Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang
berupaya secara evaluatif dan kritis terhadap pengetahuan manusia. Pengetahuan
tersebut memilik berbagai sumber. Aristoteles dan Plato memiliki pandangan yang
berbeda mengenai sumber pengetahuan. Aristoteles beranggapan bahwa sumber
dihasilkan melalui rasio atau kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkat
mengenai keberadaan dan alam semesta pada umumnya. Sedangkan, Plato beranggapan
sumber pengetahuan adalah pengalaman. Segala sesuatu yang dinyatakan sebagai
ilmu pengetahuan harus dibuktikan dengan metode empiris-eksperimental sehingga
keabsahannya dapat dibuktikan.
Selain
itu, Hospers dan Honderich memiliki pandangan yang hampir sama mengenai sumber
pengetahuan, seperti persepsi merupakan hasi tanggapan indrawi terhadap
fenomena alam, pengalaman langsung atau tidak langsung harus didukung dengan
ingatan agar lebih sistematis dan logis, akal yang berdasarkan logika sehingga
dapat menarik kesimpulan yang masuk akal, interopeksi ke dalam dirinya agar
melihat sesuatu secara mendalam, pengenalan terhadap sesuatu secara langsung
atau tiba-tiba(intuisi) yang dapat digunakan secara indrawi(pengamatan) atau
intelektual, otoritas yang mengacu pada individu atau kelompok yang memiliki
pengetahuan lebih tinggi, prekognisi sebagai kemampuan untuk mengetahui sesuatu
yang akan terjadi, clairvoyance atau
kemampuan persepsi terhadap suatu peristiwa tanpa indra, dan telepati atau
komunikasi secara mental tanpa suara atau simbol.
Melalui
pembahasan sumber pengetahuan, dapat ditemukan jenis-jenisnya, yaitu
pengetahuan biasa(common sense),
ilmiah(tersistem), filosofis(yang tidak dibahas atau tidak terjawab ilmu
pengetahuan), dan teologis(wahyu Tuhan).
Epistemologi
juga berkaitan dengan model-model penalaran. Model ini banyak digunakan dalam
dunia ilmiah, empat diantaranya, yaitu induksi atau proses penarikan kesimpulan
dari benar atau tidaknya tesis yang ditentukan oleh pengalaman, deduksi atau
proses penalaran yang mengubah generalisasi menjadi lebih khusus, abduksi atau
bentuk pembuktian melalui silogisme, dan dialektika atau meotde melalui dialog
untuk melakukan proses pembandinan, memperjelas, atau menolak untuk menarik
pengertian umum.
Objek
yang dapat digunakan sebagai penelitian pengetahuan dalam istilah epistemology
disebut sebagai ontology. Honderich(1995), menyatakan objek pengetahuan dibagi
menjadi enam, yaitu gejala alam fisis, masa lalu, masa depan, nilai-nilai,
abstraksis, dan pikiran. Selain itu dalam epistemologis juga membahas struktur
pengetahuan yang juga disebut sebagai situasi/fenomenologi pengetahuan. Dalam
pembahasan tersebut dijelaskan hubungan antara subjek yang mengetahui dan objek
yang diketahui. Penjelasan tersebut melahirkan beberapa pandangan, yaitu
objektivisme yang berpendapat bahwa objek fisis yang diobservasi bersifat
independen terhadap subjek yang meneliti, subjektivisme atau pandangan yang
menentukan peran unsur subjek dalam proses pengetahuan didapatkan, skeptisisme
atau paham yang menomorsatukan ketidakmungkinan agar terciptanya kebenaran
objektif atas pengetahuan, relativisme
atau pandangan mengenai kebenaran tidak selalu bersifat absolut atau universal,
dan fenomenalisme yang memandang bahwa kita hanya tahu gejala-gejala yang terekam
melalui indra atau pengamatan.
Sejumlah
teori kebenaran juga ditemukan dalam epistemology dan filsafat ilmu
pengetahuan, seperti teori kebenaran korespondensi yang menyatakan bahwa satu
teori benar bila proposisi teori tersebut sesai dengan fakta, teori kebenaran
konsistensi/koherensi yang menyatakan kebenaran adalah keterhubungan antara
keputusan atau kesesuaian dengan pengetahuan yang dimiliki, teori kebenaran
pragmatis yang menempatkan kebenaran dan pengalaman dapat berubah dan diubah
melalui pengalaman berikutnya, teori kebeneran performatif yang menjelaskan
pada satu pernyataan dapat benar jika pernyataan seseorang diiringin dengan
tindkaan dan kewenangan yang ada, dan yang terakhir adalah teori kebenaran
paradigma dan konsesus menganggap bahwa kebenaran berasal dari persetujuan para
ilmuwan yang mendukung paradigma tertentu.
Menurut
Juliene Ford, dikutip dari Lubis(2015: 56), kebenaran itu sendiri memiliki
empat makna, yaitu kebenaran secara empiris(verifikasi dan falsifikasi),
logis-matematis(koherensi dan konsistensi), etis(nilai-nilai moral dan
religius), dan kebenaran metafisik(diterima dari keyakinan paling dasar).
Kebenaran metafisik ini dikaitkan dengan kebeneran tentang postulat-postulat
ilmu pengetahuan, seperti pengakuan keberadaan dunia, dunia empiris dapat
diketahui lewat pancaindera, dan fenomena alam ditentukan oleh hokum kausalitas
yang metodenya dapat ditemukan melalui metode empiris-eksperimental.
Selain
itu, epistemologi juga dibagi berdasarkan jenisnya, yaitu epistemologi
metafisis, skeptis, dan kritis. Pada masa Yunani, epistemologi dibagi menjadi
dua, yaitu epistemologi individual dan epistemologi sosial. Epistemologi
individual memfokuskan pada permasalahan pengetahuan mengenai pengamatan,
rasionalitas, dan justifikasi yang terlepas dari dimensi sosial. Sedangkan,
epistemologi sosial merupakan melihat keterkaitan pengetahuan dengan dimesi
sosial.
A.
M. W. Pranaka(1987), dikutip dalam Lubis(2015:61), mengungkapkan beberapa
argumen terhadap tujuan kita mempelajari epistemologi, yaitu sebagai berikut.
1. Pertimbangan
yang sangat strategis karena ilmu pengetahuan dan teknologi mendominasi di
zaman Modern.
2. Terdapat
asumsi-asumsi ontologis dan aksiologis yang tersembunyi dalam cabang
espitemologi.
3. Dapat
membantu peserta didik dalam memahami beragam bentuk pengetahuan dan paham
kekuatan dan keterbasannya masing-masing.
ADHYRA RAMADIANI 14140110360
Tidak ada komentar:
Posting Komentar