Kezia
Mariska - 14140110212
Pertemuan
15 – 24 Mei 2016
Sumber foto: https://menaribo.com/2013/06/20/what-is-freedom-of-expression/
Media membantu
masyarakat untuk mendapatkan informasi, tapi sekaligus memperngaruhi
pembentukan opini. Informasi tidak pernah netral, dalam kata lain sudah mengandung
suatu interpretasi. Informasi juga merupakan hasil rumusan kebebasan
berekspresi yang telah diarahkan oleh visi tentang suatu realitas.
Selama prinsip
kebebasan berekspresi dihormati, prioritas tersebut akan menjadi penyeimbang
terhadap hegemoni satu realitas tertentu saja. Dalam konteks ini, berarti
prioritas diberikan kepada kepentingan mereka yang mengungkapkan pandangannya,
pencipta informasi, dan kemudia pemilik media.
Jika dilihat,
memang prioritas tersebut tidak bisa dimutlakkan. Kesulitan muncul ketika
realitas tertentu ingin memaksakan diri menjadi pembentuk opini entah secara
halus atau kasar. Maka, peran pers dituntut untuk memberi pemahaman yang kritis
dan mendidik.
Dalam prinsip
demokrasi, prioritas utama harus diberikan kepada kepentingan publik. Publik
tidak bisa dipaksa untuk menerima informasi atau opini tanpa persetujuan
mereka. Ada hak bagi masyarakat untuk menolak suatu informasi atau gagasan yang
tidak diinginkan.
Upaya-upaya yang
mengatur, membatasi, apalagi melarang pelaksanaan hak berekspresi tentu
menunjukkan adanya ungkapan melawan perjuangan nilai demokrasi. Untuk mengatasi
hal ini, sudah seharusnya regulasi media sangat diperlukan. Pertama, regulasi media
membantu konsumen mendapat informasi yang sesuai dengan tuntutan kualitas
tertentu. Media tidak bisa semena-mena memproduksi informasi tanpa standar
kualitas yang memadai.
Kedua, regulasi
publik menjaga aturan pasar agar lebih adil melawan dominasi ekonomi pada media
tertentu saja. Ketiga, regulasi publik harus menjamin pluralisme (kebebasan
berpendapat) yang merupakan bagian inti dari prinsip demokrasi. Negara wajib
melindungi dan mendorong ekspresi sehingga prinsip pluralitas ini dapat
menciptakan iklim saling menghargai dan partisipasi yang sama dalam proses
demokrasi.
Sesuai dengan kasus
dalam diskusi panel terakhir, kebebasan berekspresi di Indonesia masih
dipertanyakan. Hal ini tercermin dari peristiwa beberapa minggu lalu yaitu
pembasmian buku ‘Kiri’ yang dianggap berbau komunis. Buku-buku tersebut
dianggap melenceng dari ideologi Pancasila.
Seperti dikutip
dari tempo.co, Sekretaris Kabinet, Pramono menegaskan kembali bahwa Presiden
Joko Widodo sudah mewanti-wanti agar para pejabat negara tidak bertindak
berlebihan terhadap hal-hal berpaham kiri. Oleh karena itu, pembasmian buku
berpaham kiri jangan sampai terjadi. Pramono juga menjelaskan, sebuah negara
demokrasi harus menghormati kebebasan berekspresi.
Menurut saya, apa
yang dikatakan oleh Pramono adalah benar. Sebagai negara demokrasi yang menjunjung
tinggi kebebasan berpendapat, pembasmian buku beraliran kiri seolah-olah
menjadi sebuah kemunduran ke zaman Soeharto. Semua yang berkaitan dengan
komunis dilarang, dibredel, bahkan bagi yang memproduksi, mendistribusi, dan
mengkonsumi bisa ditangkap dan dibunuh.
Selain menjunjung
tinggi prinsip kebebasan berpendapat, ada pentingnya untuk bersifat kritis.
Pembasian buku seharusnya dilandasi alasan yang kuat, tidak asal membasmi.
Bagaimana kalau buku ini sama sekali tidak dipergunakan untuk hal-hal negatif,
seperti membangun dan mempraktekkan paham komunis di zaman sekarang ini?
Bagaimana jika buku kiri ini hanya dijadikan bahan baca bebas di berbagai universitas
sekaligus bahan ajar maupun penelitian?
Sumber:
Bedah
Kasus dan Analisis (Panel)
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar