Informasi yang benar mencerahkan
kehidupan. Memiliki akses ke informasi berarti kemudahan untuk mendapatkan
kekuasaan atau mempertahankannya, yang pada gilirannya akan membantu orang
mendapatkan keuntungan. Media adalah sarana utama untuk menyampaikan dan
mendapatkan informasi. Saying, hak publik untuk mendapatkan informasi yang
benar sering tidak dijamin karena adanya pertarungan kepentingan dalam hal
politik, ekonomi, atau budaya. Keprihatinan utama pengelola media adalah
keuntungan. Logika pasar menentukan tingkat kualitas informasi yang disuguhkan.
Dalam cara berpikir industri,
informasi pertama-tama dianggap sebagai barang dagangan. Contoh nyatanya ialah
kasus hubungan anggota DPR Yahya Zaini dan Maria Eva. Lebih dari satu minggu,
kasus ini menyita halaman pertama banyak media dan televisi seakan-akan tidak
ada informasi lain yang lebih penting. Nilai jual kasus ini sangat tinggi untuk
memuaskan rasa ingin tahu atau bentuk voyeurism
pemirsa atau pembaca. Logika yang sama juga mendasari keingintahuan yang
besar untuk mengorek kehidupan pribadi selebritis. Kehidupan pribadi selebritis
merupakan sasaran empuk para paparazzi dan
wartawan infotainment. Paparazzi dan wartawan infotainment hanyalah buah dari situasi
media yang sangat didominasi oleh pasar dan keuntungan.
Media dibawah tekanan persaingan
yang semakin keras dan tuntutan keberhasilan komersial semakin berat. Banyak
pimpinan media datang dari dunia perusahaan bukan lagi dimonopoli dunia
jurnalisme. Para pimpinan ini tidak terlalu peka akan tuntutan informasi yang
benar. Di satu sisi, persaingan itu mendorong ke kreativitas; di sisi lain,
persaingan itu juga diikuti oleh semacam mimetisme. Mimetisme adalah gairah
yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, sepertinya sangat urgent,
bergegas untuk meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan,
menganggapnya penting (ibid., 33).
Dalam reproduksi budaya, atau lebih
tepat justru produksi budaya, tekanannya adaalah harus selalu bergerak, selalu
berubah bukan untuk suatu tujuan utopis tertentu, tetapi karena diarahkan oleh
efektivitas dan tuntutan agar bisa bertahan hidup. Dalam hal partisipasi
politik, individu tidak tertarik pada ideology politik. Ideologi politik tidak
lagi mampu memberi janji, bahkan proyek sejarahnya tidak mampu lagi
memobilisasi pengikut. Arena sosial menjadi tidak lain kecuali perpanjangan
lingkup privat (S. Charles, 2004:28). Jadi, para politisi dewasa ini berhadapan
dengan basis pendukung yang konsumeris, individualis, mudah berubah pandangan,
dan skeptik (J. Blumler, 2000:156). Dampaknya terasa dalam pembentukan
identitas individu dan bentuk baru kebebasan. Media menyebarkan gaya hidup di
mana sistem representasi menjadi objek konsumsi. Karena komersialisasi gaya
hidup tidak menemui perlawanan structural, baik dari segi budaya maupun
ideologi, lingkup sosial dan individual akhirnya diorganisir kembali menurut
logika konsumsi (G. Lipovetsky, 2004: 41)
Logika waktu pendek ini menempatkan
media massa dalam situasi dilematis. Di satu sisi, idealisme media menuntut
peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa atau pendengar semakin
memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir; di sisi lain,
pragmatism ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang
spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang beragam. Sindrom yang
menyertai logika waktu pendek ialah dorongan untuk memberi informasi singkat
dan cepat saji. Maka, pilihlah arus jeli. Akhirnya, kriteria spektakuler dan
sensasional menjadi dominan. Akibatnya, media yang diandaikan memberi informasi
cenderung menyamakan yang layak bernilai berita dengan yang sensasional dan
politik murahan.
Buah dari media logika waktu pendek
adalah cara berpikir semakin dibentuk oleh konsumsi dan mengikuti model rayuan
informasi (S. Charles, 2004:58). Muncul masyarakat ringan yang tidak lagi
memaksakan norma melalui disiplin, tetapi melalui pilihan dan rayuan. Orang
tidak lagi memaksakan aturan “Dilarang merikik!” bentuk informasi diubah
menjadi rayuan “ Merokok merugikan kesehatan”. J. Baudrillard menjelaskan empat
fase citra (1981:17): pertama,
representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideology dimana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang
salah akan realitas; ketiga, citra
menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra bermain menjadi
penampakannya; keempat, citra tidak
ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun: ia hanya menjadi yang
menyerupai dirinya. Bila media mengandalkan operasinya pada pencitraan, akhirnya
informasi hanya menjadi simulasi.
Setidaknya ada tiga pertimbangan
mengapa penerapan etika komunikasi semakin mendesak (Boris Libois, 1994:3): pertama, media mempunyai efek dan
kekuasaan yang dahsyat terhadap publik. Padahal media mudah memanipulasi mengalienasi
audiens. Dengan demikian, etika komunikasi mau melindungi publik yang lemah; kedua, etika komunikasi merupakan uoaya
untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab.
Salah satunya adalah mengingatkan tendensi korporatis para wartawan media besar
untuk memonopoli kritik. Jangan sampai semua bentuk kritik terhadap media
langsung dimasukkan kedalam stigma pembatasan atau pengebirian kebebasan pers.
Jadi, tujuannya justru untuk masa depan pers sendiri dengan menagih tanggung
jawab negara; ketiga, mencoba
menghindari sedapat mungkin dampak negatif dari logika instrumental. Logika ini
cenderung mengabaikan nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertahankan
kredibilitas pers didepan publik, tujuan media sebagai instrument pencerahan
kurang mendapat perhatian. Padahal nilai dan makna melekat pada tujuan suatu
tindakan, sedangkan logika instrumental sering dijadikan sarana, cara atau
instrument sebagai tujuan pada dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar