MENIPULASI MEDIA DAN KESADARAN ATAS KEPALSUAN, PORNOGRAFI DAN KEKERASAN DALAM MEDIA
A. Pornografi
Dalam media dapat ditemukan mulai dari iklan hingga program. Banyak unsur-unsur
yang muncul walaupun tidak terlalu terlihat, biasanya diwakili dengan
sisipan-sisipan yang memiliki unsur ambiguitas. Dalam konten program terutama
TV, unsur pornografi tidak lagi memiliki alur cerita. Dalam pornografi, cerita
yang ada tidak lagi diharuskan memiliki latar belakang sesungguhnya.
Kisah-kisah buatan yang dilengkapi tokoh palsu tanpa identitas dan sejarah
menjadi subjeknya.
Dengan pornografi, dorongan munculnya manipulasi realitas mulai muncul. Walaupun
cerita dan tokoh hasil manipulasi dan hanya dijadikan materi. Depersonilasi
adalah dampak yang dibawa dari paparan konten pornografi. Hilangnya perasaan
bahwa tubuh kita adalah bagian dari diri kita, bisa terjadi akibat teus menerus
mengkonsumsi pornografi. Individu tersebut akan merasa memiliki perasaan hidup
dalam film atau konten-konten media yang seakan-akan sudah mewakili dan
menggambarkan seperti apa realitas. Sehingga, penonton hanya akan mengkonnsumsi
program berisi konten pornogradi untuk memuaskan dorongan seksual.
B. Erotisme
Erotisme berbeda dengan pronografi. Dalam erotisme bentuk yang ditekankan
adalam imajinasi dan sugesti. Pengungkapan hasrat lebih diungkapkan lewat
kata-kata dan simbol, tidak terlalu menggunakan bahasa visual seperti
pengungkapan bagian-bagian tubuh tertentu. Erotisme berada di batas ambiguitas.
Erotisme dapat mengatakan semua dengan cara tersembunyi. Karya-karya erotisme
cukup berisikop mengandung konten pornografi.
C. Kekerasan dalam Media/Pers
Definisi dari kekerasan dapat diartikan sebagai tindakan yang mendasari pada
kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa peretujuan. Biasanya mengandung unsur
dominasi dalam bentuk fisik, verbal, non verbal, moral, psikologis, atau bahkan
dalam bentuk visual. Dampak sasarannya bisa tertuju pada aspek psikologis yaitu
cara berpikir dan bertindaknya. Tidak semua kekerasan dalam media memiliki
reaksi negative berupa penolakan dan protes, namun reaksi kagum dan memikar
juga bisa muncul.
Media membuat gambar-gambar kekerasan
menjadi suatu hal yang biasa. Media mengatur konten-konten tontonan agar dalam
pandangan pemirsa tontonan tersebut menjadi hal biasa dan dapat dapat diterima
seutuhnya. Bahaya yang ditimbulkan bisa tanpa transfer pemahaman dan perwujudan
tindak kekerasan dari media ke dunia nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar