Sabtu, 28 Mei 2016

Media Baru dan Kebebasan Berekspresi Media atau Pers dan Individu

Kezia Mariska - 14140110212
Pertemuan 15 – 24 Mei 2016

Sumber foto: https://menaribo.com/2013/06/20/what-is-freedom-of-expression/

Media membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi, tapi sekaligus memperngaruhi pembentukan opini. Informasi tidak pernah netral, dalam kata lain sudah mengandung suatu interpretasi. Informasi juga merupakan hasil rumusan kebebasan berekspresi yang telah diarahkan oleh visi tentang suatu realitas.

Selama prinsip kebebasan berekspresi dihormati, prioritas tersebut akan menjadi penyeimbang terhadap hegemoni satu realitas tertentu saja. Dalam konteks ini, berarti prioritas diberikan kepada kepentingan mereka yang mengungkapkan pandangannya, pencipta informasi, dan kemudia pemilik media.

Jika dilihat, memang prioritas tersebut tidak bisa dimutlakkan. Kesulitan muncul ketika realitas tertentu ingin memaksakan diri menjadi pembentuk opini entah secara halus atau kasar. Maka, peran pers dituntut untuk memberi pemahaman yang kritis dan mendidik.

Dalam prinsip demokrasi, prioritas utama harus diberikan kepada kepentingan publik. Publik tidak bisa dipaksa untuk menerima informasi atau opini tanpa persetujuan mereka. Ada hak bagi masyarakat untuk menolak suatu informasi atau gagasan yang tidak diinginkan.

Upaya-upaya yang mengatur, membatasi, apalagi melarang pelaksanaan hak berekspresi tentu menunjukkan adanya ungkapan melawan perjuangan nilai demokrasi. Untuk mengatasi hal ini, sudah seharusnya regulasi media sangat diperlukan. Pertama, regulasi media membantu konsumen mendapat informasi yang sesuai dengan tuntutan kualitas tertentu. Media tidak bisa semena-mena memproduksi informasi tanpa standar kualitas yang memadai.

Kedua, regulasi publik menjaga aturan pasar agar lebih adil melawan dominasi ekonomi pada media tertentu saja. Ketiga, regulasi publik harus menjamin pluralisme (kebebasan berpendapat) yang merupakan bagian inti dari prinsip demokrasi. Negara wajib melindungi dan mendorong ekspresi sehingga prinsip pluralitas ini dapat menciptakan iklim saling menghargai dan partisipasi yang sama dalam proses demokrasi.

Sesuai dengan kasus dalam diskusi panel terakhir, kebebasan berekspresi di Indonesia masih dipertanyakan. Hal ini tercermin dari peristiwa beberapa minggu lalu yaitu pembasmian buku ‘Kiri’ yang dianggap berbau komunis. Buku-buku tersebut dianggap melenceng dari ideologi Pancasila.

Seperti dikutip dari tempo.co, Sekretaris Kabinet, Pramono menegaskan kembali bahwa Presiden Joko Widodo sudah mewanti-wanti agar para pejabat negara tidak bertindak berlebihan terhadap hal-hal berpaham kiri. Oleh karena itu, pembasmian buku berpaham kiri jangan sampai terjadi. Pramono juga menjelaskan, sebuah negara demokrasi harus menghormati kebebasan berekspresi.

Menurut saya, apa yang dikatakan oleh Pramono adalah benar. Sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, pembasmian buku beraliran kiri seolah-olah menjadi sebuah kemunduran ke zaman Soeharto. Semua yang berkaitan dengan komunis dilarang, dibredel, bahkan bagi yang memproduksi, mendistribusi, dan mengkonsumi bisa ditangkap dan dibunuh.

Selain menjunjung tinggi prinsip kebebasan berpendapat, ada pentingnya untuk bersifat kritis. Pembasian buku seharusnya dilandasi alasan yang kuat, tidak asal membasmi. Bagaimana kalau buku ini sama sekali tidak dipergunakan untuk hal-hal negatif, seperti membangun dan mempraktekkan paham komunis di zaman sekarang ini? Bagaimana jika buku kiri ini hanya dijadikan bahan baca bebas di berbagai universitas sekaligus bahan ajar maupun penelitian?

Sumber:
Bedah Kasus dan Analisis (Panel)
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar