Dzikra Fanada
14140110240
Kelas B
A. Tekanan Ekonomi dan Tanggung Jawab
Sosial
Tekanan ekonomi memengaruhi
komunikasi yang dilakukan. Dalam komunikasi massa, tekanan ekonomi berasal dari
tiga sumber, yaitu:
1. Pendukung
finansial; investor, pemilik, pemasang iklan dan pelanggan.
2. Para pesaing
3. Masyarakat secara umum.
Banyak keputusan yang diam-diam
berdasarkan keuntungan komersil belaka. Semua media berlomba-lomba membuat
tayangan yang kreatif dan menarik perhatian para konsumen, sehingga merebut
hati pemirsa. Dan hal ini dimanfaatkan oleh para media untuk menayangkan
iklan-iklan agar dapat dipertontonkan kepada pemirsa.
Sebuah idealisme jurnalistik memang
dikalahkan oleh sebuah kekuasaan keuangan. Keputusan-keputusan mmanajemen media
hanya berdasarkan sebuah keuangan semata, dan meletakkan idealisme jurnalistik
ke urutan paling bawah. Hal ini menyebabkan adanya dilema antara nilai
etisantara tanggung jawab sosial dan tekanan ekonomi yang ada demi kelangsungan
institusi media itu sendiri.
B. Neoliberalisme
Sebagai Keuntungan Baru
Gagasan pokokneoliberalisme adalah
menjadikan ekonomi sebagai kunci untuk memahami dan mendekati berbagai masalah,
penggusuran arena hidup sosial menjadi urusan individu, dan pemindahan regulasi
dari arena sosial ke urusan personal.
Dalam gagasan neoliberalisme,
cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai
model hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari semua
tindakan dan relasi antar manusia, baik itu persahabatan, keluarga, hukum, tata
negara, maupun hubungan internasional.
Menurut Wibowo (2003: 3), pada
tataran makro paling tidak mendapat tiga faktor yang mendorong munculnya
neoliberalisme. Pertama, berkembangnya perusahaan multinasional sebagai kekuatan yang nyata dan bahkan
memiliki aset kekayaan yang lebih besar dari pada negara-negara kecil didunia.
Kedua, munculnya rezim internasional yang berfungsi sebagai surveillance system. Ketiga, terjadinya
revolusi di bidang teknologi komunikasi dan transportasi.
Pada saat yang sama neoliberalisme
mengidealkan internasionalisasi kekuatan pasar. Bahwa bukan hanya mekanisme
pasar harus dipakai untuk mengatur ekonomi sebuah negara, tapi juga untuk
mengatur ekonomi global.
Privatisasi sebagai salah satu
kebijakan penting neoliberalisme dapat dipahami dari gagasannya tentang
hubungan pemerintah dan sektor bisnis. Neoliberalisasi melihat bahwa negara
tidak punya alasan apapun untuk mencampuri dan mengawasi pasar, karena pasarlah
yang justru merupakan prinsip yang medasari negara dan masyarakat. Maka, apa
yang semula dianggap sebagai masalah sosial/negara (kemiskinan, pengangguran,
kerusuhan dan seterusnya) kemudian menjadi masalah individual. Solusinya
bukanlah program sosial, melainkan individual
self-care.
Gelombang neoliberalisasi ditandai
dengan upaya penghapusan regulasi negara atas industri media, walaupun dari
satu sisi memang telah membebaskan media dari kontrol negara, namun pada sisi
lain akan memperbesar kerentanan media terhadap represi rejim kapital, yang
mengarah pada suatu ‘kediktatoran pasar’.
C. Isu Moral Versus
Kepentingan Ekonomi
Saat ini media dijadikan sebuah
sarana untuk para pengusaha-pengusaha memperluas jangkauan pasarnya. Seperti
membentuk opini publik tentang produk mereka, mengangkat citra sebuah
perusahaan, menghadirkan sebuah kasus untuk menjatuhkanpara pesaing dan semua
ini hanya berdasarkan tekanan ekonomi semata. Lagi-lagi dengan
tayangan-tayangan yang memperoleh rating tertinggi adalah tayangan yang bisa
mengakibatkan munculnya perilaku antisosial, dan itu jelas bertentangan dengan
nilai-nilai etis yang berlaku.
Media adalah sesuatu yang unik karena
bisnis mereka mengambil keuntungan tidak langsung dari konsumen tetapi langsung
dari pemasang iklan. Dalam konteks ekonomi-politik media, terdapat tiga tolak
ukur sistem sosial politik yang demokratis. Pertama, peniadaan ketimpangan
sosial dalam masyarakat. Kedua, pembentuk kesadaran bersama tentang pentingnya
mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi. Ketiga, demokrasi
membutuhkan sistem komunikasi politik yang efektif.
Bagi Mosco (1996: 30), ada tiga entry
konsep dalam ekonomi-politik media yang menarik untuk dikaji, yakni
komodifikasi, spesialisasi, dan strukturisasi. Comodification, yaitu proses
pengambilan barang/jasa yang bernilai dalam pemakaiannya, dan mengubahnya
dengan komoditi yang bernilai pada apa yang dapat dihasilkan pasar. Terdapat
empat macam komodifikasi yaitu:
1. Komodifikasi isi
2. Komoditi khalayak
3. Komoditi cybernets
4. Komodifikasi tenaga kerja yang menggunakan teknologi
Spatialization,
yaitu proses untuk mengatasi perbedaan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial.
Dan structuration adalah menyatukan
gagarasan dan agensi, proses, dan praksis sosial ke dalam analisis struktural.
Karakteristik penting dari teori ini adalah kekuatan yang diberikan pada
perubahan sosial. Walaupun, faktor yang paling berpengaruh dalam analisis
ekonomi-politik adalah institusi media dan konteksnya, namun konsep Mosco
tersebut dipandang cocok untuk menganalisis sejumlah rentang aktivis media,
dari mulai produksi sampai perkara resepsi dalam satu kesatuan model.
Sedangkan Golding dan Murdock
mengajukan mapping hubungan media dan kekuatan ekonomi politik menjadi empat,
yaitu perkembangan media, perluasan jangkauan korporasi, komodifikasi, dan
perubahan peran intervensi negara dan pemerintah.
Persoalan modus komersialisasi
industri media massa mengandung berbagai kelemahan, bahkan bisa jadi
kontra-produktif bagi kapitalis. Diantara kelemahan itu antara lain; pertama,
para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi resiko
usaha. Kedua, industri media lebih beroerientasi pada pemenuhan keinginan
market sesuai dengan kriteria apa yang paling secara ekonomi dan politik bagi
para pemilik modal. Dengan menggunakan proporsi yang demikian, dapat dikatakan
bahwa dalam konteks kapitalisme, jurnalis dan produk media lebih merupakan
‘alat produksi’.
Bila selama ini media dilihat hanya
dipengaruhi idiologis dan politis, maka ekonomi-politik media massa melihat
media dalam keterpengaruhannya dengan ekonomi.
D. Media dan Konflik
Kepentingan.
Media yang berafiliasi atau dimiliki
oleh pengusaha atau pejabat tertentu pasti memiliki konfilk kepentingan, yakni
apakah akan berpihak ke publik ataukah berpihak pada penguasa/pengusaha yang notabene sebagai pemilik.
Jika media massa dibiarkan menjadi
aparatus kekuatan sosial-politik, maka seluruhmateri pelayanannya akan
senantiasa harus dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan berbagai interest
politik dari politik yang bersangkutan. Akibatnya, keunggulan media tersebut
akan bersifat subordinate dengan
pamrih politik.
Pelayanan media massa bersifat
sosial, bukan politik. Sebaliknya, pelayanan politik bersifat politik, bukan
sosial. Bila pelayanan media bersifat politik, maka muatan politik didalamnya
hanyalah berfungsi sebagai variabel antara.
Pengalaman menunjukkan, media yang
terlampau dibebani misi politik, mengakibatkan kreativitas pelayanannya
terkooptasi oleh berbagai kepentingan di luar kerangka profesionalismenya.
Fenomena konglomerasi industri media
merupakan krisis lain dari demokratisasi media yang bisa melemahkan fungsi
kontrol media dalam upaya membangun masyarakat mandiri karena berkembang
biaknya bisnis industri pers rawan menimbulkan konflik kepentingan. Karena
media tidak lagi kritis, maka semakin sedikit kepentingan publik yang diangkat
oleh media massa “mainstream”.
Ashadi Siregar (dalam www.forum-rektor.org) mengatakan bahwa keberadaan media massa perlu dilihat dalam konteks
epistemologis, dengan melihat jurnalisme sebagai suatu susunan pengetahuan
dalam menghadapi realitas sosial. Media jurnalisme ditandai dengan fungsinya
sebagai institusi sosial yang mengangkat fakta-fakta sosial sebagai informasi
jurnalisme.
Masih menurut Ashadi, orientasi
jurnalisme pada dasarnya bertolak dari dua sisi, pertama bersifat teknis
berkaitan dengan standar kelayakan berita, dan kedua bersifat etis dengan
standar normatif dalam menghadapi fakta-fakta.
Seorang jurnalis pada hakikatnya
adalah pekerja kultural karena berurusan dengan wacana. Sebagai perkerja, dia
tentu harus bertanggung jawab secara teknis kepada manajemen tempatnya bekerja.
Namun, dia terikat secara moral dalam akuntibilitas sosial kepada publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar