Senin, 28 Maret 2016

Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Ontologis



Ontologi merupakan salah satu kajian filosofis paling kuno yang membahasa keberadaan sesutau yang bersifat konkret. Secara sederhana, ontologis itu mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati secara ontologis berdasarkan dua sudut pandang:

  • Sudut pandang kuantitatif: mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak. 
  •    Sudut pandang kualitatif: mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti daun yang memiliki warna kehijauan dan bunga mawar yang berbau harum.

Filsafat pertama atau metafisika memelopori perolehan pengetahuanteoretis mengenai kenyataan dan mendasari filsafat lainnya seperti filsafat alam (fisika) sebagai sebuah sistem ilmiah. Seiring berjalannya waktu, manusia mulai meninggalkan cara pandang metafisis karena metafisika yang menggunakan bahasa natural dianggap hanya menghasilkan pernataan-pernyataan yang kabur. Hal ini membuat tidak jelas, ambigu, dan abstrak untuk mengungkap hakikat kenyataan. Kemudian, ilmu-ilmu alam memanfaatkan bahasa formal untuk mengungkap hakikat kenyataan menurut akal sehat dengan menggunakan logika dan matematika sehingga pernyataan-pernyataan yang dibuat jelas dan distingtif terhadap apa yang dibicarakan.

Perkembangan filsafat pertama (metafisika) menggunakan bahasa natural sampai kepada filsafat alam (fisika) yang menggunakan bahasa formal bertujuan sama yaitu memahami hakikat realitas menurut suatu hukum akal budi yang bersifat universal yaitu ontologi. Metafisika dan fisika berusaha untuk menjawab dan menjelaskan hakikat kenyataan.

Ontologi sendiri merupakan salah satu bagian utama dari filsafat. Seperti yang dijabarkan di atas bahwa ontologi mempelajari mengenai adanya realitas. Realitas dipelajari dalam filsafat. Filsafat sendiri kunci utamanya adalah mempertanyakan segala sesuatu. Maka dari itu, kita harus mepertanyakan segala realitas nyata agar mencapai target yang kita inginkan. Di balik realitas itu, pasti ada penyebab kenapa realitas itu terjadi dan apa faktor-faktornya.

Selain itu, dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan semakin bercabang, dari satu spesialisasi kemudian terus beranak pinka menjadi sub spesialisasi lainnya. Hal ini membuat tugas etika menjadi lebih sulit dan menantang untuk memberikan pertimbangan etis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin super-spesialis. Ilmu pengetahuan sekarang sangat banyak, ada ilmu alam, sosial budaya, dan terapan.

Fisika merupakan jalan bagi ilmu-ilmu alam berkembang pesat dan semua ilmu lain baru dianggap memiliki ciri ilmiah apabila dibahasakan menurut prinsip-prinsip fisika. Contohnya adalah kimia, biologi, ilmu bumi, astronomi, dan ilmu material. Apa yang diklaim sebagai prinsip-prinsip fisika adalah teori yang konsep yang digunakan untuk menjelaskan fenomena alam. Karena prinsip-prinsip fisika adalah teori, maka apa yan sesungguhnya mendorong kemajuan ilmu-ilmu alam adalah refleksi kritis mengenai fenomena alam dari sudut hakikat ilmu pengetahuan, yakni epistemologi atau logos (ilmu) tentang episteme (pengetahuan).

Etika mempelajari nilai yang menjadi standar moral bagi bagi kenyataan yang dapat diketahui dan dilakukan menurut penilaian baik atau buruk. Etika merumuskan prinsip bahwa yang baik harus dilakukan dan yang buruk harus dihindari. Apa yang benar secara ilmu pengetahuan belum tentu boleh dilakukan dari sudut etika. Ilmu pengetahuan berbicara mengenai fakta, sedangkan etika berbicara mengenai penilaian terhadap fakta.

Secara normatif, etika melampaui hukum karena hukum berbicara tentang kenyataan empiris yaitu aturan-aturan yang ada, sedangkan etika berbicara tentang kenyataan non-empiris yaitu apa yang harus ada pada aturan-aturan positif. Jadi etika disebut hukum moral, sedangkan aturan-aturan yang ada disebut hukum positif. Etika di sini bersifat absolut dan hukum bersifat relatif.

Ada dua teori etika yaitu:

  •  Etika teleologis: suatu perbuatan adalah baik jika sesuai dengan tujuan kodrati (telos). Semakin sesuatu dalam kenyataan dekat dengan tujuannya semakin baik dalam mengaktualisasi dirinya. Jadi, pencapaian tujuan merupakan akibat dari perilaku yang baik.
  • Etika deontologi: bersifat ontologis karena mempreskripsikan begitu saja tujuan seakan-akan sesuatu yang bisa diperoleh tanpa pertimbangan dan pilihan bebas. Pemikirian etika yang didasarkan pada penolakan terhadap tujuan kodrati merupakan prinsip deontologi – menolak bertindak menurut preskripsi moral yang ada, sebaliknya mendasarkan tindakan pada kehendak pribadi yag otonom. Motif pribadi menentukan nilai etis dalam sebuah tindakan.  
Ivana Livia Wibisono
14140110021 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar