Ontologi merupakan salah satu kajian filosofis paling kuno
yang membahasa keberadaan sesutau yang bersifat konkret. Secara sederhana,
ontologis itu mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati secara ontologis
berdasarkan dua sudut pandang:
- Sudut pandang kuantitatif: mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak.
- Sudut pandang kualitatif: mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti daun yang memiliki warna kehijauan dan bunga mawar yang berbau harum.
Filsafat pertama atau metafisika memelopori perolehan
pengetahuanteoretis mengenai kenyataan dan mendasari filsafat lainnya seperti
filsafat alam (fisika) sebagai sebuah sistem ilmiah. Seiring berjalannya waktu,
manusia mulai meninggalkan cara pandang metafisis karena metafisika yang menggunakan
bahasa natural dianggap hanya menghasilkan pernataan-pernyataan yang kabur. Hal
ini membuat tidak jelas, ambigu, dan abstrak untuk mengungkap hakikat
kenyataan. Kemudian, ilmu-ilmu alam memanfaatkan bahasa formal untuk mengungkap
hakikat kenyataan menurut akal sehat dengan menggunakan logika dan matematika
sehingga pernyataan-pernyataan yang dibuat jelas dan distingtif terhadap apa
yang dibicarakan.
Perkembangan filsafat pertama (metafisika) menggunakan
bahasa natural sampai kepada filsafat alam (fisika) yang menggunakan bahasa
formal bertujuan sama yaitu memahami hakikat realitas menurut suatu hukum akal
budi yang bersifat universal yaitu ontologi. Metafisika dan fisika berusaha
untuk menjawab dan menjelaskan hakikat kenyataan.
Ontologi sendiri merupakan salah satu bagian utama dari
filsafat. Seperti yang dijabarkan di atas bahwa ontologi mempelajari mengenai adanya
realitas. Realitas dipelajari dalam filsafat. Filsafat sendiri kunci utamanya
adalah mempertanyakan segala sesuatu. Maka dari itu, kita harus mepertanyakan
segala realitas nyata agar mencapai target yang kita inginkan. Di balik
realitas itu, pasti ada penyebab kenapa realitas itu terjadi dan apa
faktor-faktornya.
Selain itu, dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan semakin
bercabang, dari satu spesialisasi kemudian terus beranak pinka menjadi sub
spesialisasi lainnya. Hal ini membuat tugas etika menjadi lebih sulit dan
menantang untuk memberikan pertimbangan etis terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan yang semakin super-spesialis. Ilmu pengetahuan sekarang sangat
banyak, ada ilmu alam, sosial budaya, dan terapan.
Fisika merupakan jalan bagi ilmu-ilmu alam berkembang pesat
dan semua ilmu lain baru dianggap memiliki ciri ilmiah apabila dibahasakan
menurut prinsip-prinsip fisika. Contohnya adalah kimia, biologi, ilmu bumi,
astronomi, dan ilmu material. Apa yang diklaim sebagai prinsip-prinsip fisika
adalah teori yang konsep yang digunakan untuk menjelaskan fenomena alam. Karena
prinsip-prinsip fisika adalah teori, maka apa yan sesungguhnya mendorong
kemajuan ilmu-ilmu alam adalah refleksi kritis mengenai fenomena alam dari
sudut hakikat ilmu pengetahuan, yakni epistemologi atau logos (ilmu) tentang
episteme (pengetahuan).
Etika mempelajari nilai yang menjadi standar moral bagi bagi
kenyataan yang dapat diketahui dan dilakukan menurut penilaian baik atau buruk.
Etika merumuskan prinsip bahwa yang baik harus dilakukan dan yang buruk harus
dihindari. Apa yang benar secara ilmu pengetahuan belum tentu boleh dilakukan
dari sudut etika. Ilmu pengetahuan berbicara mengenai fakta, sedangkan etika
berbicara mengenai penilaian terhadap fakta.
Secara normatif, etika melampaui hukum karena hukum
berbicara tentang kenyataan empiris yaitu aturan-aturan yang ada, sedangkan
etika berbicara tentang kenyataan non-empiris yaitu apa yang harus ada pada
aturan-aturan positif. Jadi etika disebut hukum moral, sedangkan aturan-aturan
yang ada disebut hukum positif. Etika di sini bersifat absolut dan hukum
bersifat relatif.
Ada dua teori etika yaitu:
- Etika teleologis: suatu perbuatan adalah baik jika sesuai dengan tujuan kodrati (telos). Semakin sesuatu dalam kenyataan dekat dengan tujuannya semakin baik dalam mengaktualisasi dirinya. Jadi, pencapaian tujuan merupakan akibat dari perilaku yang baik.
- Etika deontologi: bersifat ontologis karena mempreskripsikan begitu saja tujuan seakan-akan sesuatu yang bisa diperoleh tanpa pertimbangan dan pilihan bebas. Pemikirian etika yang didasarkan pada penolakan terhadap tujuan kodrati merupakan prinsip deontologi – menolak bertindak menurut preskripsi moral yang ada, sebaliknya mendasarkan tindakan pada kehendak pribadi yag otonom. Motif pribadi menentukan nilai etis dalam sebuah tindakan.
14140110021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar