Dzikra Fanada
14140110240
Kelas B
Mengenai
kebebasan, sebenarnya Indonesia sudah memiliki perundang-undangan tersendiri
mengenai hal tersebut. Pada undang-undang no.9 tentang kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum pasal satu ayat satu, berbunyi “kemerdekaan menyampaikan
pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan
lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
tersebut menguatkan bahwa memang pada dasarnya setiap warga negara Indonesia
bisa menyampaikan pendapatnya di muka umum, tetapi pada kenyataannya kebebasan
yang dirasakan oleh warga negara Indonesia tidak sebebas apa yang sudah di
ataur dalam perundang-undangan No.9 tahun 1999 tersebut.
Beberapa pendapat
mengatakan, semenjak kelengseran Soeharto pada 1998, kebebasan berpendapat
sudah jauh lebih longgar dari sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan
negara lain, kebebasan berpendapat di Indonesia belum bisa maksimal karena banyaknya
ambiguitas mengenai apa itu kebebasan bagi warga negara Indonesia? Dan mengapa
kebebasan berpendapat di Indonesia masih terlalu banyak pembatasnya, bukan
hanya batas yang dibuat oleh negara, tetapi juga batas-batas yang dibuat oleh
warga negara itu sendiri.
Mungkin bisa
dikatakan kasus paling besar yang pernah terjadi di Indonesia sampai hari ini
adalah masalah tentang komunisme dan tragedi 65 yang menyangkut komunisme itu
sendiri. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, kasus ini belum selesai.
Ada benang
kusut dalam kasus komunisme dan tragedi 65 ini yang membebani bangsa ini. Terlebih
lagi jika seluruh saksi mata tragedi 65 sudah tidak ada, mungkin kasus ini
terus akan menjadi beban bagi penerus-penerus bangsa ini yang terus dicekoki
cerita-cerita masa lalu, entah benar ataupun salah, karena kebenaran tersebut
belum juga bisa diselesaikan dan ada kesimpulannya.
Tahun demi
tahun, para keluarga korban dan “eksekutor” dari tragedi 65 mulai angkat suara.
Dari film berjudul “Jagal” dan “Senyap” yang dibuat oleh seseorang dari luar
negeri. Film ini sendiri adalah wawancara dari para “eksekutor” dan keluarga
korban mengenai apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Film ini juga tidak bisa
ditonton secara bebas di teater terbuka, beberapa bahkan harus menonton film
ini secara sembunyi-sembunyi karena masalah ini selalu menjadi masalah yang
sensitif bagi seluruh warga negara.
Sulit mencari
jalan keluar dari kasus ini, karena penyebab nya pun masih diragukan. Mungkin untuk
saya pribadi, saya setuju dengan salah satu dosen saya. Untuk paham komunisme
itu sendiri saya tidak begitu setuju. Karena nyatanya negara-negara yang
memiliki paham ini mulai runtuh, seperti Uni soviet yang berubah menjadi Rusia,
Cuba, juga Korea Utara. Tetapi, Indonesia harus mengakui bahwa tragedi 65
bukanlah hal yang harus dilupakan dan dimanipulasi kebenarannya. Indonesia juga
harus mengakui bahwa dulu bangsa ini mempunyai masalah dan kesalahan, bahkan
Indonesia mungkin juga harus meminta maaf kepada keluarga korban yang saat ini
masih terus dibebani oleh tragedi ini.
Beberapa cerita
mengatakan, jika seseorang adalah anak atau bahkan cucu dari seorang yang
dulunya PKI (Partai Komunis Indonesia), akan ada angka khusus yang tercantum
dalam KTP orang tersebut dan membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan dan
kelayakan hidup. Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkan, karena pada dasarnya
setiap orang berhak mendapatkan atas apa yang ia lakukan, bukan yang orang lain
lakukan, bahkan jika orang lain tersebut adalah anggota keluarganya (Ayah atau
kakeknya terdahulu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar