Rabu, 25 Mei 2016

Manipulasi Media dan Kesadaran palsu, Pornografi dan Kekerasan, serta Propaganda dalam Media/Pers (Pertemuan 9)


Dzikra Fanada
14140110240
Kelas B

A. Media dalam permasalahan pornografi

Kecenderungan media untuk menampilkan yang sensasional dan spektakuler mempengaruhi insan media sehingga mudah tergoda mempresentasikan pornografi karena paling mudah memancing kehebohan.
Dari sini tampak bahwa perdebatan tentang pornografi bukan hanya masalah melulu konseptual, tetapi menyangkut masalah pengambilan sikap moral dan politik.

B. Pornografi dan Erotisme
Dalam pornografi, gambar ingin memberikan semua yang diketahui dan langsung tanpa membutuhkan saat untuk merenung. Penafikan simbol juga sejalan dengan prinsip “harus sangat kelihatan” sehingga tidak memerlukan lagi kisah. Dalam pornografi, tanpa konteks dan tidak ada tokoh subyek yang sebenarnya, tetapi hanya dihiasi tokoh palsu, tanpa identitas dan sejarah.
Dalam erotisme, yang lebih tampak adalah pengungkapan hasrat daripada penonjolan tubuh yang telanjang. Maka, butuh keterlambatan bahkan kelambanan, toleran terhadap waktu dan membiarkan adanya perkembangan.
Erotisme mencari celan antara “mengatakan semua” dan “menyembunyikan semua”. Dalam celah itu mau ditampilkan pandangan yang tak dikenal untuk menemukan dunia yang hilang.
Setelah melihat lebih jeli unsur-unsur yang mengarah pada pornografi, pelarangan atau regulasi oleh negara dalam materi ini akan lebih memperhatikan petimbangan yang lebih jernih. Negara dianggap berhak menetapkan kriminal tindak prostitusi, pornografi, aborsi, selingkuh, kumpul kebo, atau perilaku seksual tertentu.

C. Kekerasan dalam media
Ada beberapa macam kekerasan dalam media:
1. Kekerasan Dokumen
Kekerasan dokumen merupakan penampilan gambar kekerasan yang dipahami pemirsa atau pembaca dengan mata telanjang sebagai dokumentasi atau rekaman fakta kekerasan. Kekerasan dalam media bisa dipresentasikan melalui isinya, misalnya dengan tindakan (pembunuhan, pertengkaran, perkelahian, kerusuhan dan tembakan), bisa juga dengan situasi (konflik, luka, dan tangisan).

2. Kekerasan fiksi dan Kekerasan Simulasi
Kekerasan yang ditampilkan dalam kisah fiksi bukannya tidak meninggalkan bekas luka pada pemirsa atau pembacanya, terutama pada anak bisa meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Seperti siaran smack-down.
Kekerasan simulasi kuat melekat pada permainan video, tetapi juga dalam permainan online. Pada simulasi tank yang melindes dan menghansurkan musuh, kekerasan dirasakan pada pengendara virtual berteriak puas atau marah.

3. Kekerasan simbolik dan ketidakpedulian
Kekerasan yang paling sulit diatasi adalah kekerasan simbolis yang beroperasi melalui iklan. Disebut simbolis karena dampak yang biasa dilihat pada kekerasan fisik tidak tampak. Kekerangan simbolik terjadi karena pengakuan dan ketidaktahuan yang didominasi atau yang diatur.
Menurut Benoit Heilbrunn, kekerasan simbolik iklan ini beroperasi dengan tiga cara. Pertama, melalui kekuasaan media. Kedua, iklan bisa menjadi pengarah transmisi kekerasan. Ketiga, hubungan merek dengan kekerasan melandaskan pada konsepsi spektakuler di mana kekerasan dirasakan pada akibatnya.

D. Etika Komunikasi dan Politik media
Politik media harus diarahkan untuk perlindungan anak dan remaja dari isis siaran yang merugikan. Perlindungan yang efektif, pertama-tama justru bukan pelarangan, tetapi mendampingi anak-anak atau remaja dalam selera budaya mereka.
Perlu juga dikembangkan suatu pendidikan dan pelatihan dibidang media secara sistematis, berarti harus masuk ke dalam kurikulum sekolah , dengan bertitik tolak dari pengetahuan, minat, dan frekuensi kehadiran mereka pada media.
Pendidikan dan pelatihan ini hanya akan mendapat sambutan bila dimungkinkan ada tempat dalam media agar mereka bisa mengungkapkan ide, reaksi atau kreativitas mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar