Sabtu, 02 April 2016

Mengapa Perlu Etika Komunikasi?

Kezia Mariska -14140110212
Review Paper

Sumber foto: http://www.alll.com/alll-methodology/reporting-presenting/validation/

Informasi yang benar dibutuhkan untuk mengampil keputusan yang tepat. Tak hanya itu, informasi yang benar juga dapat menghindarkan kesalahpahaman. Dari mana kita mendapat informasi yang benar itu?

Salah satu sarana untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi adalah melalui media massa. Namun, hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar sering tidak dijamin karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi, dan budaya. Keprihatinan utama media saat ini adalah mencari keuntungan.

I. Informasi sebagai Komoditi dan Mimetisme

Jika melihat dari kacamata industri, informasi dianggap sebagai barang dagangan. Ciri komersil ini menjadi lebih penting daripada misi utama media, yaitu klarifikasi dan memperkaya debat demokrasi. Terkadang suatu kasus menyita halaman pertama banyak media dan televisi seakan-akan tidak ada informasi lain yang lebih penting. Nilai jual suatu kasus yang tinggi kemudian disuguhkan media untuk memuaskan rasa ingin tahu pemirsa atau pembaca.

Kini media berada di bawah tekanan persaingan yang semakin keras dan tuntutan keberhasilan komersial semakin berat. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, pasar informasi bertujuan untuk mencari keuntungan. Intinya, media tidak boleh terlambat, tidak boleh didahului oleh media lain. Jangan sampai pembaca, pemirsa, atau pendengar menurun. Untuk itu, media siap berlomba menyiarkan yang sensasional dan spektakuler, dengan harga berapa pun, yang terkadang sampai mengorbankan profesionalisme.

Di anatara media sendiri sering terjadi persaingan. Kejayaan informasi televisi terlihat pada kekuatan gambar. Namun, bukan berarti media cetak kalah pamor, mereka dapat menemukan lahan baru informasi yang televisi tidak mampu untuk menandinginya, yaitu kehidupan pribadi para tokoh publik dan skandal.

Persaingan antara media cetak dan media gambar ini menjadi tidak proporsional lagi. Orang tidak akan pernah sampai pada kebenaran karena antara realitas, representasi, dan tipuan tidak bisa dibedakan lagi. Persaingan menghalalkan semua cara.

Di satu sisi, persaingan mendorong kreativitas. Di sisi lain, persaingan juga diikuti oleh mimetisme. Mismetisme adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, sepertinya sangat urgen, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting.

Ikut-ikutan semacam ini bisa mencapai ke titik pembentukan keyakinan di mana bila semakin banyak media berbicara tentang suatu hal, peliputan akan hal tersebut kemudian menyita banyak waktu dan mengerahkan sarana serta tenaga lebih dari biasanya. Akan menjadi berbahaya jika tekanan persaingan ini dapat membuat media melakukan cara-cara licik.

Berlimpahnya data yang datang ke media memunculkan istilah “efek penyekat”. Efek ini sering disalahgunakan untuk menutupi atau mengalihkan perhatian suatu kasus.

Sementara itu, media juga memiliki kekuasaan untuk membuat orang bisa melihat sejarah yang sedang berlangsung. Siaran langsung, reportase ke tempat kejadian, dan hubungan langsung atau waktu riil menjadi kebanggaan media. Namun, kantor berita juga sering mengandalkan kesaksian orang setempat yang belum dicek kebenarannnya. Keinginan untuk mendahului yang lain telah menjebak kantor berita dalam kekeliruan fatal.

Dengan praktek media yang seperti itu, pemirsa, pendengar, dan pembaca dapat dibuat resah. Selain resah dengan bahaya media di atas, media juga kerap menyajikan gambar, siaran, atau tulisan yang mengandung unsur kekerasan, kriminalitas, pornografi, takhayul, atau serba-serbi yang tidak mendidik sama sekali.

II. Media Mengubah Integrasi Sosial, Reproduksi Budaya, dan Partisipasi Politik

Media menyebarkan ke seluruh tubuh sosial tidak hanya ide pembebasan, tetapi juga nilai-nilai hedonis sehingga akhirnya mempengaruhi integrasi sosial. Hedonisme individulis ini mengabaikan kontrol sosial dari lembaga tradisional sehingga norma-norma tradisional meredup. Semua bentuk lembaga yang membatasi emansipasi individu melemah dan digerogoti oleh hasrat diri, pemenuhan diri, dan penghargaan diri.

Dalam reproduksi budaya, tekanan yang muncul adalah media harus selalu dinamis. Berubah bukan selalu untuk tujuan tertentu, tetapi karena diarahkan oleh efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup. Maka, dalam media, teknik presentasi sering mengalahkan isi berita atau pesan yang ingin disampaikan.

Iklan menjadi titik strategis tempat bernaungnya kejadian semu. Iklan mendasaran diri pada tipe verifikasi “self-fulfilling prophecy”, artinya seni membuat sesuatu menjadi benar dengan mengafirmasi bahwa hal itu benar. Melalui iklan, peristiwa semua berubah menjadi kejadian riil sehari-hari berkat kepatuhan konsumen terhadap apa yang dikatakan iklan. Media berperan besar dalam penciptaan kebutuhan palsu serta sikap pasif yang terhanyut dalam konsumerisme.

Dalam hal partisipasi politik, individu tidak tertarik pada ideologi politik. Para politisi dewasa ini berhadapan dengan basis pendukung yang konsumeris, individualis, mudah berubah pandangan, dan skeptik. Hal ini dikarenakan media telah menyebarkan gaya hidup di mana sistem representasi menjadi objek konsumsi. Logika konsumsi semakin meresap ke dalam interaksi sosial. Karena media harus mendapat keuntungan, akhirnya mereka hanya terobsesi oleh upaya menjawab dan mengikuti logika konsumsi tersebut.

Sistem media juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Medai elektronik dan komputer memungkinkan informasi dan pertukarannya dalam waktu riil yang singkat. Tersedianya informasi secara instan membuat orang melupakan ‘penantian’ dan kelambanan. Untuk bertahan hidup, prinsip pengorganisasian kerja media harus menekankan pada tepat waktu, ringkas, luwes, dan menguntungkan.

III. Dilema Media Massa

Media massa dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi, idealismen media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa, atau pendengar semakin memiliki sikap kritis kemandirian, dan kedalaman berpikir. Namun di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika sesuatu yang spektakuler, sensasional, dan pesan yang beragam.

Pembaruan terus menerus adalah untuk mempertegas kekhasan supaya tetap diminati, dan berarti kelangsungan hidup media terjamin. Tanpa kemasan yang baru, aktualitas yang spektakuler, dan presentasi yang ringkas, media bisa ditinggalkan oleh pelanggannya. Waktu pendek yang dimiliki oleh media juga terkadang membuat media memberi informasi yang singkat dan cepat saji.

Maka, pilihan harus jeli. Media diharapkan akan meningkatkan mutu debat publik, bukan mengubah politik menjadi tontonan. Sebagai contoh, saat pilkada, media dibanjiri dengan kader artis yang terlibat di dalamnya sehingga program dan diskusi terlepas dari liputan media. Padahal media diharapkan berperan dalam pendidikan politik untuk mengantar ke kematangan politik para pemilih.

Dalam media, terutama televisi, berpoperasi sejumlah mekanisme yang merupakan bentuk kekerasan simbolik. Kekerasa simbolik adalah kekerasan yang berlangsung dengan persetujuan tersirat dari korbannya sejauh mereka tidak sadar atau menderitanya. Jadi, berita semacam itu sekaligus menarik semua orang tetapi tidak menyentuh sesuatu yang penting.

Dengan terlalu menekankan hal yang tidak penting, berarti pemirsa dijauhkan dari informasi penting dan relevan dalam kerangkan perjuangan nilai demokrasi dan hak yang terkait dengannya. Dalam konteks ini, kekerasan simbolis media sangat merugikan upaya pencerdasan publik dan pendidikan kritis masyarakat.

Dalam paya menarik banyak pemirsa, pendengar, dan pembaca, media menggunakan berbagai trik, bahkan sering membuat orang tidak bisa lagi membedakan mana yang benar, palsu, simulasi, riil, dan yang hiperriil.

IV. Pentingnya Pencitraan

Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara relaitas, representasi, simulasi, kepalsuan, dan hiperrealitas. Sebagai contoh, ketika diadakan sosialiasi atau penyuluhan penjinakan bom, simulasi yang berlangsung seakan tidak bisa dibedakan lagi dengan realitas. Tetapi ketika terjadi bom, semuanya menjadi terlambat. Politikus kemudian datang ke lokasi dan memberi bantuan. Media telah membentuk citra pemimpin yang peduli korban.

J. Baudrillard menjelaskan empat fase citra:
  1. Representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas
  2. Ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas
  3. Citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas
  4. Citra tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas apa pun

Bila media mengandalkan operasinya pada pencitraan, akhirnya informasi hanya menjadi simulasi. Peningkatan kekuatan kebenaran tidak ada lagi. Dalam konteks ini, terjawab sudah mengapa media terpacu memberitakan langsung dari tempat kejadian. Seakan dengan cara itu mau meyakinkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh benar, bahkan lebih benar dari kejadiannya sendiri.

V. Tiada Perlawanan Terorganisir dan Bentuk Baru Sensor

Persaingan semakin memicu perilaku individualis. Masyarakat semakin tidak peduli terhadap kesejahteraan bersama. Menghadapi kapitalisme global, komersialisasi gaya hidup dan individualisasi yang tidak terkontrol itu, tidak ada perlawanan yang terorganisir yang didukung oleh struktur kuat dan ideologi yang serius. Memang, media mempunyai peran normalisasi dan pengaruh perilaku publik, tetapi tidak bisa memaksa.

Media sebetulnya punya kesempatan mempengaruhi masyarakat dengan menanamkan kebebasan dan inisiatif, tetapi media justru semakin membuat pembaca atau audiens tergantung dan kompulsif. Oleh karena itu, sulit bagi media untuk membentuk pikiran kritis kritis dan penilaian yang refleksif.
Kekuasaan yang ditentukan oleh pemegang saham membantu menyadarkan bahwa bentuk dominasi yang dianggap wajar tidak bisa diterima lagi. Bentuk dominasi itu mengakibatkan ketidakadilan, kebodohan, dan konsumerisme.

Perjuangan untuk mendapatkan informasi yang benar agar masyarakat semakin memiliki sikap yang kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir, tidak bisa lepas dari perjuangan menegakkan etika komunikasi. Etika komunikasi tidak bekerja pertama-tama melalui regulasi pelarangan, melainkan mengantar pemirsa, pendengar, atau pembaca mempu mengambil jarak sehingga menjadi kritis serta lebih mengarah pada informasi yang mendidik dan memperkaya. Maka, sensor bukan sarana yang baik untuk menegakkan etika komunikasi.

Saat ini sensor telah berubah bentuk. Dalam masyarakat demokratis, penguasa tidak lagi melarang wartawan memberitakan sesuatu. Ada pula istilah autosensor yang berlangsung di antara wartawan sendiri.

Lemahnya toleransi berhadapan dengan kritik di kalangan wartawan erat terkait dengan tuntutan pasar. Nilai jual media tergantung pada kemampuan untuk memberi citra yang baik. Citra itu dibangun pada integritas dan ketidakberpihakan mereka. Hal yang ditakuti oleh wartawan justru pengaruh terhadap isi informasi dari iklan dan pemasang iklan. Tekanan untuk mendapat untung akan meruntuhkan tembok pemisah antara redaksi dan iklan.

Tentu saja, dalam hal ini arah politik media ditentukan oleh kelompok media dominan dan pemegang saham. Etika komunikasi menghadapi tantangan yang tidak mudah.

VI. Tiga Syarat Kemungkinan Etika Komunikasi

Terdapat tiga pertimbangan mengapa penerapan etika komunikasi semakin mendesak. Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Etika komunikasi mau melindungi publik yang lemah. Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab. Jadi tujuannya adalah untuk masa depan pers sendiri dengan menagih tanggung jawab negara. Ketiga, mencoba menghindari dampak negatif dari pengabaian nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertanyakan kredibilitas pers di depan publik.

Persaingan pasar semakin diperparah oleh kecepatan teknologi dalam hal sirkulasi informasi. Semboyan penting media adalah dapat hadir atau menyaksikan langsung kejadian, bahkan sebelum memahami.

Tekanan utama untuk segera menyampaikan informasi meskipun keliru menjadi obsesi sistem komunikasi. Godaan besar selalu menggangu media, yaitu lebih baik segera menyampaikan informasi kepada publik, kemudian dicek daripada sudah disampaikan lebih dulu oleh media yang lain.

Mengejar berita yang spektakular, langsung, gambar hidup, serta persaingan antara informasi-jajak-pendapat dan informasi-kejadian merupakan gambar nyata dominasi ideologi komunikasi. Masalah yang mendasar terletak pada sistem acuan dalam media. Etika komunikasi memberi prinsip dalam menentukan sistem acuan media.

Menurut teori tindakan komunikasional oleh Habermas, konsep aktivitas komunikasional mengandaikan bahasa sebagai medium dalam proses saling pemahaman. Model tindakan ini mengandaikan para partisipan berupaya untuk mencapai tujuan demi kesepahaman dan mengerahkan potensi rasionalistasnya agar dapat memenuhi tiga kebenaran, yaitu kebenaran pernyataan, ketepatan rumusan tindakan, serta ketulusan komunikasi pengalaman yang dihayati secara subjektif.

Tindakan komunikasional juga terkait dengan tiga dunia yang mengikat para aktornya, yaitu dunia objektif sebagai keseluruhan entitas di mana pernyataan yang benar dimungkinkan, dunia sosial seagai keseluruhan hubungan antar pribadi yang diatur oleh hukum, dan dunia subjektif sebagai keseluruhan pengalaman yang dihayati di mana pembicara memiliki akses khusus.

Gagasan Habermas mengandaikan bahwa tipe komunikasi yang dibangun menjadi medium saling pemahaman tanpa manipulasi, tanpa pengkondisian, dan tanpa tipuan. Bahasa menjadi medium komunikasi yang membantu menemukan persetujuan bagi mereka yang ingin berkomunikasi.

Gagasan Habermas menyumbang pengembangan etika komunikatif dengan memberi kerangka normatif yang menunjukkan bahwa masih dimungkinkan produksi informasi yang benar.

Sumber:
Fotokopi paper dengan judul “Mengapa Perlu Etika Komunikasi?” dalam buku Etika Komunikasi oleh Haryatmoko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar