Dzikra Fanada
14140110240
Kelas B
A. Media
dalam permasalahan pornografi
Kecenderungan media untuk menampilkan
yang sensasional dan spektakuler mempengaruhi insan media sehingga mudah
tergoda mempresentasikan pornografi karena paling mudah memancing kehebohan.
Dari sini tampak bahwa perdebatan
tentang pornografi bukan hanya masalah melulu konseptual, tetapi menyangkut
masalah pengambilan sikap moral dan politik.
B.
Pornografi dan Erotisme
Dalam pornografi, gambar ingin
memberikan semua yang diketahui dan langsung tanpa membutuhkan saat untuk
merenung. Penafikan simbol juga sejalan dengan prinsip “harus sangat kelihatan”
sehingga tidak memerlukan lagi kisah. Dalam pornografi, tanpa konteks dan tidak
ada tokoh subyek yang sebenarnya, tetapi hanya dihiasi tokoh palsu, tanpa
identitas dan sejarah.
Dalam erotisme, yang lebih tampak
adalah pengungkapan hasrat daripada penonjolan tubuh yang telanjang. Maka,
butuh keterlambatan bahkan kelambanan, toleran terhadap waktu dan membiarkan
adanya perkembangan.
Erotisme mencari celan antara
“mengatakan semua” dan “menyembunyikan semua”. Dalam celah itu mau ditampilkan
pandangan yang tak dikenal untuk menemukan dunia yang hilang.
Setelah melihat lebih jeli
unsur-unsur yang mengarah pada pornografi, pelarangan atau regulasi oleh negara
dalam materi ini akan lebih memperhatikan petimbangan yang lebih jernih. Negara
dianggap berhak menetapkan kriminal tindak prostitusi, pornografi, aborsi,
selingkuh, kumpul kebo, atau perilaku seksual tertentu.
C. Kekerasan dalam media
Ada beberapa macam kekerasan dalam media:
1. Kekerasan Dokumen
Kekerasan dokumen merupakan penampilan gambar kekerasan yang
dipahami pemirsa atau pembaca dengan mata telanjang sebagai dokumentasi atau
rekaman fakta kekerasan. Kekerasan dalam media bisa dipresentasikan melalui
isinya, misalnya dengan tindakan (pembunuhan, pertengkaran, perkelahian,
kerusuhan dan tembakan), bisa juga dengan situasi (konflik, luka, dan
tangisan).
2. Kekerasan fiksi dan Kekerasan Simulasi
Kekerasan yang ditampilkan dalam kisah fiksi bukannya tidak
meninggalkan bekas luka pada pemirsa atau pembacanya, terutama pada anak bisa
meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Seperti siaran smack-down.
Kekerasan simulasi kuat melekat pada permainan video, tetapi
juga dalam permainan online. Pada simulasi tank yang melindes dan menghansurkan
musuh, kekerasan dirasakan pada pengendara virtual berteriak puas atau marah.
3. Kekerasan simbolik dan ketidakpedulian
Kekerasan yang paling sulit diatasi adalah kekerasan simbolis
yang beroperasi melalui iklan. Disebut simbolis karena dampak yang biasa
dilihat pada kekerasan fisik tidak tampak. Kekerangan simbolik terjadi karena
pengakuan dan ketidaktahuan yang didominasi atau yang diatur.
Menurut Benoit Heilbrunn, kekerasan simbolik iklan ini
beroperasi dengan tiga cara. Pertama, melalui kekuasaan media. Kedua, iklan
bisa menjadi pengarah transmisi kekerasan. Ketiga, hubungan merek dengan
kekerasan melandaskan pada konsepsi spektakuler di mana kekerasan dirasakan
pada akibatnya.
D. Etika Komunikasi dan Politik media
Politik media harus diarahkan untuk perlindungan anak dan
remaja dari isis siaran yang merugikan. Perlindungan yang efektif, pertama-tama
justru bukan pelarangan, tetapi mendampingi anak-anak atau remaja dalam selera
budaya mereka.
Perlu juga dikembangkan suatu pendidikan dan pelatihan
dibidang media secara sistematis, berarti harus masuk ke dalam kurikulum sekolah
, dengan bertitik tolak dari pengetahuan, minat, dan frekuensi kehadiran mereka
pada media.
Pendidikan dan pelatihan ini hanya akan mendapat sambutan
bila dimungkinkan ada tempat dalam media agar mereka bisa mengungkapkan ide,
reaksi atau kreativitas mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar