Sabtu, 28 Mei 2016

Manipulasi Media dan Kesadaran Palsu, Pornografi, Kekerasan, serta Propaganda dalam Media atau Pers

Kezia Mariska - 14140110212
Pertemuan 10  - 26 April 2016

Sumber foto: http://natasha42.blogspot.co.id/2014/12/augmented-use-of-social-networking.html

Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit berupa gambar, tulisan, lukisan, dan foto dari aktivitas seksual atau hal yang senonoh, mesum, atau cabul yang dikomunikasikan ke publik. Hal ini dipahami sebagai seseuatu yang melukai dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan membangkitkan seksualitas. Hal senonoh, mesum, atau cabul didasarkan juga atas penilaian oleh kemunitas setempat atau oleh setiap orang yang sehat akal. Definisi tersebut akan lebih meyakinkan lagi bila karya itu tidak mengandung nilai seni, sastra, ilmiah, atau politik.

Biasanya, pornografi ditolak karena ingin menciptakan perlindungan terhadap orang muda atau anak-anak. Pornografi dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak atau remaja sehingga dapat mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku. Selain itu, penolakan pornografi berguna untuk mencegah adanya perendahan martabat perempuan dan mencegah penghancuran tatanan nilai keluarga dan masyarakat.

Selain pornografi, masalah erotisme juga menjadi perbincangan. Konsekuensi dari erotisme lebih menekankan pada imajinasi dan sugesti. Dalam erotisme, yang lebih tampak adalah pengungkapan hasrat daripada penonjolah tubuh yang telanjang. Semua erotisme selalu beresiko menjadi pornografi.

Etika komunikasi seakan tidak berdaya menghadapi maraknya segala bentuk kekerasan dalam media. Pornografi, kekerasan dalam kata-kata, agresivitas, kekerasan virtual (game, dll.), kekerasan simbolik, dan kekerasan lembut yang menipulatif merajalela tanpa ada struktur kuat yang melawannya.

Kekerasan didefiniskan sebagai prinsip tindakan kekuatan yang memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Dalam kekerasan terkandung pula unsur dominasi terhadap pihak lain dalam berbagai bentuk seperti fisik, verbal, moral, psikologis, atau melalui gambar. Penggunaan kekuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan wujud nyata dari kekerasan dalam media.

Seringnya media menampilkan kekerasan, jelas akan menimbulkan bahaya. Skenario kekerasan di media ditakutkan akan menjadi kekerasan sosial riil. Informasi tentang kekerasan juga bisa menambah kegelisahan umum dan meningkatkan perilaku agresif. Selain itu, tayangan kekerasan dapat meningkatkan rasa takut sehingga akan menciptakan representasi dalam diri pemirsa, betapa berbahayanya dunia.

Menjadi kesulitan saat bagaimana menentukan batasan-batasan kekerasan dalam media yang masih bisa ditoleransi. Regulasi yang ada harus mempertimbangkan berbagai dimensi, seperti mementukan sejauh mana batas sebuah tayangan tidak dapat dipresentasikan, dilihat, didengar, atau disentuh. Selain itu, regulasi juga perlu menentukan sejuah mana kekerasan dalam media bisa menyebabkan traumatisme, kekacauan pribadi, stres, kegelisahan, dan rasa malu, serta dapat mengukur mana yang indah, jelek atau kumuh. Dan yang paling penting, dari dimensi moral, regulasi dapat menentukan mana yang bisa dipercaya, diterima, dan mana yang berpengaruh jahat.

Sumber:
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius. (Bab 4 & 5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar