Kezia
Mariska - 14140110212
Pertemuan
10 - 26 April 2016
Sumber foto: http://natasha42.blogspot.co.id/2014/12/augmented-use-of-social-networking.html
Pornografi dapat
didefinisikan sebagai representasi eksplisit berupa gambar, tulisan, lukisan,
dan foto dari aktivitas seksual atau hal yang senonoh, mesum, atau cabul yang
dikomunikasikan ke publik. Hal ini dipahami sebagai seseuatu yang melukai
dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan membangkitkan seksualitas. Hal
senonoh, mesum, atau cabul didasarkan juga atas penilaian oleh kemunitas
setempat atau oleh setiap orang yang sehat akal. Definisi tersebut akan lebih
meyakinkan lagi bila karya itu tidak mengandung nilai seni, sastra, ilmiah,
atau politik.
Biasanya,
pornografi ditolak karena ingin menciptakan perlindungan terhadap orang muda
atau anak-anak. Pornografi dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak atau remaja
sehingga dapat mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku. Selain
itu, penolakan pornografi berguna untuk mencegah adanya perendahan martabat
perempuan dan mencegah penghancuran tatanan nilai keluarga dan masyarakat.
Selain pornografi,
masalah erotisme juga menjadi perbincangan. Konsekuensi dari erotisme lebih
menekankan pada imajinasi dan sugesti. Dalam erotisme, yang lebih tampak adalah
pengungkapan hasrat daripada penonjolah tubuh yang telanjang. Semua erotisme
selalu beresiko menjadi pornografi.
Etika komunikasi
seakan tidak berdaya menghadapi maraknya segala bentuk kekerasan dalam media.
Pornografi, kekerasan dalam kata-kata, agresivitas, kekerasan virtual (game, dll.), kekerasan simbolik, dan
kekerasan lembut yang menipulatif merajalela tanpa ada struktur kuat yang
melawannya.
Kekerasan
didefiniskan sebagai prinsip tindakan kekuatan yang memaksa pihak lain tanpa
persetujuan. Dalam kekerasan terkandung pula unsur dominasi terhadap pihak lain
dalam berbagai bentuk seperti fisik, verbal, moral, psikologis, atau melalui
gambar. Penggunaan kekuatan, manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak benar,
pengkondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan
merupakan wujud nyata dari kekerasan dalam media.
Seringnya media
menampilkan kekerasan, jelas akan menimbulkan bahaya. Skenario kekerasan di
media ditakutkan akan menjadi kekerasan sosial riil. Informasi tentang
kekerasan juga bisa menambah kegelisahan umum dan meningkatkan perilaku
agresif. Selain itu, tayangan kekerasan dapat meningkatkan rasa takut sehingga
akan menciptakan representasi dalam diri pemirsa, betapa berbahayanya dunia.
Menjadi kesulitan
saat bagaimana menentukan batasan-batasan kekerasan dalam media yang masih bisa
ditoleransi. Regulasi yang ada harus mempertimbangkan berbagai dimensi, seperti
mementukan sejauh mana batas sebuah tayangan tidak dapat dipresentasikan,
dilihat, didengar, atau disentuh. Selain itu, regulasi juga perlu menentukan sejuah
mana kekerasan dalam media bisa menyebabkan traumatisme, kekacauan pribadi, stres,
kegelisahan, dan rasa malu, serta dapat mengukur mana yang indah, jelek atau
kumuh. Dan yang paling penting, dari dimensi moral, regulasi dapat menentukan
mana yang bisa dipercaya, diterima, dan mana yang berpengaruh jahat.
Sumber:
Haryatmoko.
2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi.
Yogyakarta: Kanisius. (Bab 4 & 5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar