Senin, 30 Mei 2016

MEDIA BARU DAN KEBABASAN BEREKSPRESI MEDIA/ PERS INDIVIDU

Tidak semua orang memiliki pendidikan atau pelatihan yang memungkinkan untuk bias menyeleksi mana yang layak untuk di tonton, mana yang merugikana cara pandang atau visi tentanga hidup social, budaya, dan politik. Pada lapisan masyarakat seperti ini, praktis televise menjadi satu-satunya sumber informasi, dan dengan demikian merupakan sarana yang membentuk pola berpikir atau bertindak. Media ini membentuk visi mereka tentang dunia.
Media membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi, tetapi sekaligus mempengaruhi dalam pemebntukan opini, Informasi tidak pernah netral. Informasi sealalu sudah merupakan interprestasi. Informasi merupakan hasil rumusan kebebasan berekspresi yang telah diarahkan oleh visi tertentu tentang realitas. Selama prinsip pluralitas ekspresi dihormati, yaitu sebagai ungkapan tenatang beragamnya visi tentang realiatas, prioritas yang diberikan pada kebebasan berekspresi akan menjadi penyeimbang terhadap hegemoni satu realitas tertentu saja. Dalam komteks ini, berarti prioritas diberikan pada kepentingan mereka yang mengungkapkan pandangannya atau pemberi, pencipta atau pengolah informasi, dan kemudian pemilik media.
Media soaial merupakan salah satu cara yang paling efek saat ini dalam mengungkapkan keluh kesah kita kepada suatu obyek, baik itu perusahaan maupun perorangan. Karena media sosial memberikan tempat kepada kita untuk bebas berekspresi dan kebebasan berpendapat. Namun di balik kebebasan sekarang ini, tentunya harus ada batasan dengan adanya regulasi – regulasi sehingga kebebasan yang di lakukan saat ini  tidak benar – benar “bebas”, dan tentu adanya tujuan dengan adanya regulasi ini, supaya kebebasan yang di lakukan tidak merugikan orang lain. Misalnya, jika seseorang berkata buruk ataupun mencemarkan nama orang lain tanpa ada buktinya. Tentu hal tersebut akan terkena pasal  310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, walau begitu, pasal ini merupakan pasal “karet” dimana korban yang misalnya di laporkan atas tuduhan tertentu akan bisa membalikkan pelapor dengan menggunakan pasal ini, dengan pasal tersebut, masyarakat tentunya akan lebih berhati – hati dalam ber-“tweet dan menulis status” ataupun mengumbar sesuatu yang menjatuhkan orang lain. Di satu sisi, pasal tersebut memberikan batasan yang baik di media sosial, namun di sisi lain, pasal ini mematikan dari arti “kebebasan” dalam berpendapat di media social.
Contoh yang terjadi di dunia maya atau internet media sosial adalah kasus Luna Maya yang menjadi ‘tumbal’ UU ITE. Umpatan yang dilakukannya melalui Twitter secara spontan, mengundang amarah kalangan infotainment. Dalam kasus ini lagi-lagi pasal 27 ayat (3) digunakan sebagai tali penjerat. Ancaman hukum sebagai akibat dari pasal ini adalah pidana penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak satu miliar rupiah. Bisa dikatakan, jerat hukum ITE yang menimbulkan ketakutan berbagai pihak untuk berbicara melalui internet ini menjadi ganjalan penegakkan kebebasan berpendapat di Indonesia. Aturan Negara

Pengekangan kebebasan berpendapat di Indonesia ini, bukan pertama kali terjadi dalam sejarah bangsa kita. Dari zaman ke zaman, Indonesia mengalami jalan cukup panjang dan terjal mengenai penegakkan kebebasan berpendapat ini. Meskipun secara jelas aturan mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi ini tercantum dalam piagam PBB, pada kenyataannya untuk menegakkannya dalam sebuah negara tidaklah mudah. Zaman yang berkuasa berikut aktor dan sistem yang juga berkuasa menjadi faktor penentu bagaimana kebebasan tersebut ditegakkan. Pasalnya, merekalah yang menjadi penentu kebijakan atas kebebasan berpendapat ini.

Bella Anastasya Achita Putri
14140110099

Tidak ada komentar:

Posting Komentar