BAB
1 Mengapa Perlu Etika Komunikasi?
Informasi
yang benar mencerahkan kehidupan. Ia membantu menjernihkan pertimbangan untuk
bisa mengambil keputusan yang tepat. Media adalah sarana utama untuk
menyampaikan dan mendapatkan informasi. Peningkatan tingkat pendidikan tidak
bisa dilepaskan dari sumbangan media.
1.1 Informasi sebagai Komoditi dan
Mimetisme
Dalam
cara berpikir industri, informasi pertama-tama dianggap sebagai barang
dagangan. Ciri komersial ini menjadi lebih penting daripada misi utama media,
yaitu untuk menjadi klarifikasi dan memperkaya debat demokrasi (Ignacio
Ramonet, 2001: 10). Contoh nya ialah kasus hubugan anggota DPR Yahya Zaini dan
Maria Eva. Lebih dari satu minggu, kasus ini menyita halaman pertama banyak
media dan televisi. Nilai jual kasis ini sangat tinggi untuk memuaskan rasa
ingin tahu atau bentuk voyeurisme
pemirsa atau pembaca.
Logika
yang sama juga mendasari keingintahuan yang besar untuk mengorek kehidupan
pribadi selebritis. Fotografer yang profesinya adalah membuat kejutan para
bintang dan selebritis lebih-lebih dalam intimitas atau privacy mereka memberi kesan seakan pekerjaan wartawan adalah
mempublikasi kehidupan privat selebritis.
Paparazzi
dan wartawan infotainment hanyalah buah dari situasi media yang sangat
didominasi oleh pasar dan keuntungan. Media di bawah tekanan persaingan yang
semakin keras dan tuntutan keberhasilan komersial semakin berat. Banyak
pimpinan media datang dari dunia perusahaan bukan lagi dimonopoli dunia
jurnalisme.
Bagi
mereka, pasar informasi (news business)
pertama-tama adalah untuk mencari keuntungan (ibid., 23). Tidak boleh
terlambat, tidak boleh didahului oleh koran lain atau televisi lain. Jangan
sampai pembaca, pemrisa, atau pendengar menurun. Untuk itu, media siap berlomba
menyiarkan yang sensasional atau spektakuler, dengan harga apa pun, yang
terkadang sampai mengorbankan profesionalisme.
Di
antara media sendiri terjadi persaingan, Perang Teluk (1991) ditandai dengan
kejayaan informasi televisi yang mendasarkan kekuatannya pada gambar. Namun,
bukan berarti media cetak kalah pamor, mereka menemukan lahan baru informasi
yang televisi tidak mampu menandinginya, yaitu kehidupan pribadi para tokoh
publik dan skandal yang dikaitkan dengan korupsi atau kasus lain. Istilah yang
dipakai ialah jurnalisme penyingkapan, dibedakan dari jurnalisme investigasi
(I. Ramonet, 2002: 25).
Unsur
yang menentukan dalam jurnalisme ini ialah dokumen yang membahayakan. Karena
dokumen semacam itu biasanya tertulis, sulit dieksploitasi oleh televisi. Dalam
kasus Clinton-Lewinsky, akhirnya empeachment terhadap Presiden Clinton tidak
berhasil, bahkan Presiden ini mendapat dukungan mayoritas.
Seperti
logika simulasi (J. Baudrillard), orang tidak pernah akan sampai pada kebenaran
karena antara realitas, representasi, hiperrealitas atau tipuan tidak bisa
dicek atau dibedakan lagi. Di satu sisi, persaingan itu mendorong ke
kreativitas; di lainsisi, persaingan itu juga diikuti oleh semacam mimetisme.
Mimetisme
adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, sepertinya
sangat urgen, bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang
menjadi acuan, menganggapnya penting.
Jadi,
media saling membangkitkan keingintahuan di kalangan mereka sendiri, menaikkkan
penawaran dan membiarkan diri dibawa oleh hasrat untuk memberi informasi yang
serba lebih, tetapi karena tekanan persaingan, mereka dilontarkan sampai pada
tingkat yang mengerikan, bahkan sampai dengan cara-cara licik.
Ignacio
Ramonet menggunakan istilah “efek penyekat” untuk mendeskripsikan kejadian yang
menyembunyikan peristiwa lain. Efek seperti itu sering disalahgunakan untuk
menutupi atau mengalihkan perhatian suatu kasus.
Kesaksian
langsung dari tempat kejadian menjadi ideologi, yang menurut Ramonet, bisa
menghancurkan jurnalisme investigasi. Kasus pemberitaan tidak benar tentang
jumlah korban dan tempat kecelakaan pesawat Adam Air adalah bukti dari
kecenderungan ini. Kantor berita mengandalkan kesaksian orang setempat yang
belum dicek kebenarannya.
Tidak
mengherankan bahwa media mengundang reaksi skeptis, kecurigaan bahkan rasa tidak
percaya di kalangan kaum terdidik. Akhirnya, konsumsi massa menentukan
dinamisme komersial dan makna keindahan.
1.2 Media Mengubah Integrasi Sosial,
Reproduksi Budaya, dan Partisipasi Politik
Sistem
media seperti itu membawa perubahan yang sangat mendasar dalam cara integrasi
sosial, reproduksi budaya, dan partisipasi politik (J.M Ferry, 1994: vii).
Media menyebarkan ke seluruh tubuh sosial tidak hanya ide pembebasan, tetapi
juga nilai-nilai hedonis sehingga akhirnya mempengaruhi integrasi sosial.
Semua
bentuk institusi yang membatasi emansipasi individu melemah atau digerogoti
oleh hasrat diri, pemenuhan diri, dan penghargaan diri. Menurut Lipovetsky,
tuntutan pengakuan ini tidak dapat dilepaskan dari demokrasi invidualis massa.
Sistem politik ini cenderung meminggirkan prinsip abstrak seperti
kewarganegaraan demi menemukan kutub identifikasi yang dekat dan partikular (2004:
140).
Oleh
karena itu, orang cenderung melakukan investasi untuk mereka yang dekat,
hubungan kesamaan asal usul.
Dalam
reproduksi budaya, atau lebih tepat justru produksi budaya, tekanannya adalah
harus selalu bergerak, selalu berubah bukan untuk suatu tujuan utopis tertentu,
tetapi karena diarahkan oleh efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup
(G. Lipovetsky, 2004: 79).
Rasionalitas
instrumental sangat mewarnai media massa. Dengan mengutip McLuhan, Baudrillard
membenarkan proses seperti itu: “Medium adalah pesan itu sendiri”. Ia
menegaskan bahwa “Informasi melahap dirinya sendiri”. Ia melahap komunikasi dan
yang sosial karena dua hal: pertama,
alih-alih mengomunikasikan, informasi menghabiskan tenaganya untuk presentasi
komunikasi.
Alih-alih
memproduksi makna, informasi menghabiskan tenaga untuk presentasi makna. Suatu
bentuk simulasi. Kedua, di balik
presentasi komuniksi yang menguras tenaga berlebihan itu, media massa,
informasi melanjutkan destruksi sosial. Maknanya ialah bahwa semua isi makna
diserap ke dalam satu-satunya bentuk dominan dari medium. Medium itu sendiri
merupakan perisitiwa, apapun isinya, entah sesuai atau subversif. Jadi, rumusan
McLuhan medium adalah pesan, bukan hanya berarti menandai akhir pesan, tetapi
juga akhir nasib medium itu sendiri.
Iklan
itu menjadi efektif karena memaksa melalui transisi sistematis, pada ranah
tanda, pesan yang menyamakan sejarah dengan berita sehari-hari, peristiwa
dengan tontonan, informasi dan iklan. Dalam hal iklan, fungsi komunikasi massa
iklan bukan dari isinya, bukan tujuan ekonomi atau psikologi, bukan publik
tetapi dari logika medium itu sendiri.
Iklan
mendasarkan diri pada tipe verifikasi “self-fulfilling
propechy”. Artinya seni membuat sesuatu menjadi benar dengan mengafirmasi
bahwa benar. Iklan tidak mendorong untuk belajar atau mengerti, teapi mengajak
untuk berharap. Melalui iklan, perisitwa semu berubah menjadi kejadian riil
sehari-hari berkat kepatuhan konsumen terhadap apa yang dikatakan iklan.
Media
berperan besar dalam penciptaan kebutuhan palsu, serta sikap pasif yang
terhanyut dalam konsumerisme. Berkat media, sensualisasi dan estetisasi massa
untuk kepentingan kenikmatan semakin intensif dan meluas.
Dalam
hal partisipasi politik, individu tidak tertarik pada ideologi politik. Ideologi
politik tidak lagi mampu memberi janji, bahkan proyek sejarahnya tidak mampu
lagi memobilisasi pengikut. Jadi, para politisi dewasa ini berhadapan dengan
basis pendukung yang konsumeris, individualis, mudah berubah pandang dan
skeptik.
Dampaknya
terasa dalam pembentukan identitas individu dan bentuk baru kebebasan. Media
menyebarkan gaya hidup di mana sistem representasi menjadi objek konsumsi.
Logika konsumsi semakin meresap dalam interaksi sosial. Logika ini mengutamakan
prinsip pelayanan bebas dan self service, pencarian emosi dan kesenangan,
perhitungan utilitarian dan hubungan sosial hanya pada taraf permukaan.
Media
karena harus mendapat keuntungan, akhirnya hanya terobsesi, akhirnya hanya
terobsesi oleh upaya menjawab dan mengikuti logika konsumsi tersebut. Selain
pengaruh kapitalisme baru, sistem media juga sangat ditentukan oleh kemajuan
teknologi.
Media
elektronik dan komputer memungkinkan informasi dan pertukarannya dalam waktu
riil yang singkat. Tersedianya informasi secara instan membuat orang tidak
menghargai lagi penantian dan kelambanan. Logika waktu pendek itu menular ke
media massa lain dan menentukan mati-hidup-nya.
Untuk
bisa bertahan hidup, prinsip pengorganisasian kerja harus menekankan pada tepat
waktu, ringkas, luwes, dan menguntungkan. Saat tegang harus ditekan sampai
titik nol. Kehilangan momentum adalah bentuk kekalahan.
1.3 Dilema Media Massa
Logika
waku pendek ini menempatkan media massa dalam situasi dilematis. Di satu sisi,
idealisme media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa
atau pendengar semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman
berpikir; di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika
mode yang terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan
yang beragam.
Sindrom
yang menyertai logika waktu pendek ialah dorongan untuk memberi informasi
singkat dan cepat saji. Maka, pilihan harus jeli. Dalam media, terutama
televisi, beroperasi sejumlah mekanisme yang merupakan bentuk kekerasa
simbolik. Kekerasa simbolik adalah kekerasan yang berlangsung dengan
persetujuan tersirat dari korbannya sejauh mereka tidak sadar melakukan atau
menderitanya.
1.4 Pentingnya Pencitraan
Sudah
menjadi rahasia umum, keprihatinan utama media adalah keuntungan, yang tentu
saja perlu dihiasi dengan pernik-pernik idealisme kemanusiaan. Keuntungan hanya
mungkin jika punya pengaruh. Maka, memengaruhi dan membentuk citra bergeser
menjadi obsesi media.
Pencitraan
mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara
realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperrealitas.
J.
Badrillard menjelaskan empat fase citra. Yaitu, pertama, representasi di mana citra merupakan cermin suatu
realitas; kedua ideologi di mana
citra menyembunyikan dan memberik ambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak
ada realitas Lalu citra bermain menjadi penampakannya; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas
apapun: ia hanya menjadi yang menyerupai dirinya.
1.5 Tiada Perlawanan Terorganisir
dan Bentuk Baru Sensor
Dewasa ini, sensor berubah bentuk. Sensor
tidak lagi tampak dalam bentuk primer karena bukan lagi masalah menghilangkan,
memotong, melarang sejumlah aspek fakta atau menyembunyikannya. Dalam masyarakat
demokratis, penguasa tidak lagi melarang wartawan memberitakan sesuatu. Tidak
ada larangan atau pembatasan terhadap koran. Sensor bersembunyi dalam aspek
ekonomi atau komersial. Sensor justru menelusup dalam berlimpahnya informasi
yang harus didengar, dibaca atau dilihat sehingga orang tidak mampu melihat
lagi apa yang kurang dari suatu informasi. Sensor itu terletak dalam penciptaan
hiperrealitas.
Sensor
justru bisa berfungsi sebagai propaganda. Propaganda dalam arti klasik dipahami
sebagai wacana yang berusaha mengonstruksi suatu kebenaran palsu dengan
memproduksi fakta atau menyembunyikan.
1.6 Tiga Syarat Kemungkinan Etika
Komunikasi
Setidaknya
ada tiga pertimbangan mengapa penerapan etika komunikasi semakin mendesak
(Boris Libois, 1994: 3): pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang
dahsyat terhadap publik; kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga
keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab; ketiga, mencoba
menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental.
Suatu
skema dasar agak abstrak dan ideal, tetapi memberi kriteria yang jelas, bisa
diambil dari teori tindakan komunikasional Habermas. Menurut filsuf Jerman ini,
konsep aktivitas komunikasional mengandaikan bahasa sebagai medium dalam proses
saling pemahaman. Model tindakan ini mengandaikan para partisipan berupaya
untuk mencapai tujuan demi kesepahaman dan mengerahkan potensi rasionalitasnya
agar dapat memenuhi tiga pendakuan kebenaran: kebenaran pernyataan, ketepatan
rumusan tindakan yang legitim dan konteks normatifnya, serta ketulusan
komunikasi pengalaman yang dihayati secara subjektif.
Meskipun
tampak terlalu ideal, gagasan Habermas menyumbang pengembangan etika
komunikatif dengan memberi kerangka normatif yang menunjukkan bahwa masih
dimungkinkan produksi informasi yang benar. Kerangka normatif ini menjadi
semacam infrastruktur yang ikut menentukan kualitas infromasi yang dihasilkan.
FADILLAH SATRIO PRADHANA - 14140110462
Tidak ada komentar:
Posting Komentar