Senin, 30 Mei 2016

Kebebasan dan Tanggungjawab dan Keterkaitannya dengan Etika Komunikasi dalam Perilaku Media



Arti kebebasan
1.      Kebebasan Rakyat versus Kekuasaan Absolut
Demokrasi modern saat ini berawal dari pergerakan kedua negara yang sangat berjasa dalam memperjuangkan kebebasan dan kedaulatan rakyat, Inggris dan Perancis. Kebebasan sosial-politik pada saat ini tidak terbatas pada kedua negara tersebut namun juga punya relevansi pada universal. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh kebebasan sosial-politik dalam bentuk yang bersifat etis. Perkembangan dari monarki absolut ke demokrasi medern bukan hanya kenyataan historis melainkan juga suatu keharusan etis. Kedaulan harus tetap di tangan rakyat dan tidak boleh berada pada instansi lain. Itulah suatu tuntutan etis.
2.      Kemerdekaan versus kolonialisme
Di zaman modern ini timbul keyakinan bahwa tidaklah pantas suatu bangsa dijajah oleh bangsa lain. Setelah beramad-abad situasi kolonialisme dianggap lumrah, kini sistem itu ditolah secara umum sebagai tidak etis. Aspek etis tersebut ada dalam Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”

Masalah tanggung jawab kolektif
Yang dibicarakan sampai sekarang adalah tanggung jawab pribadi atau perorangan, artinya, tanggung jawab seseorang atas perbuatannya. Di samping itu, dalam etika seringkali diajukan pertanyaan apakah ada juga tanggung jawab kolektif atau tanggung jawab kelompok. Pertanyaan ini dijawab dengan jawaban yang berbeda-beda. Beberapa etikawan menerima tanggung jawab kolektif,
Ada etikawan yang berpendapat bahwa tanggung jawab kolektif merupakan paham yang berbahaya, karena bisa menyempatkan para penanggung jawab yang sesungguhnya untuk main tedeng aling-aling. Kami sendiri tidak mau terlalu menekankan aspek terakhir ini, tetapi di lain pihak dibedakan suatu rasa tanggung jawab kolektif. Rasa tanggung jawab seperti itu memang ada, bukan karena alasan-alasan psikologis. Suatu kelompok terikat karena faktor-faktor efektif (family atau bangsa yang sama), karena solidaritas (mempunyai tujuan yang sama)dank arena faktor-faktor sejarah serta tradisi.
Dimensi Etika Komunikasi
Hak untuk berkomunikasi di ruang publik merupakan hak yang paling mendasar. Bila hak itu tidak dijamin, hal ini akan mengebiri pikiran atau kebebasan berpikir sehingga tidak mungkin bisa ada otonomi manusia. Menurut Libois dalam buku Haryatmoko menyatakan bahwa hak untuk berkomunikasi di ruang publik ini tidak bisa dilepaskan dari otonomi demokrasi yang yang didasarkan pada kebebasan nurani dan kebebasan untuk untuk berekspresi. Jadi, untuk menjamin otonomi demokrasi ini hanya mungkin apabila hak untuk berkomunikasi di publik dihormati. Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi tersebut.
Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perilaku actor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Ia tidak dibatasi hanya pada deontologi jurnalisme (pandangan etika normatif yang menilai moralitas adalah tindakan patuh pada peraturan jurnalisme yang berlaku). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Maka, aspek sarana atau etika strategi dalam bentuk regulasi sangat perlu.

Deontologi Jurnalisme
Untuk mengimbangi kelemahan deontologi jurnalisme diperlukan undang-undang atau hukum. Di satu sisi, sebagai institusi, hukum dan undang-undang ini membantu mengorganisir tanggung jawab para aktor komunikasi. Dengan tuntutan yang jelas dan sanksi yang tegas, hukum mencegah agar orang tidak mangkir dari tanggung jawabnya. Dengan kata lain, undang-undang dan hukum menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku dan bahkan juga dari luar profesi. Di sisi lain, bila terlalu banyak aturan hukum, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi akan semakin dikebiri.
Campur tangan penguasa publik dan kritik ilmiah terhadap peran pers akan dimasukkan ke dalam kategori tiadanya kepedulian terhadap nilai demokrasi. Para aktor komunikasi menurut Libois selalu memegang slogan: “Semua upaya mengatur media melalui hukum akan membunuh informasi”. Dalam situasi dilematis seperti itu, negara harus dengan cermat bisa menemukan perannya. Di satu pihak, negara diharapkan sesedikit mungkin campur tangan demi menjamin kebebasan pers karena hanya dengan cara itu penguasa publik menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan nilai demokrasi.
Regulasi melalui undang-undang dan hukum itu menandai dimensi etika komunikasi yang kedua, yaitu sarana (polity) dan dimensi tujuan (policy).
Sebagai bagian dari filsafat politik, menurut Ricoeur perjuangan etika komunikasi tidak lepas dari tujuan etika politik, yaitu “hidup baik bersama dan untuk orang lain agar semakin memperluas lingkup kebebasan dan menciptakan institusi yang adil”. Sedangkan dimensi tujuan (policy) menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar.
Meta-etika mengarah pada teoretisasi materi moral, yang lebih luas dari sekadar etika normatif. Ia menjangkau sampai pada refleksi dan pengujian batas-batas yang bisa diterima dalam pelaksanaan praktek jurnalistik yang sah. Jadi, yang dipertaruhkan meliputi berbagai hak dan kebebasan: nilai dasar kebebasan pers, terutama pembenaran status istimewanya dibandingkan dengan kebebasan berekspresi dan hak akan informasi dibandingkan dengan hak individual lainnya; hierarkisasi berbagai nilai yang mencakup pelaksanaan kebebasan pers, hubungan antara kebebasan pers dan demokrasi atau antara kebebasan berekspresi dan kekuasaan ekonomi atau politik.

Penguatan Deontologi Jurnalisme dan Batas Kebebasan Pers
Orang perlu memperhitungkan hak individual yang lain, masalah pelayanan publik, hak publik akan informasi yang benar, mekanisme pasar, pengguna jasa, dan peran negara. Oleh karena itu, untuk menjamin profesionalisme para aktor komunikasi tidak cukup bila hanya mengandalkan nurani wartawan karena yang dihadapi adalah sistem. Mekanisme kontrol dari dalam profesi sendiri dalam bentuk deontologi jurnalisme juga dianggap masih belum menjawab kepentingan masyarakat konsumen informasi. Maka, untuk menghindari krisis kepercayaan terhadap media, selain penguatan deontologi jurnalisme, pengikutsertaan publik harus semakin nyata dalam organisasi perwakilan, misalnya asosiasi pemirsa televisi, asosiasi pendengar radio, asosiasi pembaca, dan sebagainya.
Etika komunikasi harus memperhitungkan segi politik dan ekonomi tersebut. Tidak dapat diingkari bahwa masyarakat selalu berada dalam posisi di bawah belas kasih negara dan pasar. Kalau politik berarti kekuasaan untuk memutuskan dalam masyarakat, politik hanya merupakan bidang beberapa orang saja. Negara seharusnya menyesuaikan aturan permainannya, tetapi arena di mana mereka bermain sesungguhnya tidak pernah terjadi kesempatan yang terbuka dan setara untuk semua. Pola pembagian akses ke informasi dan juga keputusan dalam bidang informasi yang ditentukan oleh kedua mekanisme kekuasaan tersebut tidak memungkinkan warga negara bisa berada dalam lingkaran pengambil keputusan, bahkan cenderung terpinggirkan. Warga negara hanya bisa berpartisipasi bila mengorganisasi diri untuk menghadapi mereka. Tujuan pengorganisasian diri ini ialah agar mampu tidak hanya menekan atau mempengaruhi dalam perbaikan kualitas informasi, tetapi juga kritis dan bisa mencegah manipulasi informasi serta alienasi masyarakat karena informasi yang tidak benar.

Perluasan Prosedur Regulasi dan Pembentukan Komisi
Etika komunikasi mendorong adanya penyadaran agar masyarakat mengefektifkan dan mengoptimalkan penggunaan jalur hukum. Tujuannya ialah selain agar bisa terwujud apropriasi hukum oleh masyarakat, juga agar perubahan dalam perjuangan keadilan dapat mengubah secara structural kondisi dominasi media melalui permainan legal, bukan dengan cara kekerasan. Di kebanyakan negara Eropa Barat, jalan tengah yang ditempuh ialah membentuk komisi independen yang bukan bagian dari pemerintah atau parlemen. Komisi mandiri itu dimaksudkan untuk regulasi dalam masalah budaya.       
Hanya ada beberapa kritik terhadap dibentuknya komisi semacam itu. Pertama, cukup sering komisi seperti itu tidak cukup mandiri berhadapan dengan kekuasaan politik atau hukum. Komisi semacam itu dituduh terlalu dekat dengan organ legislative atau eksekutif yang membentuknya. Kedua, bahaya kolusi antara pembuat regulasi dan operator media sangat mungkin. Kekuatan tawar produktor lebih kuat karena merasa dibutuhkan dan menciptakan lapangan kerja. Komisi semacam itu cenderung akan didikte oleh produktor yang sebaiknya dikontrol. Akibatnya justru komisi itu akan didiskriminatif terhadap saingan para pengguna. Ketiga, cengkraman terhadap komisi semacam itu biasanya cukup kuat. Hal ini disebabkan oleh keunggulan para operator dalam hal informasi, teknologi, dan keahlian. Akibatnya, kepentingan public dikendalikan oleh kepentingan kelompok. Banyak keputusan diambil lebih demi kelompok.

Determinasi Ekonomi dalam Etika Komunikasi
“Legitimasi masyarakat modern langsung pada dua hal: kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Bila gagal memberi dua hal itu, masyarakat kehilangan hormat dan kesetiaan dari warganya. Mereka berharap hdup lebih baik dan standar hidup mereka meningkat” (E. Gellner, 1998).
Perbaikan terus-menerus dalam performance ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur kesibukan yang tidak stabil. Mobilitas menurut manusia harus menyesuaikan diri dengan standar perubahan terus-menerus (posisi baru dalam struktur ekonomi dan sosial yang berubah). Masyarakat yang bertarung dalam kompetisi ini menjadi arena dimana individu dan kelompok bertarung tanpa ada yang menengahi. Suasana seperti ini sangat mempengaruhi perkembangan media. Persaingan menjadi sangat tajam. Terlebih lagi media elektronik dan computer memungkinkan pertukaran informasi dalam waktu singkat. Teknologi ini menjamin mobilitas modal yang sangat tinggi.

Budaya Baru: Organisasi Luwes dan Iklim Persaingan
Menurut Sennet logika waktu pendek menuntut pilar institusi kapitalis menyesuaikan diri dengan memperpendek kerangka waktu organisasi, menekankan tugas jangka pendek dan segera. Kontrak terbatas menjadi praktek biasa untuk menghindari pembayaran jaminan sosial, biaya kesehatan, pensiun, dan supaya tidak direpotkan oleh konflik masalah kerja. Dalam rezim ini, pekerja dengan mudah bisa dipindah dari satu tugas ke tugas yang lain. Kontrak dengan pekerja berubah sesuai dengan perubahan aktivitas perusahaan. Maka, wartawan juga harus mengikuti kebutuhan proyek dan orientasi sesaat dari media dimana dia bekerja, yang kadang-kadang harus mengabaikan spesialisasinya untuk penyesuaian diri.
Organisasi semakin dituntut luwes. Pekerja harus memiliki keterampilan penyesuaian diri: pertama, proaktif berhadapan dengan situasi tak menentu. Kedua, dalam struktur yang cair, kepekaan atas apa yang harus segera ditangani menggantikan tugas yang sudah terdefinisi. Di perusahaan, diciptakan iklim persaingan antartim dengan dibentuk kelompok-kelompok kerja otonom. Persaingan antarpekerja dipacu dengan individualisasi hubungan kerja, yaitu target setiap orang agar merasa bertanggung jawab, dan menerapkan pengawasan diri dalam management pastisipatif. Sistem yang berlaku adalah pemenang-berhak-atas-semua imbalan .
Persaingan adalah bagian sistem panoptisme (manajemen pengawasan): pengawasan atau kehadiran secara fisik bisa diskontinu,namun efek kesadaran diawasi tetap berlangsung. Dibiarkan terjebak dalam persaingan tanpa penengah membuat tidak jelas antara kolega dan pesaing. Akibatnya, ada rasa tidak aman pada semua tingkat hierarki, stress tinggi, dan gelisah. Perasaan tak berguna juga datang dari peminggiran yang telah berumur. Ini karena anggapan bahwa semakin tua berarti semakin lamban, kreativitas melemah, dan kurang energik, atau terjadi skills extinction.



Emosi Sosial dan Peran Serikat Pekerja
Diam melingkupi keterpinggiran, bahkan untuk merumuskan bentuk bantuan macam apa mereka tidak mampu lagi. Sedangkan lembaga politik tidak siap menghadapi masalah pengangguran ini. Hal ini dapat menumbuhkan rasa ketidakadilan, lalu dapat menumbuhkan perasaan-tak-berguna. Perasaan seperti ini dengam mudah bisa berubah menjadi kemarahan dan kebencian.
Ternyata kesenjangan bukan hanya terjadi antara yang tersingkir dan berhasil dalam sistem ekonomi. Kesenjangan juga semakin tajam di dalam perusahaan sendiri antara eksekutif dan pekerja karena sistem pemenang-berhak-atas-eksekutif dan pekerja karena sistem pemenang-berhak-atas-semua imbalan itu. Sistem individualisasi karier ini semakin mempertajam persaingan dan pekerja merasa tak terlindungi yang sewaktu-waktu bisa tersingkir.
Massa pekerja karena lemah dalam jaringan dan kontak informal cenderung menjadi begitu tergantung pada institusi. Massa pekerja membutuhkan pemikiran strategis untuk membangun jejaring keselamatan. Pemikiran strategis ini biasanya membutuhkan peta sosial yang dapat dibaca. Sennet mengusulkan fokus perannya: pertama, menjadi agency pekerja serta mencarikan lapangan kerja. Kedua, membantu dalam pengaturan dana pensiun dan perawatan kesehatan. Ketiga, membentuk komunitas yang hilang di tempat kerja, mengorganisir penitipan anak, dan diskusi.

Seringnya Reorganisasi Institusi
Suatu negara dikatakan dinamis bila mampu menunjukkan tanda perubahan internal dan menampakkan fleksibilitas. Tentu tanpa mengabaikan kriterium utama, yaitu efisiensi lembaga tersebut. Adanya guncangan dan dorongan perubahan akan dilihat sebagai sinyal positif. Maka, menjadi keharusan suatu lembaga untuk membangun citra dengan selalu merekayasa diri.  Ironisnya, upaya merekayasa diri ini berfungsi seperti alibi tanggung jawab. Rekayasa diri semakin dibutuhkan ketika evaluasi menunjukkan tiadanya kinerja yang baik dalam pengorganisasian lembaga tersebut. Biasanya cara yang paling mudah ialah mendatangkan konsultan. Tugas konsultan adalah membantu dalam mengorganisasi lembaga supaya kinerja menjadi maksimal. Karena struktur organisasi yang ada tidak mampu lagi mendominasi lembaga, biasanya akan dibuat unit kerja baru yang berperan mendobrak kemandekan.
Kerugian yang diabaikan antara lain: pertama, defisit sosial dalam bentuk melemahnya pengetahuan atau keterampilan kerja kelembagaan. Kedua, berkurangnya saling kepercayaan di antara tim kerja. Ketiga, rendahnya loyalitas pada lembaga.

Konsultan, Legitimasi, dan Rasionalitas Sosial
Apa yang bisa didapat oleh penguasa dengan mendatangkan konsultan? Pertama, bila perubahan ke arah yang lebih baik sungguh terjadi, maka jelas menjadi poin positif. Kedua, kehadiran konsultan menunjukkan bahwa kekuasaan berjalan, pesan bahwa penguasa menghendaki yang terbaik dan mempunyai determinasi tidak diragukan lagi. Ketiga, dengan mengundang konsultan, penguasa bisa menggeser dirinya dari tanggung jawab untuk mengambil keputusan yang berat atau setidaknya berbagi tanggung jawab.
Hanya sangat jarang konsultan ambil bagian dalam reorganisasi lembaga sehingga dengan mudah bisa menghindar dari tanggung jawab. Mereka dibayar, lalu pergi. Biasanya konsultan tidak perduli terhadap keterlibatan beberapa stakeholders. Bentuk keterlibatan ini keterlibatan ini merupakan cermin kepentingan di masyarakat yang ikut mewarnai rasionalitas sosial.
Teknik informasi yang melahirkan logika waktu pendek mendesak pemerintah mengambil keputusan yang cepat sehingga prosedur birokratis atau parlementer sering dianggap sebagai faktor lamban. Padahal keputusan penguasa itu diperlukan untuk menjamin sirkulasi informasi, kapital, dan manusia. Maka, tidak mungkin mengamputasi kekuasaan politik demi memberi konsesi kepada para penguasa ekonomi. Justru kepada penguasa politik harus diberikan sarana yang memungkinkan diterimanya aturan transnasional kekuasaan oleh masyarakat. Bahkan negara, menurut Beck, harus menyiapkan suatu bentuk legitimasi post-hoc untuk keputusan yang sering diambil dengan cara kurang demokratis. Sering hanya lingkaran dalam penguasa dilibatkan untuk pengambilan keputusan, termasuk di dalamnya ialah para pakar itu. Mekanisme seperti ini sering perlu dijalani bila tidak ingin ketinggalan kereta.
Dari mekanisme semacam itu, akibat yang ditimbulkan ialah bahwa mitra kerja merasa ditinggalkan atau aspirasinya tidak mendapat tanggapan. Dengan kata lain, logika sosial yang menekankan pada partisipasi dan keadilan agak diabaikan. Bagaimana prinsip etika komunikasi akan dihormati bila melihat betapa berat tekanan atau determinasi ekonomi baik pada tingkat institusi maupun individu wartawan atau pelaku komunikasi? Pada tingkat institusi, perusahaan media selalu di bawah tekanan persaingan dengan media lain dan tuntutan performance dari pemegang saham. Ancaman hengkang selalu membayangi.
Ancaman seperti PHK mengundang ketakutan. Sebab, bukan semakin lama bekerja, semakin matang dalam pengalaman, namun juga terjadi skill-extinction. Akibatnya, institusi lebih senang mempekerjakan tenaga muda baru yang lebih kompeten daripada mengirim karyawan yang sudah lama bekerja. Dalam situasi yang menekan dan penuh persaingan seperti itu, wacana etika komunikasi harus mampu menembus celah-celah etos sukses diri dan keuntungan akibat dari pragmatisme. Maka, dimensi pelayanan publik harus menjadi fokus perhatian etika komunikasi.

DILEMA REGULASI PUBLIK KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN TANGGUNG JAWAB

1. Alasan regulasi publik : ketika informasi selalu interpretasi :
Memang prioritas itu tidak bisa dimutlakkan. Hanya kesulitan muncul ketika realitas tertentu ingin memaksakan diri menjadi opini entah secara halus dengan hegemoni atau secara kasar dengan penekanan pemihakan yang demonstratif.
Dalam hal ini prinsip demokrasi harus memberi proiritas pada kepentingan public. Public tidak bisa dipaksa untuk menerima informasi atau opini tanpa persetujuan mereka. Hanya saja berbagi teknik presentasi, berkembangnya berbagi jenis media, dan beragam kesempatan dengan mudah akan memberi sarana unruk menebus ke pemirsa, pembaca atau pendengar tanpa merasa di paksa.
Namun, sejauh mana hak itu efektif sangat di tentukan oleh dukungan regulasi. Regulasi tidak bisa dibuat tanpa membertimbangkan hierarkisasi hak. Untuk kepentingan ini harus ada interpretasi dalam kerangka suatu regulasi media mendasarkan pada prioritas hak individu.

2. Regulasi public dan pluralisme : Memperkuat Deontologi Profesi.
- Pluralisme terdiri dari dua kata prular = beragam dan isme = paham yang berarti beragam pemahaman.
- Dalam ilmu social Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain.
- Dalam ilmu pengetahuan Pluralisme bisa diagrumentasikan bahwa sofat pluralisme proses ilmiah adalah faktos utama dalam perumbuhan pesat ilmu pengetahuan.
- Etika Deontologi adalah pandangan etika normatif yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan kepatuhan pada peraturan.

Regulasi untuk menjamin pluralisme ini memiliki beragam bentuk menurut Libois:
a) Bisa dalam rangka menghindari dominasi suatu bidang terhadap yang lain dengan mengusulkan pengorganisasian distribusi atau alokasi progam. Jangan sampai suatu media hanya didominasikan oleh spektakularisasi informasi.
b) Menjamin oembedaan lingkup riil dengan kekhasan ekspresinya untuk tetap mendapatkan akses yang cukup representative ke ruang publik.
c) Memungkinkan definisi politik menurut tatanan prioritas sehingga ruang publik menjadi tempat berlangsungnya penentuan hierarkisasi nilai oleh masyarakat.
d) Memungkinkan untuk mempertahankan adanya pemisahan berbagai ranah dan menentukan bagian atau hak masing-masing.

Regulasi publik terhadap media yang bersifat membatasi diharapkan lebih menekankan dimensi strategis, yaitu bahwa etika komunikasi, termasuk deontology profesi, harus bisa diterjemahkan secara efektif ke dalam realitas sesuai dengan situasi. Sedangkan Negara dalam regulasi media mengusahakan agar terjadi optimalisasi interaksi atau hubungan antara persaingan pasar dan kesejahterahaan umum (kebaikan publik), antara efiensi dan keadilan.
Optimalisasi itu dimaksudkan agar jangan sampai, dalam media, logika ekonomi melepaskan diri sama sekali dari logika social sehingga satu-satunya penentuan media seakan hanya mencari keuntungan.
Kemungkinan lain regulasi publik ialah dengan membentuk komisi mandiri yang bukan bagian dari pemerintah. Namun, pendanaan biasanya berasal dari pemerintah karena tugasnya dikaitkan langsung dengan upaya menjamin kualitas pelayanan public dalam hal pemenuhan hak akan infromasi yang benar.

3. Regulasi Prosedural
Prosedural menurut Hiebert dan Lefevre menggambarkan pengetahuan procedural sebagai pengetahuan tentang prosedur tentang prosedur baku yang dapet diaplikasikan juka beberapa isyarat tertentu disajikan.
Cara peliputan, pengolahan, dan presentai yang penuh rekayasa menonjol dalam televisi contoh menarik adalah bagaimana sensor yang tidak tampak beroperasi dalam media televisi, seperti diangkat oleh Pierre Bourdieu. Akses ke televisi harus dibayar dengan sensor topic yang dibicarakan sudah ditentukan, syarat komunikasi sudah di batasi dengan ketat seperti menekankan bahwa waktu sangat dibatasi dan wacana harus di singkat. Ada serangkaian mekanisme televisi yang sebetulnya merupakan suatu bentuk kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang berlangsung dengan persetujuan tanpa terungkap dari korbannya, tetapi juga tanpa disadari oleh pelakunya. Misalnya, “serba-serbi” dalam televisi merupakan acara yang menghibur atau mengalihkan perhatian.
Menurut Bourdieu, berita di televisi mirip sekali dengan prinsip tukang sulap, yaitu justru menarik perhatian kea rah lain dari hal sedang dilakukannya. Dalam hal informasi, pemirsa dibawah ke fakta yang harus menarik semua orang. Maka, tidak boleh membuat shock siapa pun, berarti tidak ada yang dipertaruhkan, yang tidak memecah belah, dan yang membawa ke konsensus.Regulasi publik menjadi penting, dewasa ini, karena kecenderungan melemahnya pemaknaan realitas. Ketidakpedulian terhadap makna ini tidak lepas dari tekanan atau obsesi pada teknin presentas sehingga mengorbankan pesan pokok.
Rasionalitas instrumental membawa media terlalu menekankan sarana sehingga sarana justru menjadi tujuan pada dirinya. Bila tekanan pada sarana, maka tujuan akan dikaburkan. Tanpa tujuan, suatu tindakan atau kegiatan tidak lagi terikat pada nilai atau makna. Jadi, regulasi public mau mengerem instrumentalisasi informasi yang terlalu berlebihan. Maka, menjadi penting diskusi tentang kriteria yang mendasari kekhasan kebebasan pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar