Rabu, 25 Mei 2016

Media, Pelayanan Publik dan Logika Politik; Tanggungjawab Sosial dan Tekanan Ekonomi (Pertemuan 11)



Dzikra Fanada
14140110240
Kelas B
 


A. Tekanan Ekonomi dan Tanggung Jawab Sosial

Tekanan ekonomi memengaruhi komunikasi yang dilakukan. Dalam komunikasi massa, tekanan ekonomi berasal dari tiga sumber, yaitu:
1. Pendukung finansial; investor, pemilik, pemasang iklan dan pelanggan.
2. Para pesaing
3. Masyarakat secara umum.
Banyak keputusan yang diam-diam berdasarkan keuntungan komersil belaka. Semua media berlomba-lomba membuat tayangan yang kreatif dan menarik perhatian para konsumen, sehingga merebut hati pemirsa. Dan hal ini dimanfaatkan oleh para media untuk menayangkan iklan-iklan agar dapat dipertontonkan kepada pemirsa.
Sebuah idealisme jurnalistik memang dikalahkan oleh sebuah kekuasaan keuangan. Keputusan-keputusan mmanajemen media hanya berdasarkan sebuah keuangan semata, dan meletakkan idealisme jurnalistik ke urutan paling bawah. Hal ini menyebabkan adanya dilema antara nilai etisantara tanggung jawab sosial dan tekanan ekonomi yang ada demi kelangsungan institusi media itu sendiri.

B. Neoliberalisme Sebagai Keuntungan Baru
Gagasan pokokneoliberalisme adalah menjadikan ekonomi sebagai kunci untuk memahami dan mendekati berbagai masalah, penggusuran arena hidup sosial menjadi urusan individu, dan pemindahan regulasi dari arena sosial ke urusan personal.
Dalam gagasan neoliberalisme, cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia, baik itu persahabatan, keluarga, hukum, tata negara, maupun hubungan internasional.
Menurut Wibowo (2003: 3), pada tataran makro paling tidak mendapat tiga faktor yang mendorong munculnya neoliberalisme. Pertama, berkembangnya perusahaan multinasional  sebagai kekuatan yang nyata dan bahkan memiliki aset kekayaan yang lebih besar dari pada negara-negara kecil didunia. Kedua, munculnya rezim internasional yang berfungsi sebagai surveillance system. Ketiga, terjadinya revolusi di bidang teknologi komunikasi dan transportasi.
Pada saat yang sama neoliberalisme mengidealkan internasionalisasi kekuatan pasar. Bahwa bukan hanya mekanisme pasar harus dipakai untuk mengatur ekonomi sebuah negara, tapi juga untuk mengatur ekonomi global.
Privatisasi sebagai salah satu kebijakan penting neoliberalisme dapat dipahami dari gagasannya tentang hubungan pemerintah dan sektor bisnis. Neoliberalisasi melihat bahwa negara tidak punya alasan apapun untuk mencampuri dan mengawasi pasar, karena pasarlah yang justru merupakan prinsip yang medasari negara dan masyarakat. Maka, apa yang semula dianggap sebagai masalah sosial/negara (kemiskinan, pengangguran, kerusuhan dan seterusnya) kemudian menjadi masalah individual. Solusinya bukanlah program sosial, melainkan individual self-care.
Gelombang neoliberalisasi ditandai dengan upaya penghapusan regulasi negara atas industri media, walaupun dari satu sisi memang telah membebaskan media dari kontrol negara, namun pada sisi lain akan memperbesar kerentanan media terhadap represi rejim kapital, yang mengarah pada suatu ‘kediktatoran pasar’.

C. Isu Moral Versus Kepentingan Ekonomi
Saat ini media dijadikan sebuah sarana untuk para pengusaha-pengusaha memperluas jangkauan pasarnya. Seperti membentuk opini publik tentang produk mereka, mengangkat citra sebuah perusahaan, menghadirkan sebuah kasus untuk menjatuhkanpara pesaing dan semua ini hanya berdasarkan tekanan ekonomi semata. Lagi-lagi dengan tayangan-tayangan yang memperoleh rating tertinggi adalah tayangan yang bisa mengakibatkan munculnya perilaku antisosial, dan itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai etis yang berlaku.
Media adalah sesuatu yang unik karena bisnis mereka mengambil keuntungan tidak langsung dari konsumen tetapi langsung dari pemasang iklan. Dalam konteks ekonomi-politik media, terdapat tiga tolak ukur sistem sosial politik yang demokratis. Pertama, peniadaan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Kedua, pembentuk kesadaran bersama tentang pentingnya mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi. Ketiga, demokrasi membutuhkan sistem komunikasi politik yang efektif.
Bagi Mosco (1996: 30), ada tiga entry konsep dalam ekonomi-politik media yang menarik untuk dikaji, yakni komodifikasi, spesialisasi, dan strukturisasi. Comodification, yaitu proses pengambilan barang/jasa yang bernilai dalam pemakaiannya, dan mengubahnya dengan komoditi yang bernilai pada apa yang dapat dihasilkan pasar. Terdapat empat macam komodifikasi yaitu:
1. Komodifikasi isi
2. Komoditi khalayak
3. Komoditi cybernets
4. Komodifikasi tenaga kerja yang menggunakan teknologi
Spatialization, yaitu proses untuk mengatasi perbedaan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dan structuration adalah menyatukan gagarasan dan agensi, proses, dan praksis sosial ke dalam analisis struktural. Karakteristik penting dari teori ini adalah kekuatan yang diberikan pada perubahan sosial. Walaupun, faktor yang paling berpengaruh dalam analisis ekonomi-politik adalah institusi media dan konteksnya, namun konsep Mosco tersebut dipandang cocok untuk menganalisis sejumlah rentang aktivis media, dari mulai produksi sampai perkara resepsi dalam satu kesatuan model.
Sedangkan Golding dan Murdock mengajukan mapping hubungan media dan kekuatan ekonomi politik menjadi empat, yaitu perkembangan media, perluasan jangkauan korporasi, komodifikasi, dan perubahan peran intervensi negara dan pemerintah.
Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan, bahkan bisa jadi kontra-produktif bagi kapitalis. Diantara kelemahan itu antara lain; pertama, para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi resiko usaha. Kedua, industri media lebih beroerientasi pada pemenuhan keinginan market sesuai dengan kriteria apa yang paling secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal. Dengan menggunakan proporsi yang demikian, dapat dikatakan bahwa dalam konteks kapitalisme, jurnalis dan produk media lebih merupakan ‘alat produksi’.
Bila selama ini media dilihat hanya dipengaruhi idiologis dan politis, maka ekonomi-politik media massa melihat media dalam keterpengaruhannya dengan ekonomi.

D. Media dan Konflik Kepentingan.
Media yang berafiliasi atau dimiliki oleh pengusaha atau pejabat tertentu pasti memiliki konfilk kepentingan, yakni apakah akan berpihak ke publik ataukah berpihak pada penguasa/pengusaha yang notabene sebagai pemilik.
Jika media massa dibiarkan menjadi aparatus kekuatan sosial-politik, maka seluruhmateri pelayanannya akan senantiasa harus dikonfirmasikan terlebih dahulu dengan berbagai interest politik dari politik yang bersangkutan. Akibatnya, keunggulan media tersebut akan bersifat subordinate dengan pamrih politik.
Pelayanan media massa bersifat sosial, bukan politik. Sebaliknya, pelayanan politik bersifat politik, bukan sosial. Bila pelayanan media bersifat politik, maka muatan politik didalamnya hanyalah berfungsi sebagai variabel antara.
Pengalaman menunjukkan, media yang terlampau dibebani misi politik, mengakibatkan kreativitas pelayanannya terkooptasi oleh berbagai kepentingan di luar kerangka profesionalismenya.
Fenomena konglomerasi industri media merupakan krisis lain dari demokratisasi media yang bisa melemahkan fungsi kontrol media dalam upaya membangun masyarakat mandiri karena berkembang biaknya bisnis industri pers rawan menimbulkan konflik kepentingan. Karena media tidak lagi kritis, maka semakin sedikit kepentingan publik yang diangkat oleh media massa “mainstream”.
Ashadi Siregar (dalam www.forum-rektor.org) mengatakan bahwa keberadaan media massa perlu dilihat dalam konteks epistemologis, dengan melihat jurnalisme sebagai suatu susunan pengetahuan dalam menghadapi realitas sosial. Media jurnalisme ditandai dengan fungsinya sebagai institusi sosial yang mengangkat fakta-fakta sosial sebagai informasi jurnalisme.
Masih menurut Ashadi, orientasi jurnalisme pada dasarnya bertolak dari dua sisi, pertama bersifat teknis berkaitan dengan standar kelayakan berita, dan kedua bersifat etis dengan standar normatif dalam menghadapi fakta-fakta.
Seorang jurnalis pada hakikatnya adalah pekerja kultural karena berurusan dengan wacana. Sebagai perkerja, dia tentu harus bertanggung jawab secara teknis kepada manajemen tempatnya bekerja. Namun, dia terikat secara moral dalam akuntibilitas sosial kepada publik.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar