Rabu, 06 April 2016

BAB 1 Mengapa Perlu Etika Komunikasi?

BAB 1 Mengapa Perlu Etika Komunikasi?

Informasi yang benar mencerahkan kehidupan. Ia membantu menjernihkan pertimbangan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat. Media adalah sarana utama untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi. Peningkatan tingkat pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sumbangan media.

1.1 Informasi sebagai Komoditi dan Mimetisme

Dalam cara berpikir industri, informasi pertama-tama dianggap sebagai barang dagangan. Ciri komersial ini menjadi lebih penting daripada misi utama media, yaitu untuk menjadi klarifikasi dan memperkaya debat demokrasi (Ignacio Ramonet, 2001: 10). Contoh nya ialah kasus hubugan anggota DPR Yahya Zaini dan Maria Eva. Lebih dari satu minggu, kasus ini menyita halaman pertama banyak media dan televisi. Nilai jual kasis ini sangat tinggi untuk memuaskan rasa ingin tahu atau bentuk voyeurisme pemirsa atau pembaca.

Logika yang sama juga mendasari keingintahuan yang besar untuk mengorek kehidupan pribadi selebritis. Fotografer yang profesinya adalah membuat kejutan para bintang dan selebritis lebih-lebih dalam intimitas atau privacy mereka memberi kesan seakan pekerjaan wartawan adalah mempublikasi kehidupan privat selebritis.

Paparazzi dan wartawan infotainment hanyalah buah dari situasi media yang sangat didominasi oleh pasar dan keuntungan. Media di bawah tekanan persaingan yang semakin keras dan tuntutan keberhasilan komersial semakin berat. Banyak pimpinan media datang dari dunia perusahaan bukan lagi dimonopoli dunia jurnalisme.

Bagi mereka, pasar informasi (news business) pertama-tama adalah untuk mencari keuntungan (ibid., 23). Tidak boleh terlambat, tidak boleh didahului oleh koran lain atau televisi lain. Jangan sampai pembaca, pemrisa, atau pendengar menurun. Untuk itu, media siap berlomba menyiarkan yang sensasional atau spektakuler, dengan harga apa pun, yang terkadang sampai mengorbankan profesionalisme.

Di antara media sendiri terjadi persaingan, Perang Teluk (1991) ditandai dengan kejayaan informasi televisi yang mendasarkan kekuatannya pada gambar. Namun, bukan berarti media cetak kalah pamor, mereka menemukan lahan baru informasi yang televisi tidak mampu menandinginya, yaitu kehidupan pribadi para tokoh publik dan skandal yang dikaitkan dengan korupsi atau kasus lain. Istilah yang dipakai ialah jurnalisme penyingkapan, dibedakan dari jurnalisme investigasi (I. Ramonet, 2002: 25).

Unsur yang menentukan dalam jurnalisme ini ialah dokumen yang membahayakan. Karena dokumen semacam itu biasanya tertulis, sulit dieksploitasi oleh televisi. Dalam kasus Clinton-Lewinsky, akhirnya empeachment terhadap Presiden Clinton tidak berhasil, bahkan Presiden ini mendapat dukungan mayoritas.

Seperti logika simulasi (J. Baudrillard), orang tidak pernah akan sampai pada kebenaran karena antara realitas, representasi, hiperrealitas atau tipuan tidak bisa dicek atau dibedakan lagi. Di satu sisi, persaingan itu mendorong ke kreativitas; di lainsisi, persaingan itu juga diikuti oleh semacam mimetisme.

Mimetisme adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, sepertinya sangat urgen, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting.

Jadi, media saling membangkitkan keingintahuan di kalangan mereka sendiri, menaikkkan penawaran dan membiarkan diri dibawa oleh hasrat untuk memberi informasi yang serba lebih, tetapi karena tekanan persaingan, mereka dilontarkan sampai pada tingkat yang mengerikan, bahkan sampai dengan cara-cara licik.

Ignacio Ramonet menggunakan istilah “efek penyekat” untuk mendeskripsikan kejadian yang menyembunyikan peristiwa lain. Efek seperti itu sering disalahgunakan untuk menutupi atau mengalihkan perhatian suatu kasus.

Kesaksian langsung dari tempat kejadian menjadi ideologi, yang menurut Ramonet, bisa menghancurkan jurnalisme investigasi. Kasus pemberitaan tidak benar tentang jumlah korban dan tempat kecelakaan pesawat Adam Air adalah bukti dari kecenderungan ini. Kantor berita mengandalkan kesaksian orang setempat yang belum dicek kebenarannya.

Tidak mengherankan bahwa media mengundang reaksi skeptis, kecurigaan bahkan rasa tidak percaya di kalangan kaum terdidik. Akhirnya, konsumsi massa menentukan dinamisme komersial dan makna keindahan.

1.2 Media Mengubah Integrasi Sosial, Reproduksi Budaya, dan Partisipasi Politik

Sistem media seperti itu membawa perubahan yang sangat mendasar dalam cara integrasi sosial, reproduksi budaya, dan partisipasi politik (J.M Ferry, 1994: vii). Media menyebarkan ke seluruh tubuh sosial tidak hanya ide pembebasan, tetapi juga nilai-nilai hedonis sehingga akhirnya mempengaruhi integrasi sosial.

Semua bentuk institusi yang membatasi emansipasi individu melemah atau digerogoti oleh hasrat diri, pemenuhan diri, dan penghargaan diri. Menurut Lipovetsky, tuntutan pengakuan ini tidak dapat dilepaskan dari demokrasi invidualis massa. Sistem politik ini cenderung meminggirkan prinsip abstrak seperti kewarganegaraan demi menemukan kutub identifikasi yang dekat dan partikular (2004: 140).

Oleh karena itu, orang cenderung melakukan investasi untuk mereka yang dekat, hubungan kesamaan asal usul.

Dalam reproduksi budaya, atau lebih tepat justru produksi budaya, tekanannya adalah harus selalu bergerak, selalu berubah bukan untuk suatu tujuan utopis tertentu, tetapi karena diarahkan oleh efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup (G. Lipovetsky, 2004: 79).

Rasionalitas instrumental sangat mewarnai media massa. Dengan mengutip McLuhan, Baudrillard membenarkan proses seperti itu: “Medium adalah pesan itu sendiri”. Ia menegaskan bahwa “Informasi melahap dirinya sendiri”. Ia melahap komunikasi dan yang sosial karena dua hal: pertama, alih-alih mengomunikasikan, informasi menghabiskan tenaganya untuk presentasi komunikasi.

Alih-alih memproduksi makna, informasi menghabiskan tenaga untuk presentasi makna. Suatu bentuk simulasi. Kedua, di balik presentasi komuniksi yang menguras tenaga berlebihan itu, media massa, informasi melanjutkan destruksi sosial. Maknanya ialah bahwa semua isi makna diserap ke dalam satu-satunya bentuk dominan dari medium. Medium itu sendiri merupakan perisitiwa, apapun isinya, entah sesuai atau subversif. Jadi, rumusan McLuhan medium adalah pesan, bukan hanya berarti menandai akhir pesan, tetapi juga akhir nasib medium itu sendiri.

Iklan itu menjadi efektif karena memaksa melalui transisi sistematis, pada ranah tanda, pesan yang menyamakan sejarah dengan berita sehari-hari, peristiwa dengan tontonan, informasi dan iklan. Dalam hal iklan, fungsi komunikasi massa iklan bukan dari isinya, bukan tujuan ekonomi atau psikologi, bukan publik tetapi dari logika medium itu sendiri.
Iklan mendasarkan diri pada tipe verifikasi “self-fulfilling propechy”. Artinya seni membuat sesuatu menjadi benar dengan mengafirmasi bahwa benar. Iklan tidak mendorong untuk belajar atau mengerti, teapi mengajak untuk berharap. Melalui iklan, perisitwa semu berubah menjadi kejadian riil sehari-hari berkat kepatuhan konsumen terhadap apa yang dikatakan iklan.

Media berperan besar dalam penciptaan kebutuhan palsu, serta sikap pasif yang terhanyut dalam konsumerisme. Berkat media, sensualisasi dan estetisasi massa untuk kepentingan kenikmatan semakin intensif dan meluas.

Dalam hal partisipasi politik, individu tidak tertarik pada ideologi politik. Ideologi politik tidak lagi mampu memberi janji, bahkan proyek sejarahnya tidak mampu lagi memobilisasi pengikut. Jadi, para politisi dewasa ini berhadapan dengan basis pendukung yang konsumeris, individualis, mudah berubah pandang dan skeptik.

Dampaknya terasa dalam pembentukan identitas individu dan bentuk baru kebebasan. Media menyebarkan gaya hidup di mana sistem representasi menjadi objek konsumsi. Logika konsumsi semakin meresap dalam interaksi sosial. Logika ini mengutamakan prinsip pelayanan bebas dan self service, pencarian emosi dan kesenangan, perhitungan utilitarian dan hubungan sosial hanya pada taraf permukaan.

Media karena harus mendapat keuntungan, akhirnya hanya terobsesi, akhirnya hanya terobsesi oleh upaya menjawab dan mengikuti logika konsumsi tersebut. Selain pengaruh kapitalisme baru, sistem media juga sangat ditentukan oleh kemajuan teknologi.

Media elektronik dan komputer memungkinkan informasi dan pertukarannya dalam waktu riil yang singkat. Tersedianya informasi secara instan membuat orang tidak menghargai lagi penantian dan kelambanan. Logika waktu pendek itu menular ke media massa lain dan menentukan mati-hidup-nya.

Untuk bisa bertahan hidup, prinsip pengorganisasian kerja harus menekankan pada tepat waktu, ringkas, luwes, dan menguntungkan. Saat tegang harus ditekan sampai titik nol. Kehilangan momentum adalah bentuk kekalahan.

1.3 Dilema Media Massa

Logika waku pendek ini menempatkan media massa dalam situasi dilematis. Di satu sisi, idealisme media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa atau pendengar semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir; di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang beragam.

Sindrom yang menyertai logika waktu pendek ialah dorongan untuk memberi informasi singkat dan cepat saji. Maka, pilihan harus jeli. Dalam media, terutama televisi, beroperasi sejumlah mekanisme yang merupakan bentuk kekerasa simbolik. Kekerasa simbolik adalah kekerasan yang berlangsung dengan persetujuan tersirat dari korbannya sejauh mereka tidak sadar melakukan atau menderitanya.

1.4 Pentingnya Pencitraan

Sudah menjadi rahasia umum, keprihatinan utama media adalah keuntungan, yang tentu saja perlu dihiasi dengan pernik-pernik idealisme kemanusiaan. Keuntungan hanya mungkin jika punya pengaruh. Maka, memengaruhi dan membentuk citra bergeser menjadi obsesi media.

Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperrealitas.
J. Badrillard menjelaskan empat fase citra. Yaitu, pertama, representasi di mana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberik ambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas Lalu citra bermain menjadi penampakannya; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun: ia hanya menjadi yang menyerupai dirinya.

1.5 Tiada Perlawanan Terorganisir dan Bentuk Baru Sensor

     Dewasa ini, sensor berubah bentuk. Sensor tidak lagi tampak dalam bentuk primer karena bukan lagi masalah menghilangkan, memotong, melarang sejumlah aspek fakta atau menyembunyikannya. Dalam masyarakat demokratis, penguasa tidak lagi melarang wartawan memberitakan sesuatu. Tidak ada larangan atau pembatasan terhadap koran. Sensor bersembunyi dalam aspek ekonomi atau komersial. Sensor justru menelusup dalam berlimpahnya informasi yang harus didengar, dibaca atau dilihat sehingga orang tidak mampu melihat lagi apa yang kurang dari suatu informasi. Sensor itu terletak dalam penciptaan hiperrealitas.
Sensor justru bisa berfungsi sebagai propaganda. Propaganda dalam arti klasik dipahami sebagai wacana yang berusaha mengonstruksi suatu kebenaran palsu dengan memproduksi fakta atau menyembunyikan.

1.6 Tiga Syarat Kemungkinan Etika Komunikasi

Setidaknya ada tiga pertimbangan mengapa penerapan etika komunikasi semakin mendesak (Boris Libois, 1994: 3): pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik; kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab; ketiga, mencoba menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental.

Suatu skema dasar agak abstrak dan ideal, tetapi memberi kriteria yang jelas, bisa diambil dari teori tindakan komunikasional Habermas. Menurut filsuf Jerman ini, konsep aktivitas komunikasional mengandaikan bahasa sebagai medium dalam proses saling pemahaman. Model tindakan ini mengandaikan para partisipan berupaya untuk mencapai tujuan demi kesepahaman dan mengerahkan potensi rasionalitasnya agar dapat memenuhi tiga pendakuan kebenaran: kebenaran pernyataan, ketepatan rumusan tindakan yang legitim dan konteks normatifnya, serta ketulusan komunikasi pengalaman yang dihayati secara subjektif.

Meskipun tampak terlalu ideal, gagasan Habermas menyumbang pengembangan etika komunikatif dengan memberi kerangka normatif yang menunjukkan bahwa masih dimungkinkan produksi informasi yang benar. Kerangka normatif ini menjadi semacam infrastruktur yang ikut menentukan kualitas infromasi yang dihasilkan.

FADILLAH SATRIO PRADHANA - 14140110462






Tidak ada komentar:

Posting Komentar