Kezia
Mariska -14140110212
Review
Paper
Sumber foto: http://www.alll.com/alll-methodology/reporting-presenting/validation/
Informasi
yang benar dibutuhkan untuk mengampil keputusan yang tepat. Tak hanya itu,
informasi yang benar juga dapat menghindarkan kesalahpahaman. Dari mana kita
mendapat informasi yang benar itu?
Salah
satu sarana untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi adalah melalui media
massa. Namun, hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar sering tidak
dijamin karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, dan
budaya. Keprihatinan utama media saat ini adalah mencari keuntungan.
I. Informasi sebagai
Komoditi dan Mimetisme
Jika
melihat dari kacamata industri, informasi dianggap sebagai barang dagangan.
Ciri komersil ini menjadi lebih penting daripada misi utama media, yaitu
klarifikasi dan memperkaya debat demokrasi. Terkadang suatu kasus menyita halaman
pertama banyak media dan televisi seakan-akan tidak ada informasi lain yang
lebih penting. Nilai jual suatu kasus yang tinggi kemudian disuguhkan media
untuk memuaskan rasa ingin tahu pemirsa atau pembaca.
Kini
media berada di bawah tekanan persaingan yang semakin keras dan tuntutan
keberhasilan komersial semakin berat. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya,
pasar informasi bertujuan untuk mencari keuntungan. Intinya, media tidak boleh
terlambat, tidak boleh didahului oleh media lain. Jangan sampai pembaca,
pemirsa, atau pendengar menurun. Untuk itu, media siap berlomba menyiarkan yang
sensasional dan spektakuler, dengan harga berapa pun, yang terkadang sampai
mengorbankan profesionalisme.
Di
anatara media sendiri sering terjadi persaingan. Kejayaan informasi televisi
terlihat pada kekuatan gambar. Namun, bukan berarti media cetak kalah pamor,
mereka dapat menemukan lahan baru informasi yang televisi tidak mampu untuk
menandinginya, yaitu kehidupan pribadi para tokoh publik dan skandal.
Persaingan
antara media cetak dan media gambar ini menjadi tidak proporsional lagi. Orang
tidak akan pernah sampai pada kebenaran karena antara realitas, representasi,
dan tipuan tidak bisa dibedakan lagi. Persaingan menghalalkan semua cara.
Di
satu sisi, persaingan mendorong kreativitas. Di sisi lain, persaingan juga
diikuti oleh mimetisme. Mismetisme adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi
media dan mendorongnya, sepertinya sangat urgen, bergegas untuk meliput
kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting.
Ikut-ikutan
semacam ini bisa mencapai ke titik pembentukan keyakinan di mana bila semakin
banyak media berbicara tentang suatu hal, peliputan akan hal tersebut kemudian
menyita banyak waktu dan mengerahkan sarana serta tenaga lebih dari biasanya.
Akan menjadi berbahaya jika tekanan persaingan ini dapat membuat media
melakukan cara-cara licik.
Berlimpahnya
data yang datang ke media memunculkan istilah “efek penyekat”. Efek ini sering
disalahgunakan untuk menutupi atau mengalihkan perhatian suatu kasus.
Sementara
itu, media juga memiliki kekuasaan untuk membuat orang bisa melihat sejarah
yang sedang berlangsung. Siaran langsung, reportase ke tempat kejadian, dan
hubungan langsung atau waktu riil menjadi kebanggaan media. Namun, kantor
berita juga sering mengandalkan kesaksian orang setempat yang belum dicek
kebenarannnya. Keinginan untuk mendahului yang lain telah menjebak kantor
berita dalam kekeliruan fatal.
Dengan
praktek media yang seperti itu, pemirsa, pendengar, dan pembaca dapat dibuat
resah. Selain resah dengan bahaya media di atas, media juga kerap menyajikan
gambar, siaran, atau tulisan yang mengandung unsur kekerasan, kriminalitas,
pornografi, takhayul, atau serba-serbi yang tidak mendidik sama sekali.
II. Media Mengubah
Integrasi Sosial, Reproduksi Budaya, dan Partisipasi Politik
Media
menyebarkan ke seluruh tubuh sosial tidak hanya ide pembebasan, tetapi juga
nilai-nilai hedonis sehingga akhirnya mempengaruhi integrasi sosial. Hedonisme
individulis ini mengabaikan kontrol sosial dari lembaga tradisional sehingga
norma-norma tradisional meredup. Semua bentuk lembaga yang membatasi emansipasi
individu melemah dan digerogoti oleh hasrat diri, pemenuhan diri, dan
penghargaan diri.
Dalam
reproduksi budaya, tekanan yang muncul adalah media harus selalu dinamis.
Berubah bukan selalu untuk tujuan tertentu, tetapi karena diarahkan oleh
efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup. Maka, dalam media, teknik
presentasi sering mengalahkan isi berita atau pesan yang ingin disampaikan.
Iklan
menjadi titik strategis tempat bernaungnya kejadian semu. Iklan mendasaran diri
pada tipe verifikasi “self-fulfilling prophecy”, artinya seni membuat sesuatu menjadi
benar dengan mengafirmasi bahwa hal itu benar. Melalui iklan, peristiwa semua
berubah menjadi kejadian riil sehari-hari berkat kepatuhan konsumen terhadap
apa yang dikatakan iklan. Media berperan besar dalam penciptaan kebutuhan palsu
serta sikap pasif yang terhanyut dalam konsumerisme.
Dalam
hal partisipasi politik, individu tidak tertarik pada ideologi politik. Para
politisi dewasa ini berhadapan dengan basis pendukung yang konsumeris,
individualis, mudah berubah pandangan, dan skeptik. Hal ini dikarenakan media
telah menyebarkan gaya hidup di mana sistem representasi menjadi objek
konsumsi. Logika konsumsi semakin meresap ke dalam interaksi sosial. Karena
media harus mendapat keuntungan, akhirnya mereka hanya terobsesi oleh upaya
menjawab dan mengikuti logika konsumsi tersebut.
Sistem
media juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Medai elektronik dan komputer
memungkinkan informasi dan pertukarannya dalam waktu riil yang singkat.
Tersedianya informasi secara instan membuat orang melupakan ‘penantian’ dan
kelambanan. Untuk bertahan hidup, prinsip pengorganisasian kerja media harus
menekankan pada tepat waktu, ringkas, luwes, dan menguntungkan.
III. Dilema Media
Massa
Media
massa dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi, idealismen media
menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa, atau pendengar
semakin memiliki sikap kritis kemandirian, dan kedalaman berpikir. Namun di
sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika sesuatu yang
spektakuler, sensasional, dan pesan yang beragam.
Pembaruan
terus menerus adalah untuk mempertegas kekhasan supaya tetap diminati, dan
berarti kelangsungan hidup media terjamin. Tanpa kemasan yang baru, aktualitas
yang spektakuler, dan presentasi yang ringkas, media bisa ditinggalkan oleh
pelanggannya. Waktu pendek yang dimiliki oleh media juga terkadang membuat
media memberi informasi yang singkat dan cepat saji.
Maka,
pilihan harus jeli. Media diharapkan akan meningkatkan mutu debat publik, bukan
mengubah politik menjadi tontonan. Sebagai contoh, saat pilkada, media
dibanjiri dengan kader artis yang terlibat di dalamnya sehingga program dan
diskusi terlepas dari liputan media. Padahal media diharapkan berperan dalam
pendidikan politik untuk mengantar ke kematangan politik para pemilih.
Dalam
media, terutama televisi, berpoperasi sejumlah mekanisme yang merupakan bentuk
kekerasan simbolik. Kekerasa simbolik adalah kekerasan yang berlangsung dengan
persetujuan tersirat dari korbannya sejauh mereka tidak sadar atau
menderitanya. Jadi, berita semacam itu sekaligus menarik semua orang tetapi
tidak menyentuh sesuatu yang penting.
Dengan
terlalu menekankan hal yang tidak penting, berarti pemirsa dijauhkan dari
informasi penting dan relevan dalam kerangkan perjuangan nilai demokrasi dan
hak yang terkait dengannya. Dalam konteks ini, kekerasan simbolis media sangat
merugikan upaya pencerdasan publik dan pendidikan kritis masyarakat.
Dalam
paya menarik banyak pemirsa, pendengar, dan pembaca, media menggunakan berbagai
trik, bahkan sering membuat orang tidak bisa lagi membedakan mana yang benar,
palsu, simulasi, riil, dan yang hiperriil.
IV. Pentingnya
Pencitraan
Pencitraan
mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara
relaitas, representasi, simulasi, kepalsuan, dan hiperrealitas. Sebagai contoh,
ketika diadakan sosialiasi atau penyuluhan penjinakan bom, simulasi yang
berlangsung seakan tidak bisa dibedakan lagi dengan realitas. Tetapi ketika
terjadi bom, semuanya menjadi terlambat. Politikus kemudian datang ke lokasi
dan memberi bantuan. Media telah membentuk citra pemimpin yang peduli korban.
J. Baudrillard
menjelaskan empat fase citra:
- Representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas
- Ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas
- Citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas
- Citra tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas apa pun
Bila
media mengandalkan operasinya pada pencitraan, akhirnya informasi hanya menjadi
simulasi. Peningkatan kekuatan kebenaran tidak ada lagi. Dalam konteks ini,
terjawab sudah mengapa media terpacu memberitakan langsung dari tempat
kejadian. Seakan dengan cara itu mau meyakinkan bahwa peristiwa itu
sungguh-sungguh benar, bahkan lebih benar dari kejadiannya sendiri.
V. Tiada Perlawanan
Terorganisir dan Bentuk Baru Sensor
Persaingan
semakin memicu perilaku individualis. Masyarakat semakin tidak peduli terhadap
kesejahteraan bersama. Menghadapi kapitalisme global, komersialisasi gaya hidup
dan individualisasi yang tidak terkontrol itu, tidak ada perlawanan yang
terorganisir yang didukung oleh struktur kuat dan ideologi yang serius. Memang,
media mempunyai peran normalisasi dan pengaruh perilaku publik, tetapi tidak
bisa memaksa.
Media
sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi masyarakat dengan menanamkan kebebasan
dan inisiatif, tetapi media justru semakin membuat pembaca atau audiens
tergantung dan kompulsif. Oleh karena itu, sulit bagi media untuk membentuk
pikiran kritis kritis dan penilaian yang refleksif.
Kekuasaan
yang ditentukan oleh pemegang saham membantu menyadarkan bahwa bentuk dominasi
yang dianggap wajar tidak bisa diterima lagi. Bentuk dominasi itu mengakibatkan
ketidakadilan, kebodohan, dan konsumerisme.
Perjuangan
untuk mendapatkan informasi yang benar agar masyarakat semakin memiliki sikap
yang kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir, tidak bisa lepas dari
perjuangan menegakkan etika komunikasi. Etika komunikasi tidak bekerja
pertama-tama melalui regulasi pelarangan, melainkan mengantar pemirsa,
pendengar, atau pembaca mempu mengambil jarak sehingga menjadi kritis serta
lebih mengarah pada informasi yang mendidik dan memperkaya. Maka, sensor bukan
sarana yang baik untuk menegakkan etika komunikasi.
Saat
ini sensor telah berubah bentuk. Dalam masyarakat demokratis, penguasa tidak
lagi melarang wartawan memberitakan sesuatu. Ada pula istilah autosensor yang
berlangsung di antara wartawan sendiri.
Lemahnya
toleransi berhadapan dengan kritik di kalangan wartawan erat terkait dengan
tuntutan pasar. Nilai jual media tergantung pada kemampuan untuk memberi citra
yang baik. Citra itu dibangun pada integritas dan ketidakberpihakan mereka. Hal
yang ditakuti oleh wartawan justru pengaruh terhadap isi informasi dari iklan
dan pemasang iklan. Tekanan untuk mendapat untung akan meruntuhkan tembok
pemisah antara redaksi dan iklan.
Tentu
saja, dalam hal ini arah politik media ditentukan oleh kelompok media dominan
dan pemegang saham. Etika komunikasi menghadapi tantangan yang tidak mudah.
VI. Tiga Syarat
Kemungkinan Etika Komunikasi
Terdapat
tiga pertimbangan mengapa penerapan etika komunikasi semakin mendesak. Pertama,
media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Etika
komunikasi mau melindungi publik yang lemah. Kedua, etika komunikasi merupakan
upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung
jawab. Jadi tujuannya adalah untuk masa depan pers sendiri dengan menagih
tanggung jawab negara. Ketiga, mencoba menghindari dampak negatif dari
pengabaian nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertanyakan kredibilitas
pers di depan publik.
Persaingan
pasar semakin diperparah oleh kecepatan teknologi dalam hal sirkulasi
informasi. Semboyan penting media adalah dapat hadir atau menyaksikan langsung
kejadian, bahkan sebelum memahami.
Tekanan
utama untuk segera menyampaikan informasi meskipun keliru menjadi obsesi sistem
komunikasi. Godaan besar selalu menggangu media, yaitu lebih baik segera
menyampaikan informasi kepada publik, kemudian dicek daripada sudah disampaikan
lebih dulu oleh media yang lain.
Mengejar
berita yang spektakular, langsung, gambar hidup, serta persaingan antara
informasi-jajak-pendapat dan informasi-kejadian merupakan gambar nyata dominasi
ideologi komunikasi. Masalah yang mendasar terletak pada sistem acuan dalam
media. Etika komunikasi memberi prinsip dalam menentukan sistem acuan media.
Menurut
teori tindakan komunikasional oleh Habermas, konsep aktivitas komunikasional
mengandaikan bahasa sebagai medium dalam proses saling pemahaman. Model
tindakan ini mengandaikan para partisipan berupaya untuk mencapai tujuan demi
kesepahaman dan mengerahkan potensi rasionalistasnya agar dapat memenuhi tiga
kebenaran, yaitu kebenaran pernyataan, ketepatan rumusan tindakan, serta
ketulusan komunikasi pengalaman yang dihayati secara subjektif.
Tindakan
komunikasional juga terkait dengan tiga dunia yang mengikat para aktornya,
yaitu dunia objektif sebagai keseluruhan entitas di mana pernyataan yang benar
dimungkinkan, dunia sosial seagai keseluruhan hubungan antar pribadi yang
diatur oleh hukum, dan dunia subjektif sebagai keseluruhan pengalaman yang
dihayati di mana pembicara memiliki akses khusus.
Gagasan
Habermas mengandaikan bahwa tipe komunikasi yang dibangun menjadi medium saling
pemahaman tanpa manipulasi, tanpa pengkondisian, dan tanpa tipuan. Bahasa
menjadi medium komunikasi yang membantu menemukan persetujuan bagi mereka yang
ingin berkomunikasi.
Gagasan
Habermas menyumbang pengembangan etika komunikatif dengan memberi kerangka
normatif yang menunjukkan bahwa masih dimungkinkan produksi informasi yang
benar.
Sumber:
Fotokopi paper dengan judul
“Mengapa Perlu Etika Komunikasi?” dalam buku Etika Komunikasi oleh Haryatmoko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar