indonesia
Setelah reformasi (1998), konglomerasi media
menjadi corak industri media di Indonesia. Semakin lama pola itu berkembang
semakin pesat. Mencengkeram semakin dalam pada sistem operasi media di
Indonesia. Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio,
televisi, yang informasinya dikonsumsi, dilihat dan didengar setiap hari
ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media saja. Kelompok media tersebut memiliki
kepentingannya masing-masing dan membanjiri publik dengan tayangan-tayangan
dalam kanal-kanal media milik mereka yang me-manisfestasi-kan kepentingan yang
jelas bukan merupakan kepentingan publik. Akibatnya, media seperti televisi
kerap melakukan politisasi dalam sebuah berita yaitu dengan memilih narasumber
yang cenderung berpihak kepada mereka. Misalnya Metro Tv saat pemilu 2014
mengundang BJ Habibie dalam program Mata Najwa. Habibie merupakan seorang tokoh
besar Indonesia yang saat itu dukungannya condong ke pasangan Jokowi-JK. Saat
itu Habibie sempat memberikan pernyataan bahwa, “Hanya Jokowi yang cocok
menjadi presiden RI!”
B. Definisi Framing
Framing adalah cara pengemasan peristiwa yang terjadi.
Framing tidak berbohong, tapi ia mencoba membelokkan fakta dengan halus melalui
penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi, atau
gambar, hingga meniadakan informai yang seharusnya disampaikan. Framing bertujuan untuk membingkai
sebuah informasi agar terbentuklah sebuah citra, kesan, atau makna tertentu
yang diinginkan oleh pihak media. Framing dilakukan dengan cara penyeleksian
informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi, atau gambar, dan
sampai dalam meniadakan informasi. Berikut beberapa metode framing yang biasa dilakukan media, yaitu;
1.
Cover
both side, hanya saja porsi bicara tidak berimbang.
Artinya bila satu orang diberikan ruang untuk berbicara, orang lainnya juga
memiliki hak yang sama. Namun dalam metode ini, salah satu orang diberikan hak
berbicara tidak sama dengan porsi orang lainnya. Media biasanya melakukan
metode ini dengan mengutip pendapat salah satu orang ala kadarnya, atau dikutip
bagian yang tidak menjawab persoalan.
2.
Berita yang disampaikan sesuai fakta, tetapi
menggunakan sudut pandang tertentu. Bahwa ada pemilihan fakta dan data-data
tertentu agar dapat membentuk opini publik dengan sudut pandang tertentu,
misalnya dalam demo buruh salah satu media membuat berita dengan judul, “Sampah
Menggunung Setelah Demo Buruh.” Judul tersebut dapat memunculkan sudut pandang
lain yaitu masyarakat tidak lagi simpati pada buruh melainkan geram karena demo
yang malah menghasilkan pemandangan yang tidak enak dilihat.
3.
Penggunaan kata sifat yang bernada positif
atau negatif. Metode ini nantinya akan membentuk penilain terhadap seseorang.
Ketika media berkata Ahok adalah gubernur tegas, biasanya mayoritas pendapat
publik akan mengarah pada apa yang media katakan.
4.
Menyeleksi gambar dan menyisipkan musik.
Dengan adanya kedua hal ini, masyarakat dapat memberikan penilaian berupa apa
yang digambarkan media di beritanya. Dalam penyeleksian gambar biasanya media
fokus meliput sebagian kegiatan sang tokoh. Misalnya pemberitaan tentang Ahok
pasti selalu soal kegiatan blusukan dan marah-marahnya dan selalu dilatar
belakangi musiknya tegang. Dengan adanya sarana audiovisual, persepsi
masyarakat menjadi mudah terbentuk dan akhirnya sudut pandang pun mengikuti apa
yang media gambarkan.
Dengan adanya kolaborasi antara konglomerasi
dan framing, opini masyarakat mudah
digiring menuju suatu pemikiran yang diinginkan oleh pihak tertentu. Kegiatan
manipulasi informasi ini juga bisa disebut sebagai propaganda.
C. Definisi Propaganda
Propaganda adalah aktivitas atau kegiatan yang
direncanakan dan dijabarkan dengan kata atau tindakan atau kombinasi keduanya
yang bermaksud mengubah suatu sikap dengan tujuan mengubah tingkah laku secara
sukarela. Dengan cara framing, media
melakukan aktivitas propaganda yang secara halus menarik sudut pandang dan
opini mayoritas ke dalam suatu pemikiran yang diinginkan oleh pihak tertentu
yang berkepentingan. Dalam sebuah negara demokrasi, opini publik dapat dengan
mudah digiring dan dibentuk. Seperti yang dikatakan oleh Rianne Subijanto ,
“Pondasi penting propaganda adalah emosi, ideologi dan nilai-nilai, dalam
masyarakat yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai rasionalitas, seperti sikap
kritis dan hak bertanya, biasanya target empuk propaganda adalah dengan
mengeksploitasi emosi.”
Media yang mempunyai dampak dahsyat
dimanfaatkan oleh orang atau kelompok tertentu untuk menyebarkan doktrin ideologinya
kepada masyarakat. Dengan adanya aktivitas-aktivitas media yang mengedepankan
keuntungan bagi perusahaannya dengan berbagai cara – framing dan propaganda,
masyarakat cenderung dibawa sudut pandang dan cara berpikirnya oleh media
sehinggu masyarakat mengalamai keadaan yang bernama kesadaran palsu.
D. Definisi Kesadaran Palsu
Kesadaran palsu, yakni suatu situasi, di mana
orang tidak sadar, bahwa ia sebenarnya sedang ditindas. Di dalam masyarakat
kapitalis, kata Marx, kaum buruh mengalami penindasan, tetapi mereka tidak
merasakannya sebagai penindasan, dan bahkan merayakan penindasan itu.
Di dalam kajian psikologi, hal ini seringkali
disebut sebagai sindrom Stockholm, yakni suatu situasi, di mana korban/tawanan
merasakan empati pada pelaku kejahatan. Banyak kaum buruh membela tuannya,
walaupun tuannya telah jelas-jelas bersikap tidak adil dan tidak manusiawi
terhadap dirinya.
Kesadaran palsu merupakan sebuah konsep yang
berasal dari pemikiran marx tentang teori kelas sosial. Konsep kesadaran palsu
sendiri mengacu pada kekeliruan hubungan sosial antara kelas dominan dan kelas
bawahan. Kesadaran palsu diperkenalkan oleh Friedrich Engels, yakni dalam
suratnya kepada Franz Mehring (14 Juli 1898). Konsep ini pada awalnya
diungkapkan marx dari “ideologi dan fetisisme komoditas”.
Ideologi
Menurut KBBI, ideologi adalah “kumpulan konsep
bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan
tujuan untuk kelangsungan hidup.”
Ideologi menurut Marx adalah sebuah cara
berpikir yang tidak tepat tentang dunia. Menurutnya dalam teori kelas sosial,
latar belakang munculnya ideologi adalah sebagai pembenaran usaha para kaum
proletar (bawahan, buruh, dll) atas ketidakseimbangan antara usaha dan upah.
Kaum borjuis (pemilik modal, pengupah, ahli, dll) yang memonopoli kaum proletar
menciptakan ideologi yang dapat diterima kaum proletar tersebut agar mereka
tetap membenarkan diri mereka untuk bekerja, padahal usaha dan upah tidak
sebanding. Faktor ini yang memunculkan ideologi-ideologi dan lahirnya kapitalisme.
Maka dari itu bisa disimpulkan menurut Marx. Ideologi adalah ajaran yang
menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan sehingga orang
menganggapnya sah padahal tidak sah. Misalnya klaim negara bahwa ia mewujudkan
kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas atas.
Ideologi dalam arti yang sebenarnya bukan
sarana yang digunakan kelas atas untuk menipu. Ideologi benar-benar dipercayai
seluruh masyarakat dengan polos. Akan tetapi, agama, moralitas dan berbagai
nilai budaya dengan sendirinya menguntungkan kelas atas. Hal ini disebabkan
karena kelas atas yang menguasai sarana produksi materil dan spiritual yang
berarti hanya kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pikiran-pikiran
mereka. Kesimpulan dari kritik Marx terhadap ideologi adalah kita sebaiknya
curiga jika penguasa mengkhotbahi masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta
kewajiban-kewajiban moral mereka karena tanpa disadari, khotbah seperti itu
penuh dengan doktrin berkedok. Contoh melalui agama dan moralitas, dilarang membunuh
dan mencuri bahkan untuk iri hatipun dilarang, hal ini merupakan keuntungan
bagi kelas atas, bukan? Contoh lain dewasa ini, DPR merevisi UU yang di mana
berisi ketika KPK ingin melakukan pengecekan terkait KKN, harus meminta izin
dan laporan pada DPR terlebih dahulu. Mengapa harus meminta izin pada pelaku
KKN itu sendiri?
Menurut Friedrich Engels, ideologi adalah
sebuah proses yang dicapai dengan sadar oleh seorang pemikir, atau lebih
tepatnya sebuah kesadaran palsu. Friedrich juga menyebutkan bahwa sebuah
ideologi bermotif atau berasal dari pemikiran seseorang secara independen
maupun lanjutan dari pemikiran orang sebelumnya. Karena pemikiran independen
tersebut Friedrich juga menyebutkan bahwa setiap ideologi muncul karena
bertujuan untuk kepentingan tertentu.
Kelas pekerja di negara-negara kapitalis maju
yang menurut Marx akan menuju revolusi proletariat justru berhasil memperbaiki
keadaan mereka dan menjadi pendukung sistem ekonomi kapitalis sebagai hasil
dari pembenaran diri mereka akan usaha yang tidak sebanding dengan upah
tersebut. Kemajuan pekerja ini tentu bukan hadiah dari kaum pemilik modal,
tetapi merupakan hasil perjuangan para pekerja itu sendiri tanpa perlu
melakukan revolusi. Oleh karena itu, apa yang dikatakan Marx bahwa perbaikan sosial
hanya bisa tercapai melalui revolusi itu tidak benar. Hal yang benar adalah
setiap perbaikan sosial harus diperjuangkan. Selain itu, pandangan bahwa negara
secara hakiki adalah negara kelas belum tentu benar. Di negara yang tidak
menganut sistem demokrasi hal itu memang terjadi. Namun, di negara dengan
sistem demokrasi, negara bukanlah negara kelas. Semakin demokratis suatu negara
maka negara tersebut semakin tidak menjadi negara kelas.
Fetisisme Komoditas
Pada awalnya fetisisme (dari kata fetish)
tidak bernuansa sensual, karena nuansa fetish diciptakan oleh Freud dalam
tulisannya. Sementara Marx menerangkan tentang fetisisme sebelum tulisan Freud
tersebut.
Marx merujuk pada kaum-kaum tertentu (biasa
penganut agama tertentu) yang memahat dan membuat patung dan kemudian
menyembahnya, inilah yang dimaksud Marx dengan fetish, sesuatu yang kita buat
untuk diri kita sendiri, akan tetapi sekarang kita menyembahnya, dan sekarang
dia menjadi layaknya “dewa”.
Dalam kapitalisme, produk-produk yang kita
“buat”, dan ekonomi-ekonomi yang terbentuk dari segala pertukaran yang kita
lakukan, semua seakan-akan memiliki “nyawa”. Bisa diartikan ekonomi akan terus
berjalan baik manusia menginginkannya atau tidak. Menurut Marx, segala sesuatu
muncul dan hadir karena ada orang yang membutuhkannya dan ada orang yang
membuatnya. Hal ini sebagai representasi sifat sosial dari manusia. Marx juga
menyebutkan, realitas kita sangat tergantung pada komoditas dan pasar, dan
lambat laun ekonomipun tidak bisa dikendalikan dengan mudah karena memiliki
dampak pada setiap individu lain.
Dewasa ini, gambaran fetisisme yang
dikemukakan oleh Marx dapat dilihat melalui media-media. Dimana ada individu di
belakangnya yang berperan dalam mengatur konten dan produksinya, diciptakan
untuk kepentingan dirinya sendiri, dipertontonkan pada khalayak publik,
sehingga menciptakan sebuah realitas tertentu. Ketika publik menerima realitas
tersebut dan “termakan” oleh konten yang ada, maka yang dijadikan komoditas
bukan lagi konten dalam media tersebut, tetapi publiklah yang menjadi komoditas
itu sendiri. Pada akhirnya saat publik menjadi komoditas, media memiliki peran
kapitalis yang memperdagangkan komoditasnya, yaitu publik. Contoh lain dari
sisi kapitalis dapat dilihat di mana kepemilikan media menurut data kepemilikan
media 2015, berjumlah 13 orang dari total seluruh media di Indonesia. Tidak
dapat dipungkiri jika media memang selalu menghadirkan konten yang bertujuan
untuk kepentingan pemiliknya. Hasilnya adalah konglomerasi media, dan
manipulasi media dalam menciptakan kesadaran palsu.
Media: Menciptakan Kesadaran Palsu
Tidak jauh dari memanipulasi publik, kesadaran
palsu bertujuan untuk menciptakan sebuah realitas yang pada dasarnya salah,
tetapi seakan-akan publik sebagai komoditas merasakan bahwa realitas yang salah
tersebut adalah benar dan menjadi acuan dalam membuat keputusan. Proses
manipulasi media ini difokuskan pada penyiaran televisi sebagai sarananya,
karena televisi memegang peranan besar baik secara efek visual dan audio serta
distribusinya yang meluas dan mempertimbangkan fleksibilitasnya dalam akses
media.
Dalam proses penyebaran konten tersebut, media
berperan sebagai jembatan yang menghubungkan antara masyarakat dengan dunia
luar. Hal ini dimanfaatkan oleh media yang notabene memiliki akses informasi
lebih untuk mengemas informasi, ada beberapa oknum yang akhirnya menambah dan
mengurangi data. Sampai akhirnya media dengan sengaja melakukan aktivitas
propaganda secara terus-menerus. Dalam teori kultivasi, di mana menyebutkan
efek jangka panjang televisi pada penontonnya akan menciptakan sebuah realitas
dalam pikiran mereka. Memanfaatkan realitas ini, media turut menyiarkan
konten-konten yang bersifat “false” atau palsu. Ketika “kepalsuan” ini
terus-menerus disiarkan, maka akan menciptakan sebuah realitas yang turut
“palsu”, hasilnya publik seperti dicuci otak dan mempercayai realitas palsu
ini, di mana disebut juga dengan kesadaran palsu.
Setelah lewat zaman kolonialisme, Indonesia
mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Soeharto. Industri media tidak lagi
ketergantungan terhadap subsidi pemerintah atau partai. Pada saat itu, media
telah masuk ke dalam masa baru yang disebut sebagai era bisnis dalam media,
masuklah dalam era konglomerasi media. Bahwa di sini media telah mengalami ketergantungan
dengan pihak swasta, media tidak lagi bisa dikatakan sebagai insititusi sosial.
Media telah menjadi perusahaan bisnis sebagaimana perusahaan lainnya, yaitu
profit dan laba menjadi motivasinya. Saat ini yang dikejar media adalah
menyebarkan informasi atau hiburan yang disukai oleh pasar. Biasanya konten
yang mengandung tiga unsur seperti seks, kekerasan, dan horror laku di pasaran.
Terbukti dari data Kementrian Komunikasi dan Informasi bahwa pada 2013,
Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara pengakses situs pornografi di dunia
maya. Dan jumlah itu terus meningkat setiap tahunnya.
Etika Komunikasi dan Masalah Pornografi
A. Definisi Pornografi
Pornografi dapat didefinisikan sebagai
representasi eksplisit (gambar, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau
hal yang tidak senonoh dan bertujuan untuk dikomunikasikan ke publik. Mesum,
cabul, atau tidak senonoh dipahami sebagai sesuatu yang melukai dengan sengaja perasaan
malu atau susila dengan membangkitkan representasi seksualitas. Bisa saja
penilaian terhadap pornografi bersifat subjektif karena mengacu pada situasi
mental atau afektif seseorang. Akan tetapi, ukuran penilian tidak berhenti pada
subjektivitas saja melainkan didasarkan pula pada lingkungan dan komunitas
setempat. Definisi mengenai pornografi akan lebih jelas lagi apabila produk
pornografi seperti film, gambar, dsb tidak mengandung nilai seni, sastra,
ilmiah, atau politik.
Definisi di atas menciptakan pertanyaan lebih
lanjut apabila pornografi sudah diartikan melalui representasi mental seseorang
misalnya dilihat dari kepercayaan, ingatan, dsb. Atau didefiniskan pula dengan
objek fisik dan objek abstrak tertentu. Objek fisik adalah yang terkait dengan
perlengkapan objek seksual seperti pakaian dalam dan objek abstrak adalah yang
dilihat dengan pendekatan budaya atau masyarakat tertentu misalnya di Bali pada
tempo dulu perempuan telanjang dada.
Namun representasi publik terhadap pornografi
tidak bisa begitu saja dikatan relatif karena persepsi dan kategori yang
digunakan komunitas tertentu tidak sepenuhnya relativis. Ada semacam acuan pada
konsepsi umum mengenai seni, misalnya, maksud pengarang/seniman dalam membuat
sebuah karya seni, adanya apresiasi karya seni yang dapat dipertanggung-jawabkan,
dan konsepsi moral (menolak dehumanisasi dan pengobjekkan).
Argumen Penolakan Pornografi dan Etika Minimal
Dalam perdebatan publik, ada tiga alasan utama
yang dikemukakan dalam menolak pornografi, (1) perlindungan terhadap remaja
atau anak-anak, (2) mencegah perendahan martabat perempuan, (3) mencegah sifat
subversif yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat
(Haryatmoko,2003:7). Pornografi dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan
psiksis dan kekacauan perilaku pada anak-anak dan remaja. Pornografi cenderung
digunakan remaja sebagai pegangan perilaku seksualnya. Padahal aktivitas yang
menyangkut pornografi sama sekali tidak ada ungkapan rasa, mengabaikan afeksi,
dan mereduksi pasangan perempuan sebagai objek pemuasan diri.
Pornografi dapat menimbulkan rangsangan
seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang
lain dan diri sendiri.
Etika minimal terdiri atas tiga pilar, yaitu
sebagai berikut;
1.
Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”.
Dalam kasus ini adalah kebebasan untuk memilih akan apa yang baik bagi dirinya
dalam hal seksualitas.
2.
Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain.
Prinsip ini sangat peduli terhadap efek yang menimpa individu, dapat berupa
kerugian fisik atau psikologis.
3.
Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada
suara atau kepentingan setiap orang. Prinsip ini melihat pada kewajiban setiap
orang untuk tidak menjadikan orang lain sebagai sarana, tetapi tujuan pada
dirinya.
Pada
prinsip-prinsip tadi, prinsip tiga dan empat menjamin kesetaraan sehingga
berfungsi sebagai pengatur hubungan dengan pihak lain dengan menghindari segala
bentuk paternalisme.
Hukum
Represif, Perempuan Menjadi Korban
Dalam
konteks ini, penilaian moral yang bertanggung jawab dengan berdasarkan pada
verifikasi, artinya bila dilihat dalam sudut logika, silogisme, premis minor,
selalu berhubungan dengan fakta. Jadi apa yang terkait dengan fakta harus bisa
dipertanggungjawabkan lewat proses verifikasi. Misalnya, harus dicek lebih dulu
dengan suatu penelitian bahwa menonton film porno dapat meningkatkan tingkat
perkosaan. Dalam teori peniruan, orang yang sering menonton konten pornografi,
semakin orang tersebut terdorong untuk memerkosa. Namun dalam teori catharis, ketika seseorang semakin
sering mengonsumsi pornografi, semakin orang itu tidak ingin melakukan.
Yang
terpenting adalah bagaimana hukum yang melarang pornografi tidak membuat
perempuan menjadi korban lagi. Dalam banyak bentuk peraturan cara berpakaian
dan seni cenderung membatasi perempuan sehingga berdampak juga pada lingkup
ekspresi perempuan semakin dibatasi.
Selain
itu, pornografi dianggap merendahkan nilai seksualitas perkawinan. Konten
tersebut tidak menghargai cinta-penuh-perasaan dalam hubungan. Sejalan dengan
menyebarnya nilai hedonis, pornografi cenderung mengkedepankan kenikmatan dan
pengakuan akan kebiasaan seksual yang tidak wajar.
Media
sebagai wadah penyebarnya cenderung menampilkan sesuatu yang sensasional
sehingga para insan media lebih memilih untuk menayangkan konten pornografi.
Dalam beberapa perdebatan ini, tampak bahwa perdebatan tentang pornografi bukan
hanya masalah konseptual, tetapi menyangkut
masalah pengambilan sikap moral dan politik.
Permasalahan
pornografi menjadi pelik karena, pertama,
dapat menghambat kebebasan
berekspresi, terutama bila mengandung nilai seni. Kedua, menghadapi
hak akan informasi. Dan ketiga, menjamin
hak untuk memenuhi kebutuhan dan pilihan pribadi, bila pilihan ini tidak
melukai orang lain.
Dalam
menghadapi ketiga masalah tadi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan batas pornografi supaya masalah yang ada tidak dialihkan menjadi
masalah relativisme. Masalah pornografi bukanlah masalah relativis bila
mempertimbangkan empat hal berikut:
1.
Mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni.
Diperhitungkan peran maksud pengarang dalam menentukan ciri-ciri karya seninya
2.
Mempertimbangkan konsepsi moral. Dasar ukuran
moral umum adalah apakah hal tersebut mengandung dehumanisasi atau terjadi
pengobjekkan pada manusia
3.
Perlu diperhitungkan reaksi emosional yang
ditimbulkan. Reaksi emosional macam apa yang ditimbulkan oleh karya yang
dibuat, misalnya rasa senang, jijik, atau rangsangan seksual.
4.
Perlu dipertimbangkan pandangan dari beberapa
teori psikologis, lewat teori catharis, imitasi,
dan pembiasaan.
Dari
keempat pertimbangan tersebut, penting untuk mendefinisikan secara
bertanggungjawab perbedaan antara seni dan pornografi, termasuk perbedaan
antara pornografi dan erotisme.
Pornografi dan Erotisme
Untuk
menghindari kecenderungan argumen otoritas, logika pornografi lebih jelas
dipahami bila dianalisis melalui mekanisme manipulasi ikon. Ikon merupakan
tanda yang mirip dengan apa yang digambarkannya. Ikon dapat berbentuk mirip
seperti aslinya atau gambar yang dicontohnya, bahkan bisa lebih daripada yang
aslinya (hiperrealitas).
Dalam
pornografi, gambar ingin memberikan semua yang ingin diketahui dan langsung
dimengerti tanpa harus lagi berpikir. Gambar yang ditayangkan harus jelas dan
sederhana, yang terpentingnya adalah harus sesuai dengan aslinya, bahkan bisa
lebih dari kenyataannya. Misalnya menonjolkan bagian tertentu dari tubuh. Dalam
pornografi, tidak ada konteks dan tidak ada tokoh subjek yang sebenarnya sehingga
tokoh yang dimaksud adalah fiktif dan tanpa identitas dan sejarah. Pornografi
mereduksi sesuatu yang hidup menjadi yang dapat dimanipulasi.
Ketika
seorang pasien laki-laki dimandikan oleh perawat, meski dalam keadaan telanjang
dan hanya berdua di kamar, kebanyakan pasien tidak mengalami ereksi karena
perawat mengalihkan perhatian dengan mengajak berbicara. Dalam kasus tadi, ada
ingatan, dan ada kehadiran orang lain yang tidak memungkinkan laki-laki
mendominasi. Analogi ini menjadi pelajaran bahwa keterlanjangan tidak selalu
mengancam moralitas karena ada konteks, ingatan, dan kisah. Dalam pornografi,
wacana kehilangan kemandiriannya karena hanya akan diperbudak untuk merangsang
hasrat seksual (Haryatmoko,2007: 99).
Ada
empat dampak langsung ketika prinsip pornografi dilihat sebagai “semua harus
sangat kelihatan”, yaitu depersonalisasi tubuh, tiadanya tuntutan kebenaran,
tirani terhadap liyan, dan estetika buruk-muka. Pertama, depersonalisasi tubuh adalah hilangnya kepribadian tubuh
dipahami sebagai upaya menarik keluar semua hal yang merepresentasikan
kepribadian seseorang. Pornografi menampilkan wajah kekerasan seksualitas.
Hubungannya jadi mengobjekkan, yaitu suatu bentuk dominasi supaya tercapai
fantasme. Kedua, tiadanya tuntutan
kebenaran disebabkan oleh gambar yang sudah memperlihatkan secara jelas
sehingga penonton tidak lagi harus menebak atau menafsirkan. Dengan demikian,
berkurang tuntutan akan kebenaran karena pornografi menolak yang tersembunyi.
Pada saat itu, proses pembodohan terjadi karena audiens tidak diajak untuk
berpikir sehingga yang diminta hanyalah menelan, mengonsumsi supaya hasrat seks
terangsang. Ketiga, tirani terhadap
liyan terjadi karena subjektivitas liyan dilucuti. Perjumpaan direduksi hanya
sebagai hubungan dominasi. Dalam hubungan semacam ini, yang dicari hanyalah
kenikmatan diri. Keempat, estetika
buruk-muka sangat menonjol dalam pornografi. Ketelanjangan ditampilkan tanpa
keprihatinan sehingga obsesi utama adalah merangsang hasrat seks dan
keingintahuan yang membuat penonton tidak lagi memedulikan segi estetis.
Berbeda
dengan erotisme, karena memungkinkan suatu gaya, bahasa, dan penantian sehingga
dapat menerima kehadiran liyan. Erotisme adalah seni waktu. Pada pornografi,
manipulasi ikon membuat gambar dikosongkan dari waktu, tanpa kisah. Sedangkan
dalam erotisme, gambar berkisah dalam waktu dan terbuka terhadap kebaruan.
Dalam erotisme, lebih ditampakkan pengungkapan
hasrat daripada hanya menunjukkan tubuh yang telanjang. Maka, butuh toleran
terhadap waktu dan membiarkan adanya perkembangan. Dalam erotisme, ada kisah,
memiliki konteks, dan menolak segala bentuk ketergesaan. Erotisme memahami
risiko hubungan yang sampai pada hasrat manusiawi. Keindahan dalam erotisme
bukan sekadar perayaan kenikmatan diri, melainkan cara untuk memberi wajah pada
tubuh. Misalnya pada gambar yang dikenal dengan G-rate, era zaman Edo yang
dicetak dalam "The Great Wave at Kanagawa." Koleksi karya-karya hebat
dari Hokusai, Kitagawa Utamaro dan Utagawa Kunisada, yang menggebrak arti tabu
selama lebih 300 tahun, akan diperlihatkan. Namun meskipun gambar-gambar Shunga
adalah gambar-gambar yang erotis, para pembuat shuga masih tetap digolongkan
sebagai seorang pekerja seni. Hal ini dikarenakan pembuatan Shunga disebut
sebagai salah satu pergerakan untuk mengekspresikan kehidupan masyarakat urban.
Semua erotisme selalu berisiko menjadi
pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme
dan pornografi, selain karena subjektivitas penilaian yang juga disebabkan oleh
ambiguitas karya tersebut. Nilai seni terletak dalam muatan wacana, kisah,
konteks, dan ingatan, yang akan
menentukan kelembutan dan intensitas representasi tubuh. Karya seni biasanya
membiarkan dilihat tanpa perlu menunjukkan diri. Kerentanan bereskpresi dalam
seni yang menyelipkan erotisme berasal dari penilaian moral. Bila kriteria
moral menjadi dasar penilaian, keindahan akan menjadi menakutkan dan mengancam.
Dinamika
seni sangat sarat akan kontradiksi sehingga semua bentuk analisis dan penilaian
konseptual akan berunjung pada kekecewaan. Padahal seni terbuka pada yang tak
terkatakan dan tetap menyimpan kreativitas meski tidak terlihat secara jelas.
Seni mengajar sesatu, mempertajam cara pandang sehingga membantu untuk memahami
dunia secara lebih matang.
Setelah
melihat secara lebih jeli batas-batas seni dan unsur yang mengarah pada
pornografi, pelarangan atau regulasi oleh negara. Lalu negara tidak terlalu
gegabah membuat regulasi yang dapat membatasi kebebasan berkespresi atau hak
akan informasi. Namun saat ini lembaga penyiaran seperti KPI mulai bertindak
membatasi konten-konten yang dirasa-rasa mengandung pornografi. Namun regulasi
tersebut dianggap terlalu bias batasannya sehingga media penyiar menyensor
konten yang seharusnya tidak perlu disensor. Misalnya sensor terhadap tokoh
tupai bernama Sandy di kartun Spongebob Squarepants yang menggunakan bikini.
Padahal adegan dan gambar Sandy tidak mengundang hasrat seksual. Akibat
penyensoran tersebut penonton menjadi risih dan malah tidak terhibur. Sampai akhirnya
kritik terhadap regulasi sensor itu ditulis oleh beberapa media, khususnya
media online seperti metrotvnews.com dan tempo.co dalam kanal opininya.
Negara
memang berhak menetapkan kriminal tindak prostitusi, pornografi, aborsi,
selingkuh, atau perilaku seksual tertentu. Namun dalam negara demokrasi, masyarakt
berhak untuk bersikap kritis, kebebasann individu, kebebasan berekspresi, dan menuntut
peninjuan kembali wilayah kompetensi negara dalam hal moral. Setidaknya orang
berharap bahwa penetapan hukum tidak menjadi proses pengaturan sepihak oleh
negara.
Paternalisme Negara = Polisi Moral
Dalam
bukunya, Haryatmoko menjelaskan bahwa campur tangan negara dalam hal moral
orang perseorangan sarat dengan dilemma. Di satu pihak, bila negara banyak
mengurus dan ikut campur dalam hal moral, kecenderungan dapat mempersempit
kebebasan warga negara. Dengan banyak campur tangan pada lingkup privat, ruang
publik menjadi rentan karena banyaknya pembatas koersif. Hukum menjadi alibi
tanggung jawab, masyarakat menghindar dari tanggung jawab tersebut karena hukum
terlalu koersif. Suasana tersebut mendorong keadaan pembodohan masyarakat.
Namun di lain pihak, ketika kebebasan seseorang merugikan pihak lain, campur
tangan negara sulit di tolak.
Sikap
paternalistik negara biasanya mengatasnamakan tujan baik. Pertama, menjaga keteraturan dan kepantasan konten publik dengan
melindungi anak-anak. Anak-anak dianggap rentan yang tidak berpengalaman dari
pengaruh gambaran media. Terungkap dalam sebuah teori pembelajaran sosial yang .
Teori ini menjelaskan bahwa khalayak menirukan apa yang mereka lihat di media
melalui sebuah proses yang dikenal sebagai observational learning. Semakin kita
mengidentifkasikan diri kita dengan sebuah karakter–yang lebih menyerupai kita
atau keinginan untuk menjadi seseorang yang kita inginkan dari media
tersebut–semakin besar kemungkinan kita untuk meniru tingkah lakunya. Kedua, melindungi perempuan agar tidak
diperlakukan sebagai objek atau menjadi korban eksploitasi, pelecehan atau
kekerasan seksual. Ketiga, mencegah
dan menghukum semua yang dikategorikan melanggar batas moral di luar
pernikahan.
Meski
tujuan ini tampak luhur, campur tangan negara malah cenderung memberatkan
beberapa pihak. Pertama, tujuan
tersebut mempertanyakan otonomi moral. Kemampuan seseorang untuk menentukan
yang baik dan jahat diragukan. Padahal ketika masyarakat dilatih untuk berpikir
kritis, sensor tidak terlalu berlebihan seperti sekarang. Negara menjadi polisi
moral yang mengawasi gerak-gerik perilaku warganya, dan akan mencurigai semua
bentuk hubungan orang dewasa. Moralisme yang berlebihan akan membatasi
kreativitas masyarakat karena mobilitas individu amat dibatasi dan dikontrol. Kedua, prinsip subsidiaritas tidak
dihormati. Prinsip tersebut adalah bila individu atau kelompok yang lebih kecil
dengan kemampuan dan sarana yang ada bisa menyelesaikan, dan kelompok yang
lebih besar atau negara tidak perlu ikut campur. Diabaikannya prinsip ini dapat
melemahkan pran civil society dan
inisiatif dari bawah. Ketiga, ada
kehendak mengontrol massa yang dianggap berbahata dengan melindungi dari
pengaruh gagasan jelek pornografi,
Landasan
pelarangan pornografi menjadi menarik ketika argument kelompok tradisional
bertemu titik pada kelompok liberal yang sama-sama tidak setuju dengan pornografi.
Pada sisi tradisional, ketidaksetujuannya kelompok tersebut dianggap mengancam
nilai keluarga. Sedangkan pada sisi kelompok liberal, pornografi dilihat dalam
visi hubungan manusia yang selalu dipandang dari sisi instrumental, hedonis,
dan mengacaukan dengan makna cinta. Dalam pornografi, tercipta semacam hubungan
antara subjek dan pribadi imajiner dalam kertas atau layar. Dengan demikian,
orang dibawa dari realitas menuju fantasi. Akibatnya, yang mau ditonjolkan
hanya hasrat seksual, cinta dikalahkan oleh kepuasan dorongan nafsu seks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar