Rabu, 15 Juni 2016

MEDIA PALSU


MENIPULASI MEDIA DAN KESADARAN ATAS KEPALSUAN, PORNOGRAFI DAN KEKERASAN DALAM MEDIA



A.   Pornografi
            Dalam media dapat ditemukan mulai dari iklan hingga program. Banyak unsur-unsur yang muncul walaupun tidak terlalu terlihat, biasanya diwakili dengan sisipan-sisipan yang memiliki unsur ambiguitas. Dalam konten program terutama TV, unsur pornografi tidak lagi memiliki alur cerita. Dalam pornografi, cerita yang ada tidak lagi diharuskan memiliki latar belakang sesungguhnya. Kisah-kisah buatan yang dilengkapi tokoh palsu tanpa identitas dan sejarah menjadi subjeknya.
            Dengan pornografi, dorongan munculnya manipulasi realitas mulai muncul. Walaupun cerita dan tokoh hasil manipulasi dan hanya dijadikan materi. Depersonilasi adalah dampak yang dibawa dari paparan konten pornografi. Hilangnya perasaan bahwa tubuh kita adalah bagian dari diri kita, bisa terjadi akibat teus menerus mengkonsumsi pornografi. Individu tersebut akan merasa memiliki perasaan hidup dalam film atau konten-konten media yang seakan-akan sudah mewakili dan menggambarkan seperti apa realitas. Sehingga, penonton hanya akan mengkonnsumsi program berisi konten pornogradi untuk memuaskan dorongan seksual.

B.   Erotisme
            Erotisme berbeda dengan pronografi. Dalam erotisme bentuk yang ditekankan adalam imajinasi dan sugesti. Pengungkapan hasrat lebih diungkapkan lewat kata-kata dan simbol, tidak terlalu menggunakan bahasa visual seperti pengungkapan bagian-bagian tubuh tertentu. Erotisme berada di batas ambiguitas. Erotisme dapat mengatakan semua dengan cara tersembunyi. Karya-karya erotisme cukup berisikop mengandung konten pornografi.

C.    Kekerasan dalam Media/Pers
            Definisi dari kekerasan dapat diartikan sebagai tindakan yang mendasari pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa peretujuan. Biasanya mengandung unsur dominasi dalam bentuk fisik, verbal, non verbal, moral, psikologis, atau bahkan dalam bentuk visual. Dampak sasarannya bisa tertuju pada aspek psikologis yaitu cara berpikir dan bertindaknya. Tidak semua kekerasan dalam media memiliki reaksi negative berupa penolakan dan protes, namun reaksi kagum dan memikar juga bisa muncul.

            Media membuat gambar-gambar kekerasan menjadi suatu hal yang biasa. Media mengatur konten-konten tontonan agar dalam pandangan pemirsa tontonan tersebut menjadi hal biasa dan dapat dapat diterima seutuhnya. Bahaya yang ditimbulkan bisa tanpa transfer pemahaman dan perwujudan tindak kekerasan dari media ke dunia nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar