Ilmu
pengetahuan yang berbicara tentang kenyataan disebut ontology. Ilmu pengetahuan
yang mempelajari perbuatan manusia berdasarkan pengetahuannya atas kenyataan
disebut aksiologi. Sebagai ilmu pengetahuan, ontology, epistemology, dan
aksiologi berusaha untuk menjawab pertanyaan benar atau salah. Dengan kata
lain, apa yang benar secara ilmu pengetahuan belum tentu boleh dilakukan dari
sudut etika. Ilmu pengetahuan berbicara mengenai fakta, sedangkan etika
berbicara mengenai penilaian terhadap fakta. Sebagai norma perilaku, etika
berbicara tentang apa yang boleh dan harus dilakukan dan apa yang dilarang atau
tidak boleh dilakukan. Etika disebut hukum moral, sedangkan aturan-aturan yang
ada disebut hukum positif. Sebagai hukum moral, etika berlaku absolut, sedangkan
hukum berlaku tentatif. Ilmu pengetahuan berbicara tentang apa yang secara
faktual ada dua teori etika yang paling utama adalah etika teleologis dan etika
deontologis. Teleologis dikatakan bahwa uatu perbuatan adalah baik jika sesuai
dengan tujuan kodrat (telos). Etika deontologi muncul sebagai reaksi terhadap
pemikiran atika teleologis yang dinilai terlalu inklinatif sehingga
menghilangkan kehendak ebbas manusia untuk mempertimbangkan sendiri
perbuatannya. Dari dua sumber etika yang merupakan sintesis dari kedua teori
etika yang dianggap relevan dalam tinjauan mengenai dimensi etis ilmu
pengetahuan.
Kenyataan
Sebenarnya dan Kesan Sepintas
Demi
suatu kesan kadang kita menutupi kenyataan yang sebenarnya demi suatu kesan
cantik. Kadang kita memakai make-up atau operasi pelastik yang mencoba memulas
wajah yang sebenarnya seperti itulah terjadi, bahkan mungkin sudah menjadi
program kerja kita : menampilkan diri secara baik, agar menapatkan kesan baik.
Kesan sangat mempengaruhi penilaian. Kesan yang kita berikan atas penampilan
atau sikap yang ditampakan oleh orang lain, menjadi kriteria penilaian atau
persepsi kita atas orang itu. Betapa pentingnya sebuah kesan ada kecenderungan
untuk mau dianggap dan dinilai baik oleh orang lain. Permasalahan yang muncul
adalah bahwa kesan akan sesuatu lebih didasarkan pada segi penampilan atau segi
visual. Kalau penampilan baik, akan dikatakan baik. Kesan kita dipengaruhi oleh
apa yang tampak pada saat kita melihat. Tetapi tentang apa ynag tidak terlihat
atau apa ynag dibalik pemandangan sekilas tidak masuk kedalam pertimbangan
kesan kita. Merpakan suatu masalah pula kalau kesan yang kita dapatkan terlalu
dipengaruho oleh unsur kepentingan. Kesan diperlukan untuk memberikan suatu
gambaran tertentu. Kesan baik akan menumbuhkan gambaran yang baik. Kesan belum
tentu menggambarkan kenyataan. Kalau kita hanya berpegang teguh pada kesan,
apalagi kesan sekilas, bias membuat pengamatan, persepsi dan penilaian kita
menjadi tidak tepat yang mau dikatakan adalah jangan hanya berhenti pada kesan,
jangan puas dengan hipotesa, jangan terlalu percaya pada pengamatan hipotesa
dan apalagi pengamatan visual sepintas. Kesan sepintas ecara visual sama
seperti orang-orang melihat foto. Kesan karena foto tersebut bias membuat kita
tidak mau bertanya lagi : mengapa foto itu dimuat, mengapa dia memberikan
sumbangan, darimana dana sumbangan itu dan karenanya jangan berpegang teguh
kepada kesan yang sudah kita miliki. Kesan bukan sesuatu yang dogmatis. Selain
daripada itu yang juga perlu kita pertimbangkan adalah sifat historis dari
sebuah kesan. Harus diakui memang menangkap kesan dan memahami realitas memang
tidak mudah. Berhenti dan hanya percaya pada kesan sepintas itu hanyalah gejala
dari orang yang tidak mau tahu, apatis akan realitas.
Istilah
filsafat berasal dari bahasa Yunani Kuno yakni philosophia dan philosophos
yang berarti “orang yang cinta pada kebijaksanaan” atau “cinta pada
pengetahuan”. Ada beberapa pengertian yang dapat digunakan untuk memahami apa
itu filsafat; filsafat sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan sesuatu
pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas, filsafat sebagai
upaya untuk melukiskan hakikat realitas paling akhir serta paling dasar yang
diakui sebagai suatu hal yang nyata, filsafat sebagai upaya untuk menentukan
batas-batas dan jangkauan pengetahuan, filsafat sebagai hasil suatu penelitian
kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan
dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, filsafat sebagai disiplin ilmu yang
berupaya untuk membantu Anda (kita) untuk menyatakan yang Anda katakana dan
untik mengatakan yang Anda lihat bahwa filsafat Yunani diawali dengan munculnya
pemikiran yang mempertanyakan asal mula alam (kosmologi).
Periodisasi
Filsafat Barat
Periode
tersebut adalah pertama, Filafat
Yunani, kedua, Filsafat Abad
Pertengahan, ketiga, Filsafat Moderen
dan keempat, Filsafat Kontemporer
atau Postmodern. Secara umum, pembagian atau pemetaan bidang filsafat tersebut
dalam kajian filsafat bias dikelompokan menjadi tiga bidang yakni (1) ontology,
(2) epistemology dan (3) aksiologi. Ontology adalah cabang filsafat yang
membahas atau membicarakan masalah “ada”/”realitas”. Sub-cabang ontology adalah
metafisika secara singkat, jawaban-jawaban yang muncul atas sejumlah pernyataan
tadi muncul dari pelbagai padandangan dan jika disederhanakan bias digolongkan
dalam dua kelompok yakni (1) monism dan (2) pluralism. Epistemology adalah
cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat pengetahuan atau dnegan kata lain
epistemology membahas persoalan-persoalan tentang dari manakah pengetahuan itu
berasal atay apakah sumber pengetahuan itu, adapun aksiologi, adalah cabang
filsafat yang membahas tentang “nilai” (value). Perbedaan antara (kajian)
filsafat dengan ilmu pengetahuan (salah satunya) dapat kita tengok atau
terletak pada ciri berpikir ini ( radikal dan komprehensif). Dalam bahasa yang
positif, filsafat juga dapat membantu ilmu pengetahuan spesialis dalam kesatuan
sistem serta sebagai “moderator” yang mengatur dialog antar berbagai bidang
ilmu. Kendati demikian perbedaan antara agama dan filsafat dapat kita lihat
(sekurang-kurangnya) berdasarkan sumbernya. Jika filsafat (juga ilmu
pengetahuan) bersumber dari pengalaman dan rasio, maka agama bersumber dari
iman (wahyu Tuhan).
Ciri
Berpikir Filsafat
Berpikir
secara filosofis adalah berpikir dengan ketat, dengan mempertimbangkan
penalaran atau penarikan kesimpulan secara hati-hati. Menuntut kejelasan, keruntutan, konsistenti,
dan sistematika.
Cara
Belajar Filsafat
Mengikuti
Marx B. Woodhouse (2000) empat sikap batin: keberanian untuk menguji secara
kritis hal-hal yang kita yakini, kesediaan untuk mengajukan hipotesis-hipotesis
tentative untuk memberikan tanggapan awal, kesediaan untuk menempatkan tekat
pencarian kebenaran diatas kepuasan diri sendiri karena telah “menang” dalam
suatu perdebatan atau kekecewaan karena “kalah”, kemampuan untuk memisahkan
sikap/pandangan atau konflik pribadi karena ketidakmampuan memisahkan hal yang
“pribadi” keterampilan yang mesti dikembangkan kita harus “belajar filsafat”
dan “berfilsafat” hindarilah bersikap kekeuh
dengan pendapat pribadi, jangan mencampuradukan antara “argument filosofis”
dengan “praktik psikologi”, filsafat memiliki kedua sisi, yakni sisi kritis dan
konstruktif, ketika mengkritik pendapat /argumen orang lain, usahakanlah
terlebih dulu mempertimbangkan kekuatan kritik Anda.
Motode
Filsafat
“metode
kritis”, “motode intuitif”, “metode skolastik”, “mtode geometri”, “metode
empiris”, “metode transcendental”, “metode dialektis”, “metode fenomenologi”
dan “metode analisis bahasa” membentuk pemikiran, dan bukan sekedar mengisi
kepala kita dengan fakta-fakta atau informasi-informasi membawa kita kepada
pemahaman (kemandirian secara intelektual) dan (toleran terhadap perbedaan
sudut pandang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar