Tidak semua orang memiliki pendidikan atau pelatihan
yang memungkinkan untuk bias menyeleksi mana yang layak untuk di tonton, mana
yang merugikana cara pandang atau visi tentanga hidup social, budaya, dan
politik. Pada lapisan masyarakat seperti ini, praktis televise menjadi
satu-satunya sumber informasi, dan dengan demikian merupakan sarana yang
membentuk pola berpikir atau bertindak. Media ini membentuk visi mereka tentang
dunia.
Media membantu masyarakat untuk mendapatkan
informasi, tetapi sekaligus mempengaruhi dalam pemebntukan opini, Informasi
tidak pernah netral. Informasi sealalu sudah merupakan interprestasi. Informasi
merupakan hasil rumusan kebebasan berekspresi yang telah diarahkan oleh visi
tertentu tentang realitas. Selama prinsip pluralitas ekspresi dihormati, yaitu
sebagai ungkapan tenatang beragamnya visi tentang realiatas, prioritas yang
diberikan pada kebebasan berekspresi akan menjadi penyeimbang terhadap hegemoni
satu realitas tertentu saja. Dalam komteks ini, berarti prioritas diberikan
pada kepentingan mereka yang mengungkapkan pandangannya atau pemberi, pencipta
atau pengolah informasi, dan kemudian pemilik media.
Media soaial merupakan salah satu cara yang paling
efek saat ini dalam mengungkapkan keluh kesah kita kepada suatu obyek, baik itu
perusahaan maupun perorangan. Karena media sosial memberikan tempat kepada kita
untuk bebas berekspresi dan kebebasan berpendapat. Namun di balik kebebasan
sekarang ini, tentunya harus ada batasan dengan adanya regulasi – regulasi
sehingga kebebasan yang di lakukan saat ini
tidak benar – benar “bebas”, dan tentu adanya tujuan dengan adanya
regulasi ini, supaya kebebasan yang di lakukan tidak merugikan orang lain.
Misalnya, jika seseorang berkata buruk ataupun mencemarkan nama orang lain
tanpa ada buktinya. Tentu hal tersebut akan terkena pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, walau
begitu, pasal ini merupakan pasal “karet” dimana korban yang misalnya di
laporkan atas tuduhan tertentu akan bisa membalikkan pelapor dengan menggunakan
pasal ini, dengan pasal tersebut, masyarakat tentunya akan lebih berhati – hati
dalam ber-“tweet dan menulis status” ataupun mengumbar sesuatu yang menjatuhkan
orang lain. Di satu sisi, pasal tersebut memberikan batasan yang baik di media
sosial, namun di sisi lain, pasal ini mematikan dari arti “kebebasan” dalam
berpendapat di media social.
Contoh yang terjadi di dunia maya atau internet
media sosial adalah kasus Luna Maya yang menjadi ‘tumbal’ UU ITE. Umpatan yang
dilakukannya melalui Twitter secara spontan, mengundang amarah kalangan
infotainment. Dalam kasus ini lagi-lagi pasal 27 ayat (3) digunakan sebagai
tali penjerat. Ancaman hukum sebagai akibat dari pasal ini adalah pidana
penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak satu miliar rupiah.
Bisa dikatakan, jerat hukum ITE yang menimbulkan ketakutan berbagai pihak untuk
berbicara melalui internet ini menjadi ganjalan penegakkan kebebasan
berpendapat di Indonesia. Aturan Negara
Pengekangan kebebasan berpendapat di Indonesia ini,
bukan pertama kali terjadi dalam sejarah bangsa kita. Dari zaman ke zaman,
Indonesia mengalami jalan cukup panjang dan terjal mengenai penegakkan
kebebasan berpendapat ini. Meskipun secara jelas aturan mengenai kebebasan
berpendapat dan berekspresi ini tercantum dalam piagam PBB, pada kenyataannya
untuk menegakkannya dalam sebuah negara tidaklah mudah. Zaman yang berkuasa
berikut aktor dan sistem yang juga berkuasa menjadi faktor penentu bagaimana
kebebasan tersebut ditegakkan. Pasalnya, merekalah yang menjadi penentu
kebijakan atas kebebasan berpendapat ini.
Bella Anastasya Achita Putri
14140110099
Tidak ada komentar:
Posting Komentar