Media Baru dan Kebebasan Berekspresi
Media/ Pers dan Individu
Perkembangan
teknologi menciptakan adanya media baru. Dengan adanya media baru, manusia bisa
mendapat informasi dengan sangat mudah. Namun, hal itu juga dapat mempengaruhi
pembentukan persepsi pada audiens. Sebab, informasi di media tidak pernah bersifat netral pada aspek apapun. Informasi yang disajikan media sudah mengandung suatu persepsi dari berbagai
belah pihak. Informasi dapat dikatakan sebagai hasil dari kebebasan berekspresi
yang dipengaruhi oleh beberapa visi. Dalam proses ini sangat menjunjung tinggi
kebebasan dalam berekspresi yang digunakan sebagai penyeimbang pada hegemoni
pada satu realitas saja. Pada hal ini prioritas diberikan pada kepentingan
suatu pihak dalam menyuarakan pendapat dan pandangannya, pencipta dari
informasi tersebut dan tentunya pemilik media tersebut.
Jika
dipertimbangkan lebih lanjut, kepentingan tersebut tidak dapat dimutlakan.
Kesulitan dapat hadir kembali jika realitas ingin memaksakan menjadi pembentuk
opini entah secara terus terang atau tidak. Maka, peran dari pers dituntut untuk
lebih kritis dan tentunya mendidik. Dalam demokrasi, kepentingan publik atau
masyarakat harus diutamakan.
Masyarakat tidak dapat menerima opini atau informasi yang ingin Ia terima
secara paksa. Tentunya masyarakat memiliki hak untuk tidak menerima atau
menolak suatu opini ataupun informasi yang mereka tidak inginkan dari media.
Ada berbagai macam upaya untuk mengatur dan membatasi hak untuk
mengekspresikan ungkapan melawan perjuangan nilai demokrasi dan untuk
memberantas hal tersebut regulasi sebuah media sangat diperlukan. Pertama, regulasi media sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang
memang dibutuhkan dalam kualitas tertentu. Media tentunya tidak dapat berlaku
seenaknya dalam menampilkan sebuah informasi tanpa adanya standar kualitas yang
memang memadai.Kedua,
regulasi publik digunakan juga untuk menjaga aturan-aturan pada pasar agar
sekiranya lebih adil untuk menghadapi dominasi ekonomi pada media-media
tertentu. Ketiga, regulasi publik juga sekiranya menjamin pluralisme atau tidak
adanya keterbatasan hak dalam berpendapat yang merupakan bagian penting dari
prinsip demokrasi. Negara, tentunya mempunyai kewajiban dalam melindungi dan
mendorong ekspresi sehingga pluralitas ini dapat menghasilkan iklim saling
menghargai dan partisipasi dalam proses demokrasi.
Sesuai
pada kasus yang belakangan ini sedang marak dibahas, yaitu mengenai kebebasan
ekspresi di Indonesia yang masih tidak dapat kita rasakan. Hal ini dapat
dilihat dari peristiwa pembasmian buku yang dianggap berbau komunis, karena
dinilai buku tersebut jauh dari nilai-nilai ideologi Pancasila. Seperti dikutip
dari tempo.co, Sekretaris Kabinet, Pramono menegaskan kembali bahwa Presiden
Joko Widodo sudah mewanti-wanti agar para pejabat negara tidak bertindak
berlebihan terhadap hal-hal berpaham kiri. Oleh karena itu, pembasmian buku
berpaham kiri jangan sampai terjadi. Pramono juga menjelaskan, sebuah negara
demokrasi harus menghormati kebebasan berekspresi.
Menurut
saya, apa yang dikatakan oleh Pramono adalah benar. Sebagai negara demokrasi
yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, pembasmian buku beraliran kiri
seolah-olah menjadi sebuah kemunduran ke zaman Soeharto. Semua yang berkaitan
dengan komunis dilarang, dibredel, bahkan bagi yang memproduksi, mendistribusi,
dan mengkonsumi bisa ditangkap dan dibunuh. Selain menjunjung tinggi prinsip
kebebasan berpendapat, ada pentingnya untuk bersifat kritis. Pembasian buku
seharusnya dilandasi alasan yang kuat, tidak asal membasmi. Diperlukan adanya pertimbangan kritis dalam menindak lanjuti bentuk kebebasan berekspresi, contohnya pada kasus ini.
Meiliani
14140110029
Tidak ada komentar:
Posting Komentar