Senin, 30 Mei 2016

Manipulasi Media dan Kesadaran Palsu, pornografi dan kekerasan, serta propaganda dalam media/pers

1.      Manipulasi Media dan Kesadaran Palsu
Manipulasi media dapat disebabkan oleh banyak hal. Namun ketika masuk ke dalam konteks pornografi dan kekerasan, terdapat dua jalan media memanipulasi informasi yakni dengan konglomerasi media dan framing.
A.     Definisi Konglomerasi
Istilah konglomerasi diambil dari perbendaharaan bahasa inggris yaitu conglomerate. oleh karena itu sebagai batasan awal, konglomerasi perlu diberikan batasan pengertian dari istilah tersebut. Dalam jurnal Kajian Yuridis Terhadap Keberadaan Konglomerasi di Indonesia, Joko Wiwoho mengutip pernyataan Henry Campbell, yang mengatakan bahwa konglomerasi adalah: A corporate that has diversified its operations usually by acquiring enterprises in widely varied industries.
Dalam definisi itu, Henry Campbell meninjau bahwa konglomerasi sebagai suatu perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha dan dalam operasionalnya mengakuisisi perusahaan lain untuk memperbesar atau memperluas variasi industrinya. Titik berat dari institusi konglomerasi adalah dikumpulkan, digabungkan, atau diintegrasikan lebih dari satu perusahaan dalam sebuah perusahaan kelompok. Ditinjau dari ruang lingkup usahanya, perusahaan yang berkonglomerasi biasanya mengupayakan untuk menunjang bidang usaha lainnya (Vertikal/Up Stream) atau bidang usaha yang tidak saling berkaitan (horizontal/down stream) maupun perusahaan yang mempunya bidang usaha dari hulu ke hilir dari sebuah produk barang (diagonal).
Konglomerasi di Indonesia
Setelah reformasi (1998), konglomerasi media menjadi corak industri media di Indonesia. Semakin lama pola itu berkembang semakin pesat. Mencengkeram semakin dalam pada sistem operasi media di Indonesia. Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya dikonsumsi, dilihat dan didengar setiap hari ternyata hanya dikendalikan oleh 12 group media saja. Kelompok media tersebut memiliki kepentingannya masing-masing dan membanjiri publik dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik mereka yang me-manisfestasi-kan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik. Akibatnya, media seperti televisi kerap melakukan politisasi dalam sebuah berita yaitu dengan memilih narasumber yang cenderung berpihak kepada mereka. Misalnya Metro Tv saat pemilu 2014 mengundang BJ Habibie dalam program Mata Najwa. Habibie merupakan seorang tokoh besar Indonesia yang saat itu dukungannya condong ke pasangan Jokowi-JK. Saat itu Habibie sempat memberikan pernyataan bahwa, “Hanya Jokowi yang cocok menjadi presiden RI!”
B.     Definisi Framing
Framing adalah cara pengemasan peristiwa yang terjadi. Framing tidak berbohong, tapi ia mencoba membelokkan fakta dengan halus melalui penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi, atau gambar, hingga meniadakan informai yang seharusnya disampaikan. Framing bertujuan untuk membingkai sebuah informasi agar terbentuklah sebuah citra, kesan, atau makna tertentu yang diinginkan oleh pihak media. Framing dilakukan dengan cara penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi, atau gambar, dan sampai dalam meniadakan informasi. Berikut beberapa metode framing yang biasa dilakukan media, yaitu;
1.      Cover both side, hanya saja porsi bicara tidak berimbang. Artinya bila satu orang diberikan ruang untuk berbicara, orang lainnya juga memiliki hak yang sama. Namun dalam metode ini, salah satu orang diberikan hak berbicara tidak sama dengan porsi orang lainnya. Media biasanya melakukan metode ini dengan mengutip pendapat salah satu orang ala kadarnya, atau dikutip bagian yang tidak menjawab persoalan.
2.      Berita yang disampaikan sesuai fakta, tetapi menggunakan sudut pandang tertentu. Bahwa ada pemilihan fakta dan data-data tertentu agar dapat membentuk opini publik dengan sudut pandang tertentu, misalnya dalam demo buruh salah satu media membuat berita dengan judul, “Sampah Menggunung Setelah Demo Buruh.” Judul tersebut dapat memunculkan sudut pandang lain yaitu masyarakat tidak lagi simpati pada buruh melainkan geram karena demo yang malah menghasilkan pemandangan yang tidak enak dilihat.
3.      Penggunaan kata sifat yang bernada positif atau negatif. Metode ini nantinya akan membentuk penilain terhadap seseorang. Ketika media berkata Ahok adalah gubernur tegas, biasanya mayoritas pendapat publik akan mengarah pada apa yang media katakan.
4.      Menyeleksi gambar dan menyisipkan musik. Dengan adanya kedua hal ini, masyarakat dapat memberikan penilaian berupa apa yang digambarkan media di beritanya. Dalam penyeleksian gambar biasanya media fokus meliput sebagian kegiatan sang tokoh. Misalnya pemberitaan tentang Ahok pasti selalu soal kegiatan blusukan dan marah-marahnya dan selalu dilatar belakangi musiknya tegang. Dengan adanya sarana audiovisual, persepsi masyarakat menjadi mudah terbentuk dan akhirnya sudut pandang pun mengikuti apa yang media gambarkan.
Dengan adanya kolaborasi antara konglomerasi dan framing, opini masyarakat mudah digiring menuju suatu pemikiran yang diinginkan oleh pihak tertentu. Kegiatan manipulasi informasi ini juga bisa disebut sebagai propaganda.
C.     Definisi Propaganda
Propaganda adalah aktivitas atau kegiatan yang direncanakan dan dijabarkan dengan kata atau tindakan atau kombinasi keduanya yang bermaksud mengubah suatu sikap dengan tujuan mengubah tingkah laku secara sukarela. Dengan cara framing, media melakukan aktivitas propaganda yang secara halus menarik sudut pandang dan opini mayoritas ke dalam suatu pemikiran yang diinginkan oleh pihak tertentu yang berkepentingan. Dalam sebuah negara demokrasi, opini publik dapat dengan mudah digiring dan dibentuk. Seperti yang dikatakan oleh Rianne Subijanto , “Pondasi penting propaganda adalah emosi, ideologi dan nilai-nilai, dalam masyarakat yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai rasionalitas, seperti sikap kritis dan hak bertanya, biasanya target empuk propaganda adalah dengan mengeksploitasi emosi.”
Media yang mempunyai dampak dahsyat dimanfaatkan oleh orang atau kelompok tertentu untuk menyebarkan doktrin ideologinya kepada masyarakat. Dengan adanya aktivitas-aktivitas media yang mengedepankan keuntungan bagi perusahaannya dengan berbagai cara – framing dan propaganda, masyarakat cenderung dibawa sudut pandang dan cara berpikirnya oleh media sehinggu masyarakat mengalamai keadaan yang bernama kesadaran palsu.
D.     Definisi Kesadaran Palsu
Kesadaran palsu, yakni suatu situasi, di mana orang tidak sadar, bahwa ia sebenarnya sedang ditindas. Di dalam masyarakat kapitalis, kata Marx, kaum buruh mengalami penindasan, tetapi mereka tidak merasakannya sebagai penindasan, dan bahkan merayakan penindasan itu.
Di dalam kajian psikologi, hal ini seringkali disebut sebagai sindrom Stockholm, yakni suatu situasi, di mana korban/tawanan merasakan empati pada pelaku kejahatan. Banyak kaum buruh membela tuannya, walaupun tuannya telah jelas-jelas bersikap tidak adil dan tidak manusiawi terhadap dirinya.
Kesadaran palsu merupakan sebuah konsep yang berasal dari pemikiran marx tentang teori kelas sosial. Konsep kesadaran palsu sendiri mengacu pada kekeliruan hubungan sosial antara kelas dominan dan kelas bawahan. Kesadaran palsu diperkenalkan oleh Friedrich Engels, yakni dalam suratnya kepada Franz Mehring (14 Juli 1898). Konsep ini pada awalnya diungkapkan marx dari “ideologi dan fetisisme komoditas”.
Ideologi
Menurut KBBI, ideologi adalah “kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.”
Ideologi menurut Marx adalah sebuah cara berpikir yang tidak tepat tentang dunia. Menurutnya dalam teori kelas sosial, latar belakang munculnya ideologi adalah sebagai pembenaran usaha para kaum proletar (bawahan, buruh, dll) atas ketidakseimbangan antara usaha dan upah. Kaum borjuis (pemilik modal, pengupah, ahli, dll) yang memonopoli kaum proletar menciptakan ideologi yang dapat diterima kaum proletar tersebut agar mereka tetap membenarkan diri mereka untuk bekerja, padahal usaha dan upah tidak sebanding. Faktor ini yang memunculkan ideologi-ideologi dan lahirnya kapitalisme. Maka dari itu bisa disimpulkan menurut Marx. Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan sehingga orang menganggapnya sah padahal tidak sah. Misalnya klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas atas.
Ideologi dalam arti yang sebenarnya bukan sarana yang digunakan kelas atas untuk menipu. Ideologi benar-benar dipercayai seluruh masyarakat dengan polos. Akan tetapi, agama, moralitas dan berbagai nilai budaya dengan sendirinya menguntungkan kelas atas. Hal ini disebabkan karena kelas atas yang menguasai sarana produksi materil dan spiritual yang berarti hanya kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pikiran-pikiran mereka. Kesimpulan dari kritik Marx terhadap ideologi adalah kita sebaiknya curiga jika penguasa mengkhotbahi masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta kewajiban-kewajiban moral mereka karena tanpa disadari, khotbah seperti itu penuh dengan doktrin berkedok. Contoh melalui agama dan moralitas, dilarang membunuh dan mencuri bahkan untuk iri hatipun dilarang, hal ini merupakan keuntungan bagi kelas atas, bukan? Contoh lain dewasa ini, DPR merevisi UU yang di mana berisi ketika KPK ingin melakukan pengecekan terkait KKN, harus meminta izin dan laporan pada DPR terlebih dahulu. Mengapa harus meminta izin pada pelaku KKN itu sendiri?
Menurut Friedrich Engels, ideologi adalah sebuah proses yang dicapai dengan sadar oleh seorang pemikir, atau lebih tepatnya sebuah kesadaran palsu. Friedrich juga menyebutkan bahwa sebuah ideologi bermotif atau berasal dari pemikiran seseorang secara independen maupun lanjutan dari pemikiran orang sebelumnya. Karena pemikiran independen tersebut Friedrich juga menyebutkan bahwa setiap ideologi muncul karena bertujuan untuk kepentingan tertentu.
Kelas pekerja di negara-negara kapitalis maju yang menurut Marx akan menuju revolusi proletariat justru berhasil memperbaiki keadaan mereka dan menjadi pendukung sistem ekonomi kapitalis sebagai hasil dari pembenaran diri mereka akan usaha yang tidak sebanding dengan upah tersebut. Kemajuan pekerja ini tentu bukan hadiah dari kaum pemilik modal, tetapi merupakan hasil perjuangan para pekerja itu sendiri tanpa perlu melakukan revolusi. Oleh karena itu, apa yang dikatakan Marx bahwa perbaikan sosial hanya bisa tercapai melalui revolusi itu tidak benar. Hal yang benar adalah setiap perbaikan sosial harus diperjuangkan. Selain itu, pandangan bahwa negara secara hakiki adalah negara kelas belum tentu benar. Di negara yang tidak menganut sistem demokrasi hal itu memang terjadi. Namun, di negara dengan sistem demokrasi, negara bukanlah negara kelas. Semakin demokratis suatu negara maka negara tersebut semakin tidak menjadi negara kelas.
Fetisisme Komoditas
Pada awalnya fetisisme (dari kata fetish) tidak bernuansa sensual, karena nuansa fetish diciptakan oleh Freud dalam tulisannya. Sementara Marx menerangkan tentang fetisisme sebelum tulisan Freud tersebut.
Marx merujuk pada kaum-kaum tertentu (biasa penganut agama tertentu) yang memahat dan membuat patung dan kemudian menyembahnya, inilah yang dimaksud Marx dengan fetish, sesuatu yang kita buat untuk diri kita sendiri, akan tetapi sekarang kita menyembahnya, dan sekarang dia menjadi layaknya “dewa”.
Dalam kapitalisme, produk-produk yang kita “buat”, dan ekonomi-ekonomi yang terbentuk dari segala pertukaran yang kita lakukan, semua seakan-akan memiliki “nyawa”. Bisa diartikan ekonomi akan terus berjalan baik manusia menginginkannya atau tidak. Menurut Marx, segala sesuatu muncul dan hadir karena ada orang yang membutuhkannya dan ada orang yang membuatnya. Hal ini sebagai representasi sifat sosial dari manusia. Marx juga menyebutkan, realitas kita sangat tergantung pada komoditas dan pasar, dan lambat laun ekonomipun tidak bisa dikendalikan dengan mudah karena memiliki dampak pada setiap individu lain.
Dewasa ini, gambaran fetisisme yang dikemukakan oleh Marx dapat dilihat melalui media-media. Dimana ada individu di belakangnya yang berperan dalam mengatur konten dan produksinya, diciptakan untuk kepentingan dirinya sendiri, dipertontonkan pada khalayak publik, sehingga menciptakan sebuah realitas tertentu. Ketika publik menerima realitas tersebut dan “termakan” oleh konten yang ada, maka yang dijadikan komoditas bukan lagi konten dalam media tersebut, tetapi publiklah yang menjadi komoditas itu sendiri. Pada akhirnya saat publik menjadi komoditas, media memiliki peran kapitalis yang memperdagangkan komoditasnya, yaitu publik. Contoh lain dari sisi kapitalis dapat dilihat di mana kepemilikan media menurut data kepemilikan media 2015, berjumlah 13 orang dari total seluruh media di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri jika media memang selalu menghadirkan konten yang bertujuan untuk kepentingan pemiliknya. Hasilnya adalah konglomerasi media, dan manipulasi media dalam menciptakan kesadaran palsu.
Media: Menciptakan Kesadaran Palsu
Tidak jauh dari memanipulasi publik, kesadaran palsu bertujuan untuk menciptakan sebuah realitas yang pada dasarnya salah, tetapi seakan-akan publik sebagai komoditas merasakan bahwa realitas yang salah tersebut adalah benar dan menjadi acuan dalam membuat keputusan. Proses manipulasi media ini difokuskan pada penyiaran televisi sebagai sarananya, karena televisi memegang peranan besar baik secara efek visual dan audio serta distribusinya yang meluas dan mempertimbangkan fleksibilitasnya dalam akses media.
Dalam proses penyebaran konten tersebut, media berperan sebagai jembatan yang menghubungkan antara masyarakat dengan dunia luar. Hal ini dimanfaatkan oleh media yang notabene memiliki akses informasi lebih untuk mengemas informasi, ada beberapa oknum yang akhirnya menambah dan mengurangi data. Sampai akhirnya media dengan sengaja melakukan aktivitas propaganda secara terus-menerus. Dalam teori kultivasi, di mana menyebutkan efek jangka panjang televisi pada penontonnya akan menciptakan sebuah realitas dalam pikiran mereka. Memanfaatkan realitas ini, media turut menyiarkan konten-konten yang bersifat “false” atau palsu. Ketika “kepalsuan” ini terus-menerus disiarkan, maka akan menciptakan sebuah realitas yang turut “palsu”, hasilnya publik seperti dicuci otak dan mempercayai realitas palsu ini, di mana disebut juga dengan kesadaran palsu.
Setelah lewat zaman kolonialisme, Indonesia mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Soeharto. Industri media tidak lagi ketergantungan terhadap subsidi pemerintah atau partai. Pada saat itu, media telah masuk ke dalam masa baru yang disebut sebagai era bisnis dalam media, masuklah dalam era konglomerasi media. Bahwa di sini media telah mengalami ketergantungan dengan pihak swasta, media tidak lagi bisa dikatakan sebagai insititusi sosial. Media telah menjadi perusahaan bisnis sebagaimana perusahaan lainnya, yaitu profit dan laba menjadi motivasinya. Saat ini yang dikejar media adalah menyebarkan informasi atau hiburan yang disukai oleh pasar. Biasanya konten yang mengandung tiga unsur seperti seks, kekerasan, dan horror laku di pasaran. Terbukti dari data Kementrian Komunikasi dan Informasi bahwa pada 2013, Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara pengakses situs pornografi di dunia maya. Dan jumlah itu terus meningkat setiap tahunnya.
Etika Komunikasi dan Masalah Pornografi
A.     Definisi Pornografi
Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh dan bertujuan untuk dikomunikasikan ke publik. Mesum, cabul, atau tidak senonoh dipahami sebagai sesuatu yang melukai dengan sengaja perasaan malu atau susila dengan membangkitkan representasi seksualitas. Bisa saja penilaian terhadap pornografi bersifat subjektif karena mengacu pada situasi mental atau afektif seseorang. Akan tetapi, ukuran penilian tidak berhenti pada subjektivitas saja melainkan didasarkan pula pada lingkungan dan komunitas setempat. Definisi mengenai pornografi akan lebih jelas lagi apabila produk pornografi seperti film, gambar, dsb tidak mengandung nilai seni, sastra, ilmiah, atau politik.
Definisi di atas menciptakan pertanyaan lebih lanjut apabila pornografi sudah diartikan melalui representasi mental seseorang misalnya dilihat dari kepercayaan, ingatan, dsb. Atau didefiniskan pula dengan objek fisik dan objek abstrak tertentu. Objek fisik adalah yang terkait dengan perlengkapan objek seksual seperti pakaian dalam dan objek abstrak adalah yang dilihat dengan pendekatan budaya atau masyarakat tertentu misalnya di Bali pada tempo dulu perempuan telanjang dada.  
Namun representasi publik terhadap pornografi tidak bisa begitu saja dikatan relatif karena persepsi dan kategori yang digunakan komunitas tertentu tidak sepenuhnya relativis. Ada semacam acuan pada konsepsi umum mengenai seni, misalnya, maksud pengarang/seniman dalam membuat sebuah karya seni, adanya apresiasi karya seni yang dapat dipertanggung-jawabkan, dan konsepsi moral (menolak dehumanisasi dan pengobjekkan).
Argumen Penolakan Pornografi dan Etika Minimal
Dalam perdebatan publik, ada tiga alasan utama yang dikemukakan dalam menolak pornografi, (1) perlindungan terhadap remaja atau anak-anak, (2) mencegah perendahan martabat perempuan, (3) mencegah sifat subversif yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat (Haryatmoko,2003:7). Pornografi dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan psiksis dan kekacauan perilaku pada anak-anak dan remaja. Pornografi cenderung digunakan remaja sebagai pegangan perilaku seksualnya. Padahal aktivitas yang menyangkut pornografi sama sekali tidak ada ungkapan rasa, mengabaikan afeksi, dan mereduksi pasangan perempuan sebagai objek pemuasan diri.
Pornografi dapat menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan diri sendiri.
Etika minimal terdiri atas tiga pilar, yaitu sebagai berikut;
1.      Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”. Dalam kasus ini adalah kebebasan untuk memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam hal seksualitas.
2.      Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain. Prinsip ini sangat peduli terhadap efek yang menimpa individu, dapat berupa kerugian fisik atau psikologis.
3.      Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan setiap orang. Prinsip ini melihat pada kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan orang lain sebagai sarana, tetapi tujuan pada dirinya.
Pada prinsip-prinsip tadi, prinsip tiga dan empat menjamin kesetaraan sehingga berfungsi sebagai pengatur hubungan dengan pihak lain dengan menghindari segala bentuk paternalisme.
Hukum Represif, Perempuan Menjadi Korban
Dalam konteks ini, penilaian moral yang bertanggung jawab dengan berdasarkan pada verifikasi, artinya bila dilihat dalam sudut logika, silogisme, premis minor, selalu berhubungan dengan fakta. Jadi apa yang terkait dengan fakta harus bisa dipertanggungjawabkan lewat proses verifikasi. Misalnya, harus dicek lebih dulu dengan suatu penelitian bahwa menonton film porno dapat meningkatkan tingkat perkosaan. Dalam teori peniruan, orang yang sering menonton konten pornografi, semakin orang tersebut terdorong untuk memerkosa. Namun dalam teori catharis, ketika seseorang semakin sering mengonsumsi pornografi, semakin orang itu tidak ingin melakukan.
Yang terpenting adalah bagaimana hukum yang melarang pornografi tidak membuat perempuan menjadi korban lagi. Dalam banyak bentuk peraturan cara berpakaian dan seni cenderung membatasi perempuan sehingga berdampak juga pada lingkup ekspresi perempuan semakin dibatasi.
Selain itu, pornografi dianggap merendahkan nilai seksualitas perkawinan. Konten tersebut tidak menghargai cinta-penuh-perasaan dalam hubungan. Sejalan dengan menyebarnya nilai hedonis, pornografi cenderung mengkedepankan kenikmatan dan pengakuan akan kebiasaan seksual yang tidak wajar.
Media sebagai wadah penyebarnya cenderung menampilkan sesuatu yang sensasional sehingga para insan media lebih memilih untuk menayangkan konten pornografi. Dalam beberapa perdebatan ini, tampak bahwa perdebatan tentang pornografi bukan hanya masalah konseptual, tetapi menyangkut  masalah pengambilan sikap moral dan politik.
Permasalahan pornografi menjadi pelik karena, pertama,  dapat menghambat kebebasan berekspresi, terutama bila mengandung nilai seni.  Kedua, menghadapi hak akan informasi. Dan ketiga, menjamin hak untuk memenuhi kebutuhan dan pilihan pribadi, bila pilihan ini tidak melukai orang lain.
Dalam menghadapi ketiga masalah tadi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan batas pornografi supaya masalah yang ada tidak dialihkan menjadi masalah relativisme. Masalah pornografi bukanlah masalah relativis bila mempertimbangkan empat hal berikut:
1.      Mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni. Diperhitungkan peran maksud pengarang dalam menentukan ciri-ciri karya seninya
2.      Mempertimbangkan konsepsi moral. Dasar ukuran moral umum adalah apakah hal tersebut mengandung dehumanisasi atau terjadi pengobjekkan pada manusia
3.      Perlu diperhitungkan reaksi emosional yang ditimbulkan. Reaksi emosional macam apa yang ditimbulkan oleh karya yang dibuat, misalnya rasa senang, jijik, atau rangsangan seksual.
4.      Perlu dipertimbangkan pandangan dari beberapa teori psikologis, lewat teori catharis, imitasi, dan pembiasaan.
Dari keempat pertimbangan tersebut, penting untuk mendefinisikan secara bertanggungjawab perbedaan antara seni dan pornografi, termasuk perbedaan antara pornografi dan erotisme.
Pornografi dan Erotisme
Untuk menghindari kecenderungan argumen otoritas, logika pornografi lebih jelas dipahami bila dianalisis melalui mekanisme manipulasi ikon. Ikon merupakan tanda yang mirip dengan apa yang digambarkannya. Ikon dapat berbentuk mirip seperti aslinya atau gambar yang dicontohnya, bahkan bisa lebih daripada yang aslinya (hiperrealitas).
Dalam pornografi, gambar ingin memberikan semua yang ingin diketahui dan langsung dimengerti tanpa harus lagi berpikir. Gambar yang ditayangkan harus jelas dan sederhana, yang terpentingnya adalah harus sesuai dengan aslinya, bahkan bisa lebih dari kenyataannya. Misalnya menonjolkan bagian tertentu dari tubuh. Dalam pornografi, tidak ada konteks dan tidak ada tokoh subjek yang sebenarnya sehingga tokoh yang dimaksud adalah fiktif dan tanpa identitas dan sejarah. Pornografi mereduksi sesuatu yang hidup menjadi yang dapat dimanipulasi.
Ketika seorang pasien laki-laki dimandikan oleh perawat, meski dalam keadaan telanjang dan hanya berdua di kamar, kebanyakan pasien tidak mengalami ereksi karena perawat mengalihkan perhatian dengan mengajak berbicara. Dalam kasus tadi, ada ingatan, dan ada kehadiran orang lain yang tidak memungkinkan laki-laki mendominasi. Analogi ini menjadi pelajaran bahwa keterlanjangan tidak selalu mengancam moralitas karena ada konteks, ingatan, dan kisah. Dalam pornografi, wacana kehilangan kemandiriannya karena hanya akan diperbudak untuk merangsang hasrat seksual (Haryatmoko,2007: 99).
Ada empat dampak langsung ketika prinsip pornografi dilihat sebagai “semua harus sangat kelihatan”, yaitu depersonalisasi tubuh, tiadanya tuntutan kebenaran, tirani terhadap liyan, dan estetika buruk-muka. Pertama, depersonalisasi tubuh adalah hilangnya kepribadian tubuh dipahami sebagai upaya menarik keluar semua hal yang merepresentasikan kepribadian seseorang. Pornografi menampilkan wajah kekerasan seksualitas. Hubungannya jadi mengobjekkan, yaitu suatu bentuk dominasi supaya tercapai fantasme. Kedua, tiadanya tuntutan kebenaran disebabkan oleh gambar yang sudah memperlihatkan secara jelas sehingga penonton tidak lagi harus menebak atau menafsirkan. Dengan demikian, berkurang tuntutan akan kebenaran karena pornografi menolak yang tersembunyi. Pada saat itu, proses pembodohan terjadi karena audiens tidak diajak untuk berpikir sehingga yang diminta hanyalah menelan, mengonsumsi supaya hasrat seks terangsang. Ketiga, tirani terhadap liyan terjadi karena subjektivitas liyan dilucuti. Perjumpaan direduksi hanya sebagai hubungan dominasi. Dalam hubungan semacam ini, yang dicari hanyalah kenikmatan diri. Keempat, estetika buruk-muka sangat menonjol dalam pornografi. Ketelanjangan ditampilkan tanpa keprihatinan sehingga obsesi utama adalah merangsang hasrat seks dan keingintahuan yang membuat penonton tidak lagi memedulikan segi estetis.
Berbeda dengan erotisme, karena memungkinkan suatu gaya, bahasa, dan penantian sehingga dapat menerima kehadiran liyan. Erotisme adalah seni waktu. Pada pornografi, manipulasi ikon membuat gambar dikosongkan dari waktu, tanpa kisah. Sedangkan dalam erotisme, gambar berkisah dalam waktu dan terbuka terhadap kebaruan.
 Dalam erotisme, lebih ditampakkan pengungkapan hasrat daripada hanya menunjukkan tubuh yang telanjang. Maka, butuh toleran terhadap waktu dan membiarkan adanya perkembangan. Dalam erotisme, ada kisah, memiliki konteks, dan menolak segala bentuk ketergesaan. Erotisme memahami risiko hubungan yang sampai pada hasrat manusiawi. Keindahan dalam erotisme bukan sekadar perayaan kenikmatan diri, melainkan cara untuk memberi wajah pada tubuh. Misalnya pada gambar yang dikenal dengan G-rate, era zaman Edo yang dicetak dalam "The Great Wave at Kanagawa." Koleksi karya-karya hebat dari Hokusai, Kitagawa Utamaro dan Utagawa Kunisada, yang menggebrak arti tabu selama lebih 300 tahun, akan diperlihatkan. Namun meskipun gambar-gambar Shunga adalah gambar-gambar yang erotis, para pembuat shuga masih tetap digolongkan sebagai seorang pekerja seni. Hal ini dikarenakan pembuatan Shunga disebut sebagai salah satu pergerakan untuk mengekspresikan kehidupan masyarakat urban.
Semua erotisme selalu berisiko menjadi pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme dan pornografi, selain karena subjektivitas penilaian yang juga disebabkan oleh ambiguitas karya tersebut. Nilai seni terletak dalam muatan wacana, kisah, konteks, dan ingatan, yang  akan menentukan kelembutan dan intensitas representasi tubuh. Karya seni biasanya membiarkan dilihat tanpa perlu menunjukkan diri. Kerentanan bereskpresi dalam seni yang menyelipkan erotisme berasal dari penilaian moral. Bila kriteria moral menjadi dasar penilaian, keindahan akan menjadi menakutkan dan mengancam.
Dinamika seni sangat sarat akan kontradiksi sehingga semua bentuk analisis dan penilaian konseptual akan berunjung pada kekecewaan. Padahal seni terbuka pada yang tak terkatakan dan tetap menyimpan kreativitas meski tidak terlihat secara jelas. Seni mengajar sesatu, mempertajam cara pandang sehingga membantu untuk memahami dunia secara lebih matang.
Setelah melihat secara lebih jeli batas-batas seni dan unsur yang mengarah pada pornografi, pelarangan atau regulasi oleh negara. Lalu negara tidak terlalu gegabah membuat regulasi yang dapat membatasi kebebasan berkespresi atau hak akan informasi. Namun saat ini lembaga penyiaran seperti KPI mulai bertindak membatasi konten-konten yang dirasa-rasa mengandung pornografi. Namun regulasi tersebut dianggap terlalu bias batasannya sehingga media penyiar menyensor konten yang seharusnya tidak perlu disensor. Misalnya sensor terhadap tokoh tupai bernama Sandy di kartun Spongebob Squarepants yang menggunakan bikini. Padahal adegan dan gambar Sandy tidak mengundang hasrat seksual. Akibat penyensoran tersebut penonton menjadi risih dan malah tidak terhibur. Sampai akhirnya kritik terhadap regulasi sensor itu ditulis oleh beberapa media, khususnya media online seperti metrotvnews.com dan tempo.co dalam kanal opininya.
Negara memang berhak menetapkan kriminal tindak prostitusi, pornografi, aborsi, selingkuh, atau perilaku seksual tertentu. Namun dalam negara demokrasi, masyarakt berhak untuk bersikap kritis, kebebasann individu, kebebasan berekspresi, dan menuntut peninjuan kembali wilayah kompetensi negara dalam hal moral. Setidaknya orang berharap bahwa penetapan hukum tidak menjadi proses pengaturan sepihak oleh negara.
Paternalisme Negara = Polisi Moral
Dalam bukunya, Haryatmoko menjelaskan bahwa campur tangan negara dalam hal moral orang perseorangan sarat dengan dilemma. Di satu pihak, bila negara banyak mengurus dan ikut campur dalam hal moral, kecenderungan dapat mempersempit kebebasan warga negara. Dengan banyak campur tangan pada lingkup privat, ruang publik menjadi rentan karena banyaknya pembatas koersif. Hukum menjadi alibi tanggung jawab, masyarakat menghindar dari tanggung jawab tersebut karena hukum terlalu koersif. Suasana tersebut mendorong keadaan pembodohan masyarakat. Namun di lain pihak, ketika kebebasan seseorang merugikan pihak lain, campur tangan negara sulit di tolak.
Sikap paternalistik negara biasanya mengatasnamakan tujan baik. Pertama, menjaga keteraturan dan kepantasan konten publik dengan melindungi anak-anak. Anak-anak dianggap rentan yang tidak berpengalaman dari pengaruh gambaran media. Terungkap dalam sebuah teori pembelajaran sosial yang . Teori ini menjelaskan bahwa khalayak menirukan apa yang mereka lihat di media melalui sebuah proses yang dikenal sebagai observational learning. Semakin kita mengidentifkasikan diri kita dengan sebuah karakter–yang lebih menyerupai kita atau keinginan untuk menjadi seseorang yang kita inginkan dari media tersebut–semakin besar kemungkinan kita untuk meniru tingkah lakunya. Kedua, melindungi perempuan agar tidak diperlakukan sebagai objek atau menjadi korban eksploitasi, pelecehan atau kekerasan seksual. Ketiga, mencegah dan menghukum semua yang dikategorikan melanggar batas moral di luar pernikahan.
Meski tujuan ini tampak luhur, campur tangan negara malah cenderung memberatkan beberapa pihak. Pertama, tujuan tersebut mempertanyakan otonomi moral. Kemampuan seseorang untuk menentukan yang baik dan jahat diragukan. Padahal ketika masyarakat dilatih untuk berpikir kritis, sensor tidak terlalu berlebihan seperti sekarang. Negara menjadi polisi moral yang mengawasi gerak-gerik perilaku warganya, dan akan mencurigai semua bentuk hubungan orang dewasa. Moralisme yang berlebihan akan membatasi kreativitas masyarakat karena mobilitas individu amat dibatasi dan dikontrol. Kedua, prinsip subsidiaritas tidak dihormati. Prinsip tersebut adalah bila individu atau kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada bisa menyelesaikan, dan kelompok yang lebih besar atau negara tidak perlu ikut campur. Diabaikannya prinsip ini dapat melemahkan pran civil society dan inisiatif dari bawah. Ketiga, ada kehendak mengontrol massa yang dianggap berbahata dengan melindungi dari pengaruh gagasan jelek pornografi,
Landasan pelarangan pornografi menjadi menarik ketika argument kelompok tradisional bertemu titik pada kelompok liberal yang sama-sama tidak setuju dengan pornografi. Pada sisi tradisional, ketidaksetujuannya kelompok tersebut dianggap mengancam nilai keluarga. Sedangkan pada sisi kelompok liberal, pornografi dilihat dalam visi hubungan manusia yang selalu dipandang dari sisi instrumental, hedonis, dan mengacaukan dengan makna cinta. Dalam pornografi, tercipta semacam hubungan antara subjek dan pribadi imajiner dalam kertas atau layar. Dengan demikian, orang dibawa dari realitas menuju fantasi. Akibatnya, yang mau ditonjolkan hanya hasrat seksual, cinta dikalahkan oleh kepuasan dorongan nafsu seks.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar