Senin, 30 Mei 2016

Media Baru dan Kebebasan Berekspresi Media/ Pers dan Individu; Bedah kasus mengenai komunisme di Indonesia


Dzikra Fanada
14140110240
Kelas B

Mengenai kebebasan, sebenarnya Indonesia sudah memiliki perundang-undangan tersendiri mengenai hal tersebut. Pada undang-undang no.9 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum pasal satu ayat satu, berbunyi “kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal tersebut menguatkan bahwa memang pada dasarnya setiap warga negara Indonesia bisa menyampaikan pendapatnya di muka umum, tetapi pada kenyataannya kebebasan yang dirasakan oleh warga negara Indonesia tidak sebebas apa yang sudah di ataur dalam perundang-undangan No.9 tahun 1999 tersebut.
Beberapa pendapat mengatakan, semenjak kelengseran Soeharto pada 1998, kebebasan berpendapat sudah jauh lebih longgar dari sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan negara lain, kebebasan berpendapat di Indonesia belum bisa maksimal karena banyaknya ambiguitas mengenai apa itu kebebasan bagi warga negara Indonesia? Dan mengapa kebebasan berpendapat di Indonesia masih terlalu banyak pembatasnya, bukan hanya batas yang dibuat oleh negara, tetapi juga batas-batas yang dibuat oleh warga negara itu sendiri.
Mungkin bisa dikatakan kasus paling besar yang pernah terjadi di Indonesia sampai hari ini adalah masalah tentang komunisme dan tragedi 65 yang menyangkut komunisme itu sendiri. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, kasus ini belum selesai.
Ada benang kusut dalam kasus komunisme dan tragedi 65 ini yang membebani bangsa ini. Terlebih lagi jika seluruh saksi mata tragedi 65 sudah tidak ada, mungkin kasus ini terus akan menjadi beban bagi penerus-penerus bangsa ini yang terus dicekoki cerita-cerita masa lalu, entah benar ataupun salah, karena kebenaran tersebut belum juga bisa diselesaikan dan ada kesimpulannya.
Tahun demi tahun, para keluarga korban dan “eksekutor” dari tragedi 65 mulai angkat suara. Dari film berjudul “Jagal” dan “Senyap” yang dibuat oleh seseorang dari luar negeri. Film ini sendiri adalah wawancara dari para “eksekutor” dan keluarga korban mengenai apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Film ini juga tidak bisa ditonton secara bebas di teater terbuka, beberapa bahkan harus menonton film ini secara sembunyi-sembunyi karena masalah ini selalu menjadi masalah yang sensitif bagi seluruh warga negara.
Sulit mencari jalan keluar dari kasus ini, karena penyebab nya pun masih diragukan. Mungkin untuk saya pribadi, saya setuju dengan salah satu dosen saya. Untuk paham komunisme itu sendiri saya tidak begitu setuju. Karena nyatanya negara-negara yang memiliki paham ini mulai runtuh, seperti Uni soviet yang berubah menjadi Rusia, Cuba, juga Korea Utara. Tetapi, Indonesia harus mengakui bahwa tragedi 65 bukanlah hal yang harus dilupakan dan dimanipulasi kebenarannya. Indonesia juga harus mengakui bahwa dulu bangsa ini mempunyai masalah dan kesalahan, bahkan Indonesia mungkin juga harus meminta maaf kepada keluarga korban yang saat ini masih terus dibebani oleh tragedi ini.
Beberapa cerita mengatakan, jika seseorang adalah anak atau bahkan cucu dari seorang yang dulunya PKI (Partai Komunis Indonesia), akan ada angka khusus yang tercantum dalam KTP orang tersebut dan membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan dan kelayakan hidup. Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkan, karena pada dasarnya setiap orang berhak mendapatkan atas apa yang ia lakukan, bukan yang orang lain lakukan, bahkan jika orang lain tersebut adalah anggota keluarganya (Ayah atau kakeknya terdahulu).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar