Arti kebebasan
1.
Kebebasan Rakyat versus Kekuasaan Absolut
Demokrasi modern
saat ini berawal dari pergerakan kedua negara yang sangat berjasa dalam memperjuangkan
kebebasan dan kedaulatan rakyat, Inggris dan Perancis. Kebebasan sosial-politik pada saat ini tidak terbatas pada kedua
negara tersebut namun juga punya relevansi pada universal. Gagasan ini
dilatarbelakangi oleh kebebasan sosial-politik dalam bentuk yang bersifat etis.
Perkembangan dari monarki absolut ke demokrasi medern bukan hanya kenyataan
historis melainkan juga suatu keharusan etis. Kedaulan harus tetap di tangan
rakyat dan tidak boleh berada pada instansi lain. Itulah suatu tuntutan etis.
2. Kemerdekaan versus kolonialisme
Di zaman modern ini
timbul keyakinan bahwa tidaklah pantas suatu bangsa dijajah oleh bangsa lain.
Setelah beramad-abad situasi kolonialisme dianggap lumrah, kini sistem itu
ditolah secara umum sebagai tidak etis. Aspek etis tersebut ada dalam Pembukaan
UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”
Masalah tanggung jawab kolektif
Yang dibicarakan sampai sekarang adalah tanggung jawab
pribadi atau perorangan, artinya, tanggung jawab seseorang atas perbuatannya.
Di samping itu, dalam etika seringkali diajukan pertanyaan apakah ada juga
tanggung jawab kolektif atau tanggung jawab kelompok. Pertanyaan ini dijawab
dengan jawaban yang berbeda-beda. Beberapa etikawan menerima tanggung jawab
kolektif,
Ada etikawan yang berpendapat bahwa tanggung jawab
kolektif merupakan paham yang berbahaya, karena bisa menyempatkan para penanggung
jawab yang sesungguhnya untuk main tedeng aling-aling. Kami sendiri tidak mau
terlalu menekankan aspek terakhir ini, tetapi di lain pihak dibedakan suatu
rasa tanggung jawab kolektif. Rasa tanggung jawab seperti itu memang ada, bukan
karena alasan-alasan psikologis. Suatu kelompok terikat karena faktor-faktor
efektif (family atau bangsa yang sama), karena solidaritas (mempunyai tujuan
yang sama)dank arena faktor-faktor sejarah serta tradisi.
Dimensi
Etika Komunikasi
Hak untuk berkomunikasi di ruang publik
merupakan hak yang paling mendasar. Bila hak itu tidak dijamin, hal ini akan
mengebiri pikiran atau kebebasan berpikir sehingga tidak mungkin bisa ada
otonomi manusia. Menurut Libois dalam buku Haryatmoko menyatakan bahwa hak
untuk berkomunikasi di ruang publik ini tidak bisa dilepaskan dari otonomi
demokrasi yang yang didasarkan pada kebebasan nurani dan kebebasan untuk untuk
berekspresi. Jadi, untuk menjamin otonomi demokrasi ini hanya mungkin apabila
hak untuk berkomunikasi di publik dihormati. Etika komunikasi merupakan bagian
dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi tersebut.
Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada
masalah perilaku actor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola
rumah produksi). Ia tidak dibatasi hanya pada deontologi jurnalisme (pandangan
etika normatif yang menilai moralitas adalah tindakan patuh pada peraturan
jurnalisme yang berlaku). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek
institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Maka, aspek
sarana atau etika strategi dalam bentuk regulasi sangat perlu.
Deontologi Jurnalisme
Untuk mengimbangi kelemahan deontologi
jurnalisme diperlukan undang-undang atau hukum. Di satu sisi, sebagai
institusi, hukum dan undang-undang ini membantu mengorganisir tanggung jawab
para aktor komunikasi. Dengan tuntutan yang jelas dan sanksi yang tegas, hukum
mencegah agar orang tidak mangkir dari tanggung jawabnya. Dengan kata lain,
undang-undang dan hukum menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku dan bahkan
juga dari luar profesi. Di sisi lain, bila terlalu banyak aturan hukum,
kebebasan pers dan kebebasan berekspresi akan semakin dikebiri.
Campur tangan penguasa publik dan kritik
ilmiah terhadap peran pers akan dimasukkan ke dalam kategori tiadanya kepedulian
terhadap nilai demokrasi. Para aktor komunikasi menurut Libois selalu memegang
slogan: “Semua upaya mengatur media melalui hukum akan membunuh informasi”. Dalam
situasi dilematis seperti itu, negara harus dengan cermat bisa menemukan
perannya. Di satu pihak, negara diharapkan sesedikit mungkin campur tangan demi
menjamin kebebasan pers karena hanya dengan cara itu penguasa publik
menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan nilai demokrasi.
Regulasi melalui undang-undang dan hukum itu
menandai dimensi etika komunikasi yang kedua, yaitu sarana (polity) dan dimensi tujuan
(policy).
Sebagai bagian dari filsafat politik, menurut
Ricoeur perjuangan etika komunikasi tidak lepas dari tujuan etika politik,
yaitu “hidup baik bersama dan untuk orang lain agar semakin memperluas lingkup
kebebasan dan menciptakan institusi yang adil”. Sedangkan dimensi tujuan
(policy) menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi,
kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar.
Meta-etika mengarah pada teoretisasi materi
moral, yang lebih luas dari sekadar etika normatif. Ia menjangkau sampai pada
refleksi dan pengujian batas-batas yang bisa diterima dalam pelaksanaan praktek
jurnalistik yang sah. Jadi, yang dipertaruhkan meliputi berbagai hak dan kebebasan:
nilai dasar kebebasan pers, terutama pembenaran status istimewanya dibandingkan
dengan kebebasan berekspresi dan hak akan informasi dibandingkan dengan hak
individual lainnya; hierarkisasi berbagai nilai yang mencakup pelaksanaan
kebebasan pers, hubungan antara kebebasan pers dan demokrasi atau antara
kebebasan berekspresi dan kekuasaan ekonomi atau politik.
Penguatan
Deontologi Jurnalisme dan Batas Kebebasan Pers
Orang perlu memperhitungkan hak individual
yang lain, masalah pelayanan publik, hak publik akan informasi yang benar,
mekanisme pasar, pengguna jasa, dan peran negara. Oleh karena itu, untuk
menjamin profesionalisme para aktor komunikasi tidak cukup bila hanya
mengandalkan nurani wartawan karena yang dihadapi adalah sistem. Mekanisme kontrol
dari dalam profesi sendiri dalam bentuk deontologi jurnalisme juga dianggap
masih belum menjawab kepentingan masyarakat konsumen informasi. Maka, untuk
menghindari krisis kepercayaan terhadap media, selain penguatan deontologi
jurnalisme, pengikutsertaan publik harus semakin nyata dalam organisasi
perwakilan, misalnya asosiasi pemirsa televisi, asosiasi pendengar radio,
asosiasi pembaca, dan sebagainya.
Etika komunikasi harus memperhitungkan segi
politik dan ekonomi tersebut. Tidak dapat diingkari bahwa masyarakat selalu
berada dalam posisi di bawah belas kasih negara dan pasar. Kalau politik
berarti kekuasaan untuk memutuskan dalam masyarakat, politik hanya merupakan
bidang beberapa orang saja. Negara seharusnya menyesuaikan aturan permainannya,
tetapi arena di mana mereka bermain sesungguhnya tidak pernah terjadi
kesempatan yang terbuka dan setara untuk semua. Pola pembagian akses ke
informasi dan juga keputusan dalam bidang informasi yang ditentukan oleh kedua
mekanisme kekuasaan tersebut tidak memungkinkan warga negara bisa berada dalam
lingkaran pengambil keputusan, bahkan cenderung terpinggirkan. Warga negara
hanya bisa berpartisipasi bila mengorganisasi diri untuk menghadapi mereka.
Tujuan pengorganisasian diri ini ialah agar mampu tidak hanya menekan atau
mempengaruhi dalam perbaikan kualitas informasi, tetapi juga kritis dan bisa
mencegah manipulasi informasi serta alienasi masyarakat karena informasi yang
tidak benar.
Perluasan
Prosedur Regulasi dan Pembentukan Komisi
Etika komunikasi mendorong adanya penyadaran
agar masyarakat mengefektifkan dan mengoptimalkan penggunaan jalur hukum.
Tujuannya ialah selain agar bisa terwujud apropriasi hukum oleh masyarakat,
juga agar perubahan dalam perjuangan keadilan dapat mengubah secara structural
kondisi dominasi media melalui permainan legal, bukan dengan cara kekerasan. Di
kebanyakan negara Eropa Barat, jalan tengah yang ditempuh ialah membentuk
komisi independen yang bukan bagian dari pemerintah atau parlemen. Komisi
mandiri itu dimaksudkan untuk regulasi dalam masalah budaya.
Hanya ada beberapa kritik terhadap
dibentuknya komisi semacam itu. Pertama, cukup sering komisi seperti itu tidak
cukup mandiri berhadapan dengan kekuasaan politik atau hukum. Komisi semacam
itu dituduh terlalu dekat dengan organ legislative atau eksekutif yang
membentuknya. Kedua, bahaya kolusi antara pembuat regulasi dan operator media
sangat mungkin. Kekuatan tawar produktor lebih kuat karena merasa dibutuhkan
dan menciptakan lapangan kerja. Komisi semacam itu cenderung akan didikte oleh
produktor yang sebaiknya dikontrol. Akibatnya justru komisi itu akan
didiskriminatif terhadap saingan para pengguna. Ketiga, cengkraman terhadap
komisi semacam itu biasanya cukup kuat. Hal ini disebabkan oleh keunggulan para
operator dalam hal informasi, teknologi, dan keahlian. Akibatnya, kepentingan
public dikendalikan oleh kepentingan kelompok. Banyak keputusan diambil lebih
demi kelompok.
Determinasi
Ekonomi dalam Etika Komunikasi
“Legitimasi masyarakat modern langsung pada
dua hal: kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Bila gagal memberi dua hal itu,
masyarakat kehilangan hormat dan kesetiaan dari warganya. Mereka berharap hdup
lebih baik dan standar hidup mereka meningkat” (E. Gellner, 1998).
Perbaikan terus-menerus dalam performance
ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur
kesibukan yang tidak stabil. Mobilitas menurut manusia harus menyesuaikan diri
dengan standar perubahan terus-menerus (posisi baru dalam struktur ekonomi dan
sosial yang berubah). Masyarakat yang bertarung dalam kompetisi ini menjadi
arena dimana individu dan kelompok bertarung tanpa ada yang menengahi. Suasana
seperti ini sangat mempengaruhi perkembangan media. Persaingan menjadi sangat
tajam. Terlebih lagi media elektronik dan computer memungkinkan pertukaran
informasi dalam waktu singkat. Teknologi ini menjamin mobilitas modal yang
sangat tinggi.
Budaya
Baru: Organisasi Luwes dan Iklim Persaingan
Menurut Sennet logika waktu pendek menuntut
pilar institusi kapitalis menyesuaikan diri dengan memperpendek kerangka waktu
organisasi, menekankan tugas jangka pendek dan segera. Kontrak terbatas menjadi
praktek biasa untuk menghindari pembayaran jaminan sosial, biaya kesehatan,
pensiun, dan supaya tidak direpotkan oleh konflik masalah kerja. Dalam rezim
ini, pekerja dengan mudah bisa dipindah dari satu tugas ke tugas yang lain.
Kontrak dengan pekerja berubah sesuai dengan perubahan aktivitas perusahaan.
Maka, wartawan juga harus mengikuti kebutuhan proyek dan orientasi sesaat dari
media dimana dia bekerja, yang kadang-kadang harus mengabaikan spesialisasinya
untuk penyesuaian diri.
Organisasi semakin dituntut luwes. Pekerja
harus memiliki keterampilan penyesuaian diri: pertama, proaktif berhadapan dengan situasi tak menentu. Kedua, dalam struktur yang cair,
kepekaan atas apa yang harus segera ditangani menggantikan tugas yang sudah
terdefinisi. Di perusahaan, diciptakan iklim persaingan antartim dengan
dibentuk kelompok-kelompok kerja otonom. Persaingan antarpekerja dipacu dengan
individualisasi hubungan kerja, yaitu target setiap orang agar merasa
bertanggung jawab, dan menerapkan pengawasan diri dalam management
pastisipatif. Sistem yang berlaku adalah pemenang-berhak-atas-semua
imbalan .
Persaingan adalah bagian sistem panoptisme (manajemen pengawasan):
pengawasan atau kehadiran secara fisik bisa diskontinu,namun efek kesadaran
diawasi tetap berlangsung. Dibiarkan terjebak dalam persaingan tanpa penengah
membuat tidak jelas antara kolega dan
pesaing. Akibatnya, ada rasa tidak aman pada semua tingkat hierarki, stress
tinggi, dan gelisah. Perasaan tak berguna juga datang dari peminggiran yang
telah berumur. Ini karena anggapan bahwa semakin tua berarti semakin lamban,
kreativitas melemah, dan kurang energik, atau terjadi skills extinction.
Emosi
Sosial dan Peran Serikat Pekerja
Diam melingkupi keterpinggiran, bahkan untuk
merumuskan bentuk bantuan macam apa mereka tidak mampu lagi. Sedangkan lembaga
politik tidak siap menghadapi masalah pengangguran ini. Hal ini dapat
menumbuhkan rasa ketidakadilan, lalu dapat menumbuhkan perasaan-tak-berguna. Perasaan seperti ini dengam mudah bisa
berubah menjadi kemarahan dan kebencian.
Ternyata kesenjangan bukan hanya terjadi
antara yang tersingkir dan berhasil dalam sistem ekonomi. Kesenjangan juga
semakin tajam di dalam perusahaan sendiri antara eksekutif dan pekerja karena
sistem pemenang-berhak-atas-eksekutif dan pekerja karena sistem
pemenang-berhak-atas-semua imbalan itu. Sistem individualisasi karier ini
semakin mempertajam persaingan dan pekerja merasa tak terlindungi yang
sewaktu-waktu bisa tersingkir.
Massa pekerja karena lemah dalam jaringan dan
kontak informal cenderung menjadi begitu tergantung pada institusi. Massa
pekerja membutuhkan pemikiran strategis untuk membangun jejaring keselamatan.
Pemikiran strategis ini biasanya membutuhkan peta sosial yang dapat dibaca.
Sennet mengusulkan fokus perannya: pertama,
menjadi agency pekerja serta
mencarikan lapangan kerja. Kedua,
membantu dalam pengaturan dana pensiun dan perawatan kesehatan. Ketiga, membentuk komunitas yang hilang
di tempat kerja, mengorganisir penitipan anak, dan diskusi.
Seringnya
Reorganisasi Institusi
Suatu negara dikatakan dinamis bila mampu
menunjukkan tanda perubahan internal dan menampakkan fleksibilitas. Tentu tanpa
mengabaikan kriterium utama, yaitu efisiensi lembaga tersebut. Adanya guncangan
dan dorongan perubahan akan dilihat sebagai sinyal positif. Maka, menjadi
keharusan suatu lembaga untuk membangun citra dengan selalu merekayasa diri. Ironisnya, upaya merekayasa diri ini
berfungsi seperti alibi tanggung jawab. Rekayasa diri semakin dibutuhkan ketika
evaluasi menunjukkan tiadanya kinerja yang baik dalam pengorganisasian lembaga
tersebut. Biasanya cara yang paling mudah ialah mendatangkan konsultan. Tugas
konsultan adalah membantu dalam mengorganisasi lembaga supaya kinerja menjadi
maksimal. Karena struktur organisasi yang ada tidak mampu lagi mendominasi
lembaga, biasanya akan dibuat unit kerja baru yang berperan mendobrak
kemandekan.
Kerugian yang diabaikan antara lain: pertama, defisit sosial dalam bentuk
melemahnya pengetahuan atau keterampilan kerja kelembagaan. Kedua, berkurangnya saling kepercayaan
di antara tim kerja. Ketiga,
rendahnya loyalitas pada lembaga.
Konsultan,
Legitimasi, dan Rasionalitas Sosial
Apa yang bisa didapat oleh penguasa dengan
mendatangkan konsultan? Pertama, bila
perubahan ke arah yang lebih baik sungguh terjadi, maka jelas menjadi poin
positif. Kedua, kehadiran konsultan
menunjukkan bahwa kekuasaan berjalan, pesan bahwa penguasa menghendaki yang
terbaik dan mempunyai determinasi tidak diragukan lagi. Ketiga, dengan mengundang konsultan, penguasa bisa menggeser
dirinya dari tanggung jawab untuk mengambil keputusan yang berat atau
setidaknya berbagi tanggung jawab.
Hanya sangat jarang konsultan ambil bagian
dalam reorganisasi lembaga sehingga dengan mudah bisa menghindar dari tanggung
jawab. Mereka dibayar, lalu pergi. Biasanya konsultan tidak perduli terhadap
keterlibatan beberapa stakeholders.
Bentuk keterlibatan ini keterlibatan ini merupakan cermin kepentingan di
masyarakat yang ikut mewarnai rasionalitas sosial.
Teknik informasi yang melahirkan logika waktu
pendek mendesak pemerintah mengambil keputusan yang cepat sehingga prosedur
birokratis atau parlementer sering dianggap sebagai faktor lamban. Padahal
keputusan penguasa itu diperlukan untuk menjamin sirkulasi informasi, kapital,
dan manusia. Maka, tidak mungkin mengamputasi kekuasaan politik demi memberi
konsesi kepada para penguasa ekonomi. Justru kepada penguasa politik harus
diberikan sarana yang memungkinkan diterimanya aturan transnasional kekuasaan
oleh masyarakat. Bahkan negara, menurut Beck, harus menyiapkan suatu bentuk
legitimasi post-hoc untuk keputusan
yang sering diambil dengan cara kurang demokratis. Sering hanya lingkaran dalam penguasa dilibatkan
untuk pengambilan keputusan, termasuk di dalamnya ialah para pakar itu.
Mekanisme seperti ini sering perlu dijalani bila tidak ingin ketinggalan
kereta.
Dari mekanisme semacam itu, akibat yang
ditimbulkan ialah bahwa mitra kerja merasa ditinggalkan atau aspirasinya tidak
mendapat tanggapan. Dengan kata lain, logika sosial yang menekankan pada
partisipasi dan keadilan agak diabaikan. Bagaimana prinsip etika komunikasi
akan dihormati bila melihat betapa berat tekanan atau determinasi ekonomi baik
pada tingkat institusi maupun individu wartawan atau pelaku komunikasi? Pada
tingkat institusi, perusahaan media selalu di bawah tekanan persaingan dengan
media lain dan tuntutan performance dari
pemegang saham. Ancaman hengkang selalu membayangi.
Ancaman seperti PHK mengundang ketakutan.
Sebab, bukan semakin lama bekerja, semakin matang dalam pengalaman, namun juga
terjadi skill-extinction. Akibatnya,
institusi lebih senang mempekerjakan tenaga muda baru yang lebih kompeten
daripada mengirim karyawan yang sudah lama bekerja. Dalam situasi yang menekan
dan penuh persaingan seperti itu, wacana etika komunikasi harus mampu menembus
celah-celah etos sukses diri dan keuntungan akibat dari pragmatisme. Maka,
dimensi pelayanan publik harus menjadi fokus perhatian etika komunikasi.
DILEMA
REGULASI PUBLIK KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN TANGGUNG JAWAB
1. Alasan regulasi publik : ketika informasi
selalu interpretasi :
Memang prioritas itu tidak bisa dimutlakkan.
Hanya kesulitan muncul ketika realitas tertentu ingin memaksakan diri menjadi
opini entah secara halus dengan hegemoni atau secara kasar dengan penekanan
pemihakan yang demonstratif.
Dalam hal ini prinsip demokrasi harus memberi
proiritas pada kepentingan public. Public tidak bisa dipaksa untuk menerima
informasi atau opini tanpa persetujuan mereka. Hanya saja berbagi teknik
presentasi, berkembangnya berbagi jenis media, dan beragam kesempatan dengan
mudah akan memberi sarana unruk menebus ke pemirsa, pembaca atau pendengar tanpa
merasa di paksa.
Namun, sejauh mana hak itu efektif sangat di
tentukan oleh dukungan regulasi. Regulasi tidak bisa dibuat tanpa
membertimbangkan hierarkisasi hak. Untuk kepentingan ini harus ada interpretasi
dalam kerangka suatu regulasi media mendasarkan pada prioritas hak individu.
2. Regulasi public dan pluralisme :
Memperkuat Deontologi Profesi.
- Pluralisme terdiri dari dua kata prular = beragam dan isme = paham yang berarti beragam
pemahaman.
- Dalam ilmu social Pluralisme adalah sebuah
kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa
saling menghormat dan toleransi satu sama lain.
- Dalam ilmu pengetahuan Pluralisme bisa
diagrumentasikan bahwa sofat pluralisme proses ilmiah adalah faktos utama dalam
perumbuhan pesat ilmu pengetahuan.
- Etika Deontologi adalah pandangan etika
normatif yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan kepatuhan pada
peraturan.
Regulasi untuk menjamin pluralisme ini
memiliki beragam bentuk menurut Libois:
a) Bisa dalam rangka menghindari dominasi
suatu bidang terhadap yang lain dengan mengusulkan pengorganisasian distribusi
atau alokasi progam. Jangan sampai suatu media hanya didominasikan oleh
spektakularisasi informasi.
b) Menjamin oembedaan lingkup riil dengan
kekhasan ekspresinya untuk tetap mendapatkan akses yang cukup representative ke
ruang publik.
c) Memungkinkan definisi politik menurut
tatanan prioritas sehingga ruang publik menjadi tempat berlangsungnya penentuan
hierarkisasi nilai oleh masyarakat.
d) Memungkinkan untuk mempertahankan adanya
pemisahan berbagai ranah dan menentukan bagian atau hak masing-masing.
Regulasi publik terhadap media yang bersifat
membatasi diharapkan lebih menekankan dimensi strategis, yaitu bahwa etika
komunikasi, termasuk deontology profesi, harus bisa diterjemahkan secara
efektif ke dalam realitas sesuai dengan situasi. Sedangkan Negara dalam
regulasi media mengusahakan agar terjadi optimalisasi interaksi atau hubungan
antara persaingan pasar dan kesejahterahaan umum (kebaikan publik), antara efiensi
dan keadilan.
Optimalisasi itu dimaksudkan agar jangan
sampai, dalam media, logika ekonomi melepaskan diri sama sekali dari logika
social sehingga satu-satunya penentuan media seakan hanya mencari keuntungan.
Kemungkinan lain regulasi publik ialah dengan
membentuk komisi mandiri yang bukan bagian dari pemerintah. Namun, pendanaan
biasanya berasal dari pemerintah karena tugasnya dikaitkan langsung dengan
upaya menjamin kualitas pelayanan public dalam hal pemenuhan hak akan infromasi
yang benar.
3. Regulasi Prosedural
Prosedural menurut Hiebert dan Lefevre menggambarkan
pengetahuan procedural sebagai pengetahuan tentang prosedur tentang prosedur
baku yang dapet diaplikasikan juka beberapa isyarat tertentu disajikan.
Cara peliputan, pengolahan, dan presentai
yang penuh rekayasa menonjol dalam televisi contoh menarik adalah bagaimana
sensor yang tidak tampak beroperasi dalam media televisi, seperti diangkat oleh
Pierre Bourdieu. Akses ke televisi harus dibayar dengan sensor topic yang
dibicarakan sudah ditentukan, syarat komunikasi sudah di batasi dengan ketat
seperti menekankan bahwa waktu sangat dibatasi dan wacana harus di singkat. Ada
serangkaian mekanisme televisi yang sebetulnya merupakan suatu bentuk kekerasan
simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang berlangsung dengan
persetujuan tanpa terungkap dari korbannya, tetapi juga tanpa disadari oleh
pelakunya. Misalnya, “serba-serbi” dalam televisi merupakan acara yang
menghibur atau mengalihkan perhatian.
Menurut Bourdieu, berita di televisi mirip
sekali dengan prinsip tukang sulap, yaitu justru menarik perhatian kea rah lain
dari hal sedang dilakukannya. Dalam hal informasi, pemirsa dibawah ke fakta
yang harus menarik semua orang. Maka, tidak boleh membuat shock siapa pun, berarti tidak ada yang dipertaruhkan, yang tidak
memecah belah, dan yang membawa ke konsensus.Regulasi publik menjadi penting,
dewasa ini, karena kecenderungan melemahnya pemaknaan realitas. Ketidakpedulian
terhadap makna ini tidak lepas dari tekanan atau obsesi pada teknin presentas
sehingga mengorbankan pesan pokok.
Rasionalitas instrumental membawa media
terlalu menekankan sarana sehingga sarana justru menjadi tujuan pada dirinya.
Bila tekanan pada sarana, maka tujuan akan dikaburkan. Tanpa tujuan, suatu
tindakan atau kegiatan tidak lagi terikat pada nilai atau makna. Jadi, regulasi
public mau mengerem instrumentalisasi informasi yang terlalu berlebihan. Maka,
menjadi penting diskusi tentang kriteria yang mendasari kekhasan kebebasan
pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar