Senin, 28 Maret 2016

Ilmu Pengetahuan Dalam prespektif Etis

Ilmu pengetahuan yang berbicara tentang kenyataan disebut ontology. Ilmu pengetahuan yang mempelajari perbuatan manusia berdasarkan pengetahuannya atas kenyataan disebut aksiologi. Sebagai ilmu pengetahuan, ontology, epistemology, dan aksiologi berusaha untuk menjawab pertanyaan benar atau salah. Dengan kata lain, apa yang benar secara ilmu pengetahuan belum tentu boleh dilakukan dari sudut etika. Ilmu pengetahuan berbicara mengenai fakta, sedangkan etika berbicara mengenai penilaian terhadap fakta. Sebagai norma perilaku, etika berbicara tentang apa yang boleh dan harus dilakukan dan apa yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Etika disebut hukum moral, sedangkan aturan-aturan yang ada disebut hukum positif. Sebagai hukum moral, etika berlaku absolut, sedangkan hukum berlaku tentatif. Ilmu pengetahuan berbicara tentang apa yang secara faktual ada dua teori etika yang paling utama adalah etika teleologis dan etika deontologis. Teleologis dikatakan bahwa uatu perbuatan adalah baik jika sesuai dengan tujuan kodrat (telos). Etika deontologi muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran atika teleologis yang dinilai terlalu inklinatif sehingga menghilangkan kehendak ebbas manusia untuk mempertimbangkan sendiri perbuatannya. Dari dua sumber etika yang merupakan sintesis dari kedua teori etika yang dianggap relevan dalam tinjauan mengenai dimensi etis ilmu pengetahuan.

Kenyataan Sebenarnya dan Kesan Sepintas

Demi suatu kesan kadang kita menutupi kenyataan yang sebenarnya demi suatu kesan cantik. Kadang kita memakai make-up atau operasi pelastik yang mencoba memulas wajah yang sebenarnya seperti itulah terjadi, bahkan mungkin sudah menjadi program kerja kita : menampilkan diri secara baik, agar menapatkan kesan baik. Kesan sangat mempengaruhi penilaian. Kesan yang kita berikan atas penampilan atau sikap yang ditampakan oleh orang lain, menjadi kriteria penilaian atau persepsi kita atas orang itu. Betapa pentingnya sebuah kesan ada kecenderungan untuk mau dianggap dan dinilai baik oleh orang lain. Permasalahan yang muncul adalah bahwa kesan akan sesuatu lebih didasarkan pada segi penampilan atau segi visual. Kalau penampilan baik, akan dikatakan baik. Kesan kita dipengaruhi oleh apa yang tampak pada saat kita melihat. Tetapi tentang apa ynag tidak terlihat atau apa ynag dibalik pemandangan sekilas tidak masuk kedalam pertimbangan kesan kita. Merpakan suatu masalah pula kalau kesan yang kita dapatkan terlalu dipengaruho oleh unsur kepentingan. Kesan diperlukan untuk memberikan suatu gambaran tertentu. Kesan baik akan menumbuhkan gambaran yang baik. Kesan belum tentu menggambarkan kenyataan. Kalau kita hanya berpegang teguh pada kesan, apalagi kesan sekilas, bias membuat pengamatan, persepsi dan penilaian kita menjadi tidak tepat yang mau dikatakan adalah jangan hanya berhenti pada kesan, jangan puas dengan hipotesa, jangan terlalu percaya pada pengamatan hipotesa dan apalagi pengamatan visual sepintas. Kesan sepintas ecara visual sama seperti orang-orang melihat foto. Kesan karena foto tersebut bias membuat kita tidak mau bertanya lagi : mengapa foto itu dimuat, mengapa dia memberikan sumbangan, darimana dana sumbangan itu dan karenanya jangan berpegang teguh kepada kesan yang sudah kita miliki. Kesan bukan sesuatu yang dogmatis. Selain daripada itu yang juga perlu kita pertimbangkan adalah sifat historis dari sebuah kesan. Harus diakui memang menangkap kesan dan memahami realitas memang tidak mudah. Berhenti dan hanya percaya pada kesan sepintas itu hanyalah gejala dari orang yang tidak mau tahu, apatis akan realitas.

Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani Kuno yakni philosophia dan philosophos yang berarti “orang yang cinta pada kebijaksanaan” atau “cinta pada pengetahuan”. Ada beberapa pengertian yang dapat digunakan untuk memahami apa itu filsafat; filsafat sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan sesuatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas, filsafat sebagai upaya untuk melukiskan hakikat realitas paling akhir serta paling dasar yang diakui sebagai suatu hal yang nyata, filsafat sebagai upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan, filsafat sebagai hasil suatu penelitian kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, filsafat sebagai disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda (kita) untuk menyatakan yang Anda katakana dan untik mengatakan yang Anda lihat bahwa filsafat Yunani diawali dengan munculnya pemikiran yang mempertanyakan asal mula alam (kosmologi).

Periodisasi Filsafat Barat
Periode tersebut adalah pertama, Filafat Yunani, kedua, Filsafat Abad Pertengahan, ketiga, Filsafat Moderen dan keempat, Filsafat Kontemporer atau Postmodern. Secara umum, pembagian atau pemetaan bidang filsafat tersebut dalam kajian filsafat bias dikelompokan menjadi tiga bidang yakni (1) ontology, (2) epistemology dan (3) aksiologi. Ontology adalah cabang filsafat yang membahas atau membicarakan masalah “ada”/”realitas”. Sub-cabang ontology adalah metafisika secara singkat, jawaban-jawaban yang muncul atas sejumlah pernyataan tadi muncul dari pelbagai padandangan dan jika disederhanakan bias digolongkan dalam dua kelompok yakni (1) monism dan (2) pluralism. Epistemology adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat pengetahuan atau dnegan kata lain epistemology membahas persoalan-persoalan tentang dari manakah pengetahuan itu berasal atay apakah sumber pengetahuan itu, adapun aksiologi, adalah cabang filsafat yang membahas tentang “nilai” (value). Perbedaan antara (kajian) filsafat dengan ilmu pengetahuan (salah satunya) dapat kita tengok atau terletak pada ciri berpikir ini ( radikal dan komprehensif). Dalam bahasa yang positif, filsafat juga dapat membantu ilmu pengetahuan spesialis dalam kesatuan sistem serta sebagai “moderator” yang mengatur dialog antar berbagai bidang ilmu. Kendati demikian perbedaan antara agama dan filsafat dapat kita lihat (sekurang-kurangnya) berdasarkan sumbernya. Jika filsafat (juga ilmu pengetahuan) bersumber dari pengalaman dan rasio, maka agama bersumber dari iman (wahyu Tuhan).

Ciri Berpikir Filsafat
Berpikir secara filosofis adalah berpikir dengan ketat, dengan mempertimbangkan penalaran atau penarikan kesimpulan secara hati-hati.  Menuntut kejelasan, keruntutan, konsistenti, dan sistematika.
Cara Belajar Filsafat
Mengikuti Marx B. Woodhouse (2000) empat sikap batin: keberanian untuk menguji secara kritis hal-hal yang kita yakini, kesediaan untuk mengajukan hipotesis-hipotesis tentative untuk memberikan tanggapan awal, kesediaan untuk menempatkan tekat pencarian kebenaran diatas kepuasan diri sendiri karena telah “menang” dalam suatu perdebatan atau kekecewaan karena “kalah”, kemampuan untuk memisahkan sikap/pandangan atau konflik pribadi karena ketidakmampuan memisahkan hal yang “pribadi” keterampilan yang mesti dikembangkan kita harus “belajar filsafat” dan “berfilsafat” hindarilah bersikap kekeuh dengan pendapat pribadi, jangan mencampuradukan antara “argument filosofis” dengan “praktik psikologi”, filsafat memiliki kedua sisi, yakni sisi kritis dan konstruktif, ketika mengkritik pendapat /argumen orang lain, usahakanlah terlebih dulu mempertimbangkan kekuatan kritik Anda.

Motode Filsafat

“metode kritis”, “motode intuitif”, “metode skolastik”, “mtode geometri”, “metode empiris”, “metode transcendental”, “metode dialektis”, “metode fenomenologi” dan “metode analisis bahasa” membentuk pemikiran, dan bukan sekedar mengisi kepala kita dengan fakta-fakta atau informasi-informasi membawa kita kepada pemahaman (kemandirian secara intelektual) dan (toleran terhadap perbedaan sudut pandang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar