Senin, 28 Maret 2016

Epistemologi dalam Filsafat




            Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang berupaya secara evaluatif dan kritis terhadap pengetahuan manusia. Pengetahuan tersebut memilik berbagai sumber. Aristoteles dan Plato memiliki pandangan yang berbeda mengenai sumber pengetahuan. Aristoteles beranggapan bahwa sumber dihasilkan melalui rasio atau kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkat mengenai keberadaan dan alam semesta pada umumnya. Sedangkan, Plato beranggapan sumber pengetahuan adalah pengalaman. Segala sesuatu yang dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan harus dibuktikan dengan metode empiris-eksperimental sehingga keabsahannya dapat dibuktikan.
Selain itu, Hospers dan Honderich memiliki pandangan yang hampir sama mengenai sumber pengetahuan, seperti persepsi merupakan hasi tanggapan indrawi terhadap fenomena alam, pengalaman langsung atau tidak langsung harus didukung dengan ingatan agar lebih sistematis dan logis, akal yang berdasarkan logika sehingga dapat menarik kesimpulan yang masuk akal, interopeksi ke dalam dirinya agar melihat sesuatu secara mendalam, pengenalan terhadap sesuatu secara langsung atau tiba-tiba(intuisi) yang dapat digunakan secara indrawi(pengamatan) atau intelektual, otoritas yang mengacu pada individu atau kelompok yang memiliki pengetahuan lebih tinggi, prekognisi sebagai kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi, clairvoyance atau kemampuan persepsi terhadap suatu peristiwa tanpa indra, dan telepati atau komunikasi secara mental tanpa suara atau simbol.
Melalui pembahasan sumber pengetahuan, dapat ditemukan jenis-jenisnya, yaitu pengetahuan biasa(common sense), ilmiah(tersistem), filosofis(yang tidak dibahas atau tidak terjawab ilmu pengetahuan), dan teologis(wahyu Tuhan).
Epistemologi juga berkaitan dengan model-model penalaran. Model ini banyak digunakan dalam dunia ilmiah, empat diantaranya, yaitu induksi atau proses penarikan kesimpulan dari benar atau tidaknya tesis yang ditentukan oleh pengalaman, deduksi atau proses penalaran yang mengubah generalisasi menjadi lebih khusus, abduksi atau bentuk pembuktian melalui silogisme, dan dialektika atau meotde melalui dialog untuk melakukan proses pembandinan, memperjelas, atau menolak untuk menarik pengertian umum.
Objek yang dapat digunakan sebagai penelitian pengetahuan dalam istilah epistemology disebut sebagai ontology. Honderich(1995), menyatakan objek pengetahuan dibagi menjadi enam, yaitu gejala alam fisis, masa lalu, masa depan, nilai-nilai, abstraksis, dan pikiran. Selain itu dalam epistemologis juga membahas struktur pengetahuan yang juga disebut sebagai situasi/fenomenologi pengetahuan. Dalam pembahasan tersebut dijelaskan hubungan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Penjelasan tersebut melahirkan beberapa pandangan, yaitu objektivisme yang berpendapat bahwa objek fisis yang diobservasi bersifat independen terhadap subjek yang meneliti, subjektivisme atau pandangan yang menentukan peran unsur subjek dalam proses pengetahuan didapatkan, skeptisisme atau paham yang menomorsatukan ketidakmungkinan agar terciptanya kebenaran objektif  atas pengetahuan, relativisme atau pandangan mengenai kebenaran tidak selalu bersifat absolut atau universal, dan fenomenalisme yang memandang bahwa kita hanya tahu gejala-gejala yang terekam melalui indra atau pengamatan.
Sejumlah teori kebenaran juga ditemukan dalam epistemology dan filsafat ilmu pengetahuan, seperti teori kebenaran korespondensi yang menyatakan bahwa satu teori benar bila proposisi teori tersebut sesai dengan fakta, teori kebenaran konsistensi/koherensi yang menyatakan kebenaran adalah keterhubungan antara keputusan atau kesesuaian dengan pengetahuan yang dimiliki, teori kebenaran pragmatis yang menempatkan kebenaran dan pengalaman dapat berubah dan diubah melalui pengalaman berikutnya, teori kebeneran performatif yang menjelaskan pada satu pernyataan dapat benar jika pernyataan seseorang diiringin dengan tindkaan dan kewenangan yang ada, dan yang terakhir adalah teori kebenaran paradigma dan konsesus menganggap bahwa kebenaran berasal dari persetujuan para ilmuwan yang mendukung paradigma tertentu.
Menurut Juliene Ford, dikutip dari Lubis(2015: 56), kebenaran itu sendiri memiliki empat makna, yaitu kebenaran secara empiris(verifikasi dan falsifikasi), logis-matematis(koherensi dan konsistensi), etis(nilai-nilai moral dan religius), dan kebenaran metafisik(diterima dari keyakinan paling dasar). Kebenaran metafisik ini dikaitkan dengan kebeneran tentang postulat-postulat ilmu pengetahuan, seperti pengakuan keberadaan dunia, dunia empiris dapat diketahui lewat pancaindera, dan fenomena alam ditentukan oleh hokum kausalitas yang metodenya dapat ditemukan melalui metode empiris-eksperimental.
Selain itu, epistemologi juga dibagi berdasarkan jenisnya, yaitu epistemologi metafisis, skeptis, dan kritis. Pada masa Yunani, epistemologi dibagi menjadi dua, yaitu epistemologi individual dan epistemologi sosial. Epistemologi individual memfokuskan pada permasalahan pengetahuan mengenai pengamatan, rasionalitas, dan justifikasi yang terlepas dari dimensi sosial. Sedangkan, epistemologi sosial merupakan melihat keterkaitan pengetahuan dengan dimesi sosial.
A. M. W. Pranaka(1987), dikutip dalam Lubis(2015:61), mengungkapkan beberapa argumen terhadap tujuan kita mempelajari epistemologi, yaitu sebagai berikut.
1.     Pertimbangan yang sangat strategis karena ilmu pengetahuan dan teknologi mendominasi di zaman Modern.
2.     Terdapat asumsi-asumsi ontologis dan aksiologis yang tersembunyi dalam cabang espitemologi.
3.     Dapat membantu peserta didik dalam memahami beragam bentuk pengetahuan dan paham kekuatan dan keterbasannya masing-masing.

ADHYRA RAMADIANI 14140110360

Tidak ada komentar:

Posting Komentar